April 29, 2016
Permasalahan tanah atau biasa disebut agraria memang menjadi sesuatu yang tidak mungkin dilepaskan dari sejarah manusia. Selama tanah masih menjadi sumber penghidupan umat manusia, selama itu pula permasalahan tanah terus berlangsung. Pepatah Jawa pun pernah berkata “Sedumuk bathuk senyari bumi ditohi lubering pati”[1]. Di mana pepatah tersebut menyimbolkan bahwa tanah adalah sumber penghidupan dan akan diperjuangkan walaupun harus mati sekalipun. Lalu bagaimana jika di dalam kehidupan ada yang memonopoli tanah? Sudah bisa dipastikan yang memiliki tanah lah yang memperoleh hasil banyak dari pengelolaan tanah tersebut. Terlepas dari itu semua, konsep mengenai masalah tanah dengan manusia memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Manusia dengan tanah merupakan dua unsur yang tak terpisahkan, keterkaitan antara manusia dengan tanah berada dalam dinamika dan perubahannya sendiri.
Sebagai negara agraris, Indonesia selama beberapa dekade menjadikan sektor pertanian sebagai penopang kebutuhan ekonomi nasional. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan negara Indonesia memiliki tanah yang subur dibanding negara lain. Ini juga yang menarik kedatangan imperial Eropa untuk menguasai Nusantara saat itu. Sudah disepakati bersama pada masa kerajaan konsep tanah dimiliki oleh seorang raja. Hal ini dilegitimasi dengan pandangan bahwa raja adalah representasi Tuhan di bumi. Raja juga berhak mengatur dan mengelola wilayah yang menjadi kekuasaannya. Namun dalam konsep ini monopoli terhadap tanah sudah dilakukan dengan cara penarikan upeti kepada rakyat. Dalam kata lain adalah rakyat hanya menempati atau menyewa tanah milik raja, sedangkan bentuk pembayarannya yaitu melalui upeti.
Lantas ketika orang-orang kolonial masuk bagaimana dengan kondisi agraria di Indonesia?
Sejarah panjang ketika bangsa Eropa sudah mulai masuk ke wilayah nusantara, dipelopori oleh kumpulan dagang Belanda atau VOC (Vereneging Ost-indische Compangnie) mulai melakukan penguasaan atas sejumlah sektor ekonomi dagang. Kemudian melakukan kebijakan yang mengharuskan petani menanam tanaman yang laku di pasar Eropa dan wajib menjual hasil kepada mereka. Pasca VOC bubar, tampuk kekuasaan wilayah nusantara sempat berganti ke tangan Inggris, dengan Raffles sebagai Gubernur yang berwenang.
Ditangan Raffles konsep mengenai tanah milik raja dihapus, meskipun tidak secara keseluruhan. Digantikan dengan konsep Domain Theory, yakni tanah merupakan milik negara dan rakyat harus membayar pajak atas sewa tanah yang mereka tempati. Landrente, inilah konsep yang dikeluarkan Raffles terhadap Nusantara, yakni dengan cara ini Raffles mengharapkan pemasukan negara berdasar pajak tanah dan dibayarkan melalui uang, meskipun terkadang juga masih berupa barang.
Kekuasaan Raffles tidak berlangsung lama, sehingga penguasaan di Hindia Belanda kembali ke tangan Belanda. Van Den Bosch adalah orang yang menjadi gubernur wilayah Nusantara. Dia datang dengan membawa konsep Tanam Paksa atau Cultuurstelsel[2] yang dimulai sejak tahun 1830. Pada masa ini persoalan agaria erat kaitanya dengan petani, mereka diwajibkan menyediakan lahan pertanian seperlima dari tanah yang mereka miliki dan diwajibkan pula untuk bekerja selama 66 hari untuk menggarap lahan tersebut. Tanaman yang ditanam pun harus sesuai dengan kepentingan pasar saat itu. Van Den Bosch membawa konsep Cultuurstelsel dikarenakan saat itu kas di negeri Belanda sedang mengalami krisis sebagai akibat daripada kebutuhan perang. Sehingga dalam waktu 40 tahun bisa dikatakan kas negeri Belanda surplus.
Berangkat dari kondisi tersebut, di parlemen Belanda sedang terjadi perdebatan tentang sistem yang diterapkan di negeri jajahan terlalu membuat sengsara penduduk. Dipelopori oleh kaum liberal disepakatilah bahwa wilayah Hindia Belanda harus terbuka bagi pemodal. Ditandai dengan dikeluarkanya lembaran negara atau Staatblads No.118/1870 atau biasa kita sebut Agrarische Wet. Semenjak saat itulah nusantara pertama kali mengenal swastanisasi atau masuknya pemodal asing. Kondisi agraria yang serba bebas membuat kaum pribumi hanya menjadi kuli di negeri sendiri. Sebagai akibat dari Undang-Undang tersebut sektor yang dikuasai kebanyakan adalah daerah perkebunan. Karena dianggap pada sektor inilah kaum kapital bisa memperoleh hasil sebanyak-banyaknya.
Setelah diberlakukanya kebijakan politik etis di Hindia Belanda yang dipelopori oleh Van Deventer, kondisi agraria masih belum juga menemui perbaikan. Meskipun pada saat dikeluarkannya kebijakan tersebut untuk memperbaiki sistem sebelumnya, kendati demikian nyatanya masih juga jauh dari harapan penduduk. Tiga poin yang ditetapkan dalam politik etis adalah Edukasi, Imigrasi dan Irigasi. Pada poin irigasi atau pengairan nyatanya yang lebih diuntungkan adalah para pemilik perkebunan. Sehingga dalam praktek kebijakannya masih saja berorientasi pada kepentingan pemodal.
Sejauh ini memandang persoalan agraria merupakan pandangan yang kosong, karena sudah barang jadi kepastian secara hukum yang selama ini menjadi acuan di Indonesia masih diselimuti dengan kerancuan. Pasca Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dengan didasari semangat nasionalisme yang tinggi kondisi tersebut mencerminkan bahwa Indonesia harus merdeka 100%. Dalam kebijakan agraria pun, harus ada pengambilalihan sebagai wujud semangat revolusi saat itu.
Berangkat juga dari persoalan agraria pada masa sebelumnya yang masih rancu dan semangat menjaga iklim revolusi pada tahun 1948, untuk pertama kalinya Presiden Sukarno menyerukan pembuatan Undang-Undang Agraria. Baru terlaksa pun semenjak dikelurkanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 sebagai landasan dalam pelaksaan reforma agraria di Indonesia.
Meskipun demikian pada saat itu tidak banyak yang merespon tentang UU tersebut, hanya PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dengan segera merespon diterbitkanya UUPA. Dengan segera proses pelaksanaan land reform di Indonesia mulai diberlakukan.
Pada saat yang sama di tahun 1960-an merupakan puncak dari perang dingin antara blok timur yang diprakarsai sosialis-komunis dan blok barat liberalis-kapitalis, menghadapkan Indonesia secara tidak langsung ikut terkibat didalamnya. Sehingga pada proses selanjutnya disepakati bahwa posisi Indonesia tidak mutlak mengikuti dua blok tersebut. Maka harus dicari landasan lain. Akhirnya, saat itu disepakati bahwa landasan yang dipakai dirumuskan sebagai asas “monodualisme” dari sinilah muncul konsep Hak Menguasari Negara (HMN).
HMN merupakan perwujudan dari konsep jalan tengah atau monodualis yang menjadi landasan dari UUPA. Meskipun namanaya adalah Hak Menguasai Negara, bukan berarti negara berhak atau semena-mena mengambil dan atau memiliki kewenangan atas tanah. Melainkan harus tetap mempertimbangkan dan menghargai hak individu. Dalam penjelasan pasal demi pasal dar UUPA 1960, dalam pasal 45 dan 45, terdapat kalimat: “Negara tidak dapat menyewakan tanah, karena negara bukan pemilik tanah”. Negara dipandang sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, menerima mandat dari rakyat untuk mengatur dan mengelola segala sesuatu yang menyangkut masalah tanah.
Jadi, pada dasarnya adalah konsep di atas merupakan jalan dan juga sebuah kontrol untuk melaksanakan mandat dari rakyat. Para dewan perwakilan sudah dianggap sebagai orang yang budiman dan mampu mengontrol segala bentuk dan penjabaran atas Undang-Undang. Hak Mengusai Negara di sini diartikan sebagai negara berhak “menguasai” dalam arti “mengelola”. Namun pada praktiknya setelah Sukarno turun sebagai presiden dan digantikan oleh Suharto, penguasa memanipulasi tafsiran tentang HMN–antara lain melalui UUPK 1967 (Simarmata, 2002).
Tampilnya Suharto sebagai pemegang kendali kuasa di Indonesia dengan sifat otoritarian turut mengubah tatanan agraria. Dia melihat dalam pembangunan mempunyai asusmsi yang berbeda. Masalah land reform dipandang hanya sebagai masalah birokratis, dengan cara pemotongan legitimasi semua ormas petani dan dibiarkan massa tani mengambang. Dikeluarkanya UU No. 5/1979 tentang Pemerintah Desa yang menghapus proses politik partisipatif orang desa dan perlibatan militer dalam pengawasan pembangunan desa. Selain itu pengendalian serta pembuatan paradigma tentang konsep pertanian secara global diarahkan untuk pengembangan pembangunan pasar baru. Akibatnya tanah menjadi komoditas dan memunculkan pasar tanah, sehingga investor lebih tertarik menanamkan modalnya dalam bentuk tanah karena akan sangat menguntungkan. Tanpa disadari proses ini mengintegrasikan petani dengan tanahnya kedalam sistem kapitalisme melalui ekspansi pasar dengan fasilitas kebijakan intervensi negara (Mustain, 2007:16)
Lalu bagaimana persoalan agraria hari ini?
Sejak munculnya kebijakan nasionalisasi aset kolonial (yang sebenarnya terdapat tanah rakyat didalamnya), juga terjadi konversi hak erfacht[3] yang di perebutkan dengan rakyat menjadi HGU atau Hak Guna Usaha untuk diberikan pada perusahaan perkebunan swasta (PTP) maupun pemerintah (PTPN) dalam bentuk perusahaan daerah perkebunan. Meskipun kebijakan agraria dalam UUPA terdapat peraturan yang memfasilitasi perlunya peninjauan kembali terhadap penguasaan tanh untuk rakyat, namun makna land reform yang populis tidak pernah dijalankan (Mustain, 2007:17).
Sebenarnya jika mau melihat dan melakukan peninjauan kembali terhadap UUPA 1960 tentu permasalahan agraria tidak serumit sekarang. Sehingga peroses reforma agraria bisa berjalan sesuai cita-cita founding fathers kita. kalau mau melihat lebih ke dalam lagi konflik agraria yang terjadi hari ini seperti kasus penguasaan tanah oleh PTPN XII di daerah Malang Selatan yang mengakibatkan petani di Kalibakar dan Tritoyudo kehilangan tanahnya. Persepsi yang dibangun adalah mereka telah mencoba merebut tanah negara. Padahal sudah jelas dijelaskan dalam HGU, negara tidak boleh menguasai tanah.
Jadi kesimpulannya adalah adanya faktor konflik agraria hari ini adalah dikarenakan enggannya pemerintah memfasilitasi atau setidaknya melakukan peninjauan terhadap undang-undang yang mengatur pelaksaan agraria di Indonesia. Selain itu kepedulian atas penggunaan lahan yang sesuai dengan kebutuhan dan berwawasan lingkungan masih saja dikesampingkan oleh pemerintah. Sehingga banyak bermunculan kasus mengenai pertanahan yang baru seperti, penolakan petani Rembang atas dibangunya pabrik Semen, begitu pula di Pati, dan Tuban. Selain itu konflik yang juga timbul adalah antara sipil dengan militer seperti di Kulonprogo Yogyakarta dan yang menimpa petani di Urut Sewu.
Catatan Kaki:
[1] Penyimbolan dalam pepatah Jawa ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, sehingga betapun urusan pertanahan menjadi sesuatu yang wajib dipertahankan bahkan dengan mengorbankan nyawa.
[2] Sistem tanam paksa yang mengharuskan petani untuk menyediakan tanah sebesar seperlima dari tanah yang dimiliki dan wajib ikut bekerja untuk mengelola dan menggarap lahan tersebut. Selain diarahkan kepada sistem pertanian, untuk memenuhi kebutuhan transportasi dan pengairan, tidak jarang rakyat dipekerjakan untuk membuat jalan, rel kereta, dan juga waduk yang semuanya untuk kepentingan pemerintah kolonial.
[3] Yakni hak untuk menguasai tanah perkebunan sejak masa kolonial, dalam kasus ini mereka berhak mengembangkan tanah tanpa ada batasan yang jelas. Lahan produktif yang dikuasai pengusaha kolonial semakin meluas. Hal tersebut didasari atas swastanisasi yang mengakibatkan kebutuhan atas tanah semakin meningkat, sehingga rakyat digunakan untuk melakukan pembabatan hutan.
Referensi:
Simarmata, Rikardo. 2002. Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Kepemilikan Tanah Oleh Negara. Jogjakarta: Insist Media.
Mustain. 2007. Petani vs Negara: Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
___
https://lamrisurabaya.wordpress.com/2016/04/29/menelisik-akar-persoalan-agraria-di-indonesia/