Pada hari ini, Senin 16 April 2012 menjadi
hari yang tak pernah dilupakan dalam sejarah perjuangan petani di Kawasan
Urutsewu, terutama bagi warga dan petani desa Setrojenar, kecamatan
Buluspesantren, Kabupaten Kebumen. Karena apa? Karena semua resiko dan
konsekuensi dari sebuah perjuangan yang membutuhkan pengorbanan, telah dimaknai
secara sadar dan nyata; baik di tingkatan wacana dan niat perjuangan, maupun
dalam implementasinya sebagai sebuah sikap dan tindakan bersama. Integritas
demikian telah teruji dalam peristiwa apa yang kami sebut sebagai Tragedi
Setrojenar 16 April 2011.
Tragedi Setrojenar 16 April 2011 adalah
peristiwa berdarah yang tidak berdiri sendiri. Apabila mau dirunut secara jujur
dan nglenggana , maka peristiwa
berdarah ini merupakan puncak konflik yang memiliki tautan langsung berkaitan dengan
pertarungan kepentingan. Dan semuanya mengancam kepentingan pengembangan
pertanian pesisir selatan. Pertarungan kepentingan yang sama-sama berlawanan
dengan kepentingan pertanian itu antara lain karena ada kepentingan militer di
satu sisi dan kepentingan pengusaha atau korporasi di sisi lainnya.
Sektor pertanian yang sejak lama
termarginalkan oleh pengurangan dan penghapusan berbagai subsidi negara,
terpaksa harus berhadapan dengan persoalan lain yang ditimbulkan oleh dua
kepentingan lainnya yang secara diametral berlawanan dengan kepentingan untuk
budidaya pertanian secara modern dan berkesinambungan. Pertentangan ini menjadi
cikal bakal konflik agraria di kawasan agraris pesisir Urutsewu.
Pada awalnya memang terjadi penyesuaian yang
baik antara pemanfaatan kawasan pesisir Urutsewu untuk tradisi pertanian dan
kebiasaan latihan militer maupun ujicoba senjata berat. Meskipun bukan berarti
tak menimbulkan masalah yang merugikan petani. Kerugian petani bukan semata
karena tanaman rusak akibat latihan, tetapi karena setiap ada latihan dan
ujicoba senjata berat, selalu disertai larangan bagi petani dan bahkan nelayan
untuk melakukan kegiatan pertaniannya. Pernyataan-pernyataan yang akan mengganti
jika menimbulkan kerugian, hanyalah
retorika dan tidak memiliki integritas. Kasus tewasnya 5 anak desa Setrojenar
(2007) dan 1 anak Desa Ambalresmi (1982) menjadi fakta dari inkonsistensi itu.
Beberapa orang lain di desa lainnya juga terluka sebagai dampak dari
pemanfaatan kawasan pertanian sebagai areal latihan dan ujicoba senjata berat.
Bahkan dalam perkembangannya kebiasaan
berlatih dan tradisi ujicoba senja berat (alutsista) di kawasan ini menjadi
dasar klaim penguasaan dan/atau pemilikan militer atas tanah-tanah di kawasan pesisir
Urutsewu. Beberapa petinggi mengingkari
kenyataan ini, tetapi secara sistematis upaya legitimasi penguasaan tanah
dilakukan dengan berbagai dalih, opini, wacana dan program serta penyusunan
aturan-aturan baru yang pada prinsipnya mengabaikan sejarah tanah dan hak
pemilikan petani, serta pemilikan adat desa atas tanah-tanah di kawasan itu.
Munculnya Raperda RTRW, program sismiop, issue kawasan hankam hingga hankamnas,
adalah sebagian dari upaya sistematis yang ujung-ujungnya mengancam kedaulatan
petani dan hak-hak masyarakat adat atas kawasan Urutsewu ini.
Maka dengan ini kami menyatakan sikap sebagai
berikut:
1.
1. Bahwa perjuangan petani dan masyarakat Urutsewu, termasuk petani desa
Setrojenar, bukanlah melawan kepada negara dan pemerintah sebagaimana
ditudingkan sementara orang, melainkan adalah perjuangan suci untuk mempertahankan
hak atas tanah, juga perjuangan menjaga
dan melindungi bumi dari ancaman kerusakan dan eksploitasi;
2. 2. Tetap konsisten pada tuntutan
menolak kawasan hankam, menolak latihan dan ujicoba senjata berat, menolak
rencana dan realisasi pertambangan pasirbesi di seluruh Urutsewu serta menuntut
segera ditetapkannya kawasan Urutsewu sebagai kawasan pertanian dan pariwisata;
3.
3. Bahwa hukum harus ditegakkan dan diterapkan tanpa pandang bulu. Usut
secara tuntas dan adili para pelaku tindakan kekerasan brutal yang telah
melukai 13 petani dan warga, serta merusak 12 sepeda motor pada Tragedi
Setrojenar 16 April 2011 silam;
Demikian pernyataan sikap ini disampaikan untuk mengingatkan semua
fihak, terutama pemerintah, penyelenggara dan aparatur negara yang berwenang, demi terpenuhinya hak-hak dan
keadilan bagi semua.
______________________________________________________
Pernyataan sikap ini
didukung oleh:
Komnas HAM (Jakarta),
KontraS (Jakarta), IHCS (Jakarta), Jatam (Jakarta), HRSI (Jakarta), Solidaritas
Perempuan (Jakarta), Serikat Tani Nasional (Jakarta), Forum Komunikasi
Masyarakat Agraris (Jawa), PPRM (DIY-Jareng), Solidaritas Tolak Tambang Besi (Jokja), YLBHI-LBH Semarang, LPH Yaphi
Solo, LBH Jokja, PPLP-KP (Kulonprogo), Sarekat Petani Banten (Jabar),
Pandarincang (Garut, Ciamis, Pangandaran), Kendeng Lestari (Pati), Foswot
(Lumajang, Jatim), FKMA-Biltar, Forum Masyarakat Korban Lumpur Lapindo (Porong,
Sidoarjo), LBH Pakhis (Kebumen), PMII Cab. Kebumen, Gerakan Masyarakat Sipil
(Gampil, Kebumen)
0 comments:
Post a Comment