Peringatan Tentang
Impunitas Militer Indonesia
Mereview peristiwa tragis serangan brutal militer terhadap
petani dan warga sipil yang terjadi setahun yang lalu, diharapkan akan membuka
mata semua orang sehingga dapat menilai lebih obyektif kenapa tragedi ini
terjadi. Tragedi yang terjadi di blok Pendil desa Setrojenar, Kec.
Buluspesantren, Kebumen selatan ini telah menyebabkan 13 orang terluka parah
dan harus dirawat di RSUD Kebumen, 6 diantaranya mengalami luka tembak, 1
menderita patah kaki, 1 cacat penglihatan; dan 1 orang lagi luka traumatis
kambuhan (sering pusing dan mual-mual) dan terpaksa diopname di RSUD yang sama,
sebulan yang lalu karena ada pembekuan darah di bagian kepala. Diantara para korban, terdapat warga dari luar
desa Setrojenar, termasuk seorang mahasiswi UI yang tengah melakukan riset konflik
ekologi-politik di kawasan pesisir Urutsewu ini.
Sebanyak 12 sepeda motor berbagai merk juga ikut menjadi
korban tindakan brutal militer. Satu diantaranya adalah motor dinas plat merah
milik Kades Setrojenar. Bahkan hingga
saat ini keberadaan 12 sepeda motor ini makin tak jelas statusnya, meski memang
berada di markas Sub Denpom di Purworejo. Warga pemilik barang yang dirusak ini
dengan didampingi Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen (TAPUK) pernah
menanyakan perihal nasib 12 sepeda motor ini, tetapi tak pernah mendapat
jawaban jelas dan terbuka, kecuali hanya disarankan untuk langsung menanyakan
ke Denpom atasan di Semarang. Hal yang dirasa sangat merepotkan warga dan
petani pemiliknya.
Penanganan pasca tragedi ini dianggap berhenti di tempat dan
mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Pasalnya, 6 petani yang dianggap merusak
gapura dan melakukan kekerasan terhadap kurir logistik, dikriminalisasi dan
usai menjalani hukuman yang telah diputuskan PN Kebumen. Sedangkan oknum militer
dan komandan lapangan yang melakukan tindakan brutal, penganiayaan dan penembakan
terhadap petani; tak ada proses hukumnya. Militer juga melakukan tindakan
kekerasan dengan merusak 12 sepeda motor milik petani dan bahkan juga warga
luar desa. Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen (TAPUK) menengarai bahwa
tindakan brutal TNI, terutama prajurit Yonif 403 yang tak memahami inti
persoalanini bukan sekedar persoalan prosedural. Di tingkatan komandan mestinya
juga harus bertanggung jawab secara hukum. Apalagi petani telah menunjukkan
tanggungjawab hukumnya.
Peringatan “Setahun
Tragedi Urutsewu” di Setrojenar
Serangan brutal militer terhadap warga sipil dan petani
setahun lalu, sejatinya, tak bisa dipisahkan dari apa yang menjadi tuntutan
mayoritas petani kawasan Urutsewu di pesisir selatan Kebumen. Tuntutan ini
telah dimanifestasikan ke dalam 3 substansi. Pertama, warga petani menolak latihan TNI dan ujicoba senjata berat
di seluruh pesisir Urutsewu. Kedua, warga
petani menolak rencana penambangan pasirbesi di kawasan berpasir ini. Ketiga, warga petani menuntut segera ditetapkannya
kawasan pesisir Urutsewu sebagai kawasan pertanian dan wisata rakyat. Perihal
ketiga tuntutan yang telah amat jelas ini pernah diwujudkan melalui 2 kali aksi
demonstrasi ribuan massa petani; yakni pada tanggal 14 Mei 2009 dan 23 Maret
2011 ke DPRD dan Bupati kebumen.
Warga desa Setrojenar dengan dukungan warga lain desa serta
didukung banyak lembaga membentuk panita yang akan menggelar hajatan peringatan
ini dengan caranya sendiri. Tetapi pada intinya dilandasi oleh pemikiran bahwa
yang dilakukan oleh petani Urutsewu bukanlah melawan Negara, sebagaimana dituduhkan
sementara orang. Melainkan semata memperjuangkan hak penguasaan dan/atau hak
pemilikan serta kedaulatan ruang atas kawasan yang sejak dulunya menjadi basis
budidaya agraris ini. Termasuk menjadi basis industri garam rakyat yang popular
disebut masa sirat di jaman pemerintahan
kolonial Hindia-Belanda. Bahwa sejak lama telah digunakan oleh militer untuk
keperluan latihan dan ujicoba senjata berat, itu memang diakui, tetapi sejauh
ini ada pengertian dari fihak militer bahwa kawasan yang dipergunakan untuk itu
adalah kawasan milik petani dan banda desa sepanjang pesisir Urutsewu.
Ketua panitia, Nur Hidayat, yang juga mantan Kades
Setrojenar, atas kesepakatan warga Urutsewu sengaja mengundang berbagai fihak
untuk menghadiri perhelatan mengenang “Setahun Tragedi Setrojenar” ini. Panitia
sengaja mengundang unsur birokrasi dan bahkan juga pejabat militer. Diantaranya
ada Gubernur Jateng, Pangdam IV/Diponegoro, Detasemen Polisi Militer, Danrem Pamungkas, Dandenpom
Yogyakarta, dan SubdenPom Purworejo, Bupati, Dandim Kebumen, Ketua DPRD, Ketua
Pengadilan, Para Camat dan Kepala Desa di wilayah Urut Sewu.
Sedangkan dari kalangan organisasi petani ada Forum
Masyarakat Wotgalih (Foswot)Lumajang (Jawa Timur), Solidaritas Tolak Tambang
Besi (STTB) Yogyakarta, Paguyuban Petani Lahan Pesisir (PPLP-KP) Kulonprogo, Korban
Lumpur Lapindo Porong Sidoarjo, Sarekat Petani Banten, SeTaM Cilacap, SeTaM
Kebumen, Pandarincang (Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Pangandaran) dari Jawabarat.
Dari kawasan Urutsewu hadir juga “Laskar Dewi Rengas” yang bermarkas di
Tlogopragoto (Mirit), yang belakangan gencar menentang masuknya pertambangan
pasirbesi. Tak luput beberapa perwakilan dari desa-desa se kawasan pesisir Urutsewu,
seperti dari Puring, Petanahan, Klirong, Buluspesantren, Ambal, Mirit; akan
menghadiri. Peringatan ini juga dihadiri LBH Semarang, LBH Yogyakarta, LPH-Yaphi
Solo, SeTam Yogyakarta. Perhelatan peringatan “Setahun Tragedi Setrojenar” ini
didukung dan akan dihadiri pula oleh Komnas HAM (Jkt), KontraS (Jkt), Elsam
Jakarta, IHCS Jakarta, HRSI Jakarta, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Solidaritas
Perempuan (Soliper) Jakarta.
Pelaksanaan acara peringatan ini, secara umum, akan
dilaksanakan di lapangan terbuka dalam 2 sessi, dengan penjelasan:
1.
1. Hari Minggu, 15 April 2012, jam 20.00 wib – 24.00
wib, acara Mujahadah Bersama dan Pemutaran Video yang berkaitan dengan konflik
TNI vs Petani. Di lapangan terbuka blok Pendil desa Setrojenar;
2.
2. Hari Senin, 16 April 2012, jam 08.00 wib – 13.00
wib, acara Istighotsah, Vergadeering, Mimbar Orasi, Penyampaian Statement
Bersama dan Pengajian Akbar. Tempat di lapangan terbuka blok Pendil, desa
Setrojenar.