Pencantuman kembali kawasan Urutsewu sebagai kawasan pertahanan dan keamanan dalam naskah Draft Raperda RTRW, menuai kecaman keras petani di pesisir Kebumen selatan. Dan untuk kesekiankalinya, FPPKS mendatangi DPRD. Namun dengan dalih kesibukan, DPRD belum mengagendakan audiensi sebagaimana dimohonkan FPPKS. Surat balasan Ketua DPRD No.: 170/421 yang baru diterima Selasa (14/12), tetap saja tanpa menjelaskan kapan audiensi dapat diagendakan. Sementara itu, FPPKS telah 2 hari menunda kedatangannya ke gedung rakyat ini.
Ketika pada Rabu (15/12) puluhan perwakilan FPPKS datang, justru ditemui oleh polisi. Lagi-lagi, dengan dalih tanpa pemberitahuan ke polisi dan dalih keterbatasan kapasitas ruang, perwakilan FPPKS tak diperkenankan masuk. Jelas dalih ini terlalu mengada-ada. Beberapa wartawan yang siap meliput pun menyayangkan kenapa Dewan terkesan persulit diri dalam menyikapi kedatangan perwakilan FPPKS. Tokh pada akhirnya, Ketua DPRD, Ir. Budi Hianto Susanto dapat menunjuk Mukhayat dan H. Sarimun. Masing-masing dari Komisi B dan Komisi D, untuk menerima perwakilan FPPKS di ruang sidang lantai 2.
Catatan Substansial Ketua FPPKS, Seniman, mengawali audiensi dengan menunjuk langsung substansi masalah. Pencantuman kawasan Urutsewu sebagai kawasan Hankam, adalah mengingkari hak-hak petani, mengabaikan dan membohongi fakta sejarah tanah dalam proses menyusun dan menyiapkan Draft Rancangan Perda RTRW Kab. Kebumen. Sebagaimana disebutkan dalam naskah Executive Summary yang disusun Bappeda Kab. Kebumen dan Dirjen Penataan Ruang pada Kementrian PU Profinsi Jateng. Dalam naskah Bantek Penyusunan RTRW tersebut, pada halaman 39, butir k, Kawasan Pertahanan Keamanan, disebutkan:
Kawasan pertahanan dan keamanan di Kabupaten Kebumen dipergunakan untuk latihan TNI dan lapangan uji coba senjata. Daerah latihan TNI meliputi daerah Urutsewu (wilayah yang meliputi desa-desa di Kecamatan Mirit, Ambal dan Buluspesantren), daerah ini sudah dipergunakan sejak tahun 1937 dengan memanfaatkan tanah Negara dengan lebar plus-minus 500 meter dari air laut ke utara sepanjang 22,5 km. Adapun lapangan uji coba senjata dengan luas tanah 3.853.000 m2 terletak di desa Entak, Kenoyojayan, Kaibon Petangkuran, Kaibon dan Sumberjati Kecamatan Ambal. Rencana Pengelolaan kawasan pertahanan dan keamanan adalah tidak boleh ada kegiatan lain selain kegiatan pertahanan keamanan di kawasan pertahanan dan keamanan yang merupakan tanah Negara. Adapun tanah Bera Sengaja boleh digunakan oleh masyarakat sebagai tempat budidaya pertanian selama tidak digunakan untuk latihan TNI. Substansi dari keseluruhan resume di atas jelas bakal jadi momentum dimarjinalisasikannya kepentingan kaum tani di pesisir selatan Kebumen. Juga aspirasi yang muncul melalui berbagai ruang. Mulai dari meeting, rakor, mediasi, audiensi hingga demonstrasi massa pada 14 Mei 2009 lalu serta aksi-aksi lokal pada bulan berikutnya. Sementara konflik kepentingan TNI vs Petani ini telah berlangsung sejak lebih 28 tahun tanpa penyelesaian yang melindungi kepentingan kaum tani. Secara histories, tanah-tanah di pesisir selatan ini merupakan tanah warisan leluhur. Catatan sejarah saat ini memang hanya ada di dalam ingatan kolektif petani Urutsewu.
Sejarah tanah pada
Jaman Klangsiran, tahun 1932, pada masa itu pemerintah kolonial melakukan pemetaan tanah atau yang dalam idiom lokal disebut dengan
Klangsiran. Hal itu dilakukan untuk menegaskan batas “tanah Negara” dengan “tanah Rakyat”. Fakta sejarah ini masih ada buktinya, yakni berupa
Pal Budheg, patok tanah dengan kodevikasi Q. Ada Q222 di desa Setrojenar (Buluspesantren), ada Q216 di desa Entak (Ambal). Dan beberapa
Pal Budheg di titik lain yang disinyalir hilang atau rusak sebab dipakai latihan
titis dengan penanda bendera dan digunakan untuk sasaran tembakan kanon pada masa latihan TNI di kemudian hari.
Statement
nDoro Klangsir, 1932, yang menegaskan bahwa “tanah Kumpeni” (baca: tanah Negara) adalah yang terbentang di sisi selatan patok
Pal Budheg itu. Sedangkan bentangan luas di sisi utara dari
Pal Budheg adalah tanah-tanah Rakyat !
Catatan lain, argumentasi yang menyebut penggunaan k.l.500 meter tanah “Negara”, sejak 1937, untuk latihan tentara; itu bukan fakta sejarah yang sesungguhnya. Fakta yang benar, jarak
Pal Budheg yang menjadi penanda batas tanah Negara berada pada titik sejauh 216 meter, 222 meter, dan paling jauh 250 meter dari garis air. Bahwa ada pemanfaatan tanah sejauh k.l. 500-an meter untuk latihan TNI; itu ada kisah dan kesaksiannya sendiri. Pada inti awalnya, penggunaan tanah sejauh itu karena kebijakan “pinjam pakai” yang direstui para Kades di masa lalu. Tetapi, ingat, pinjam pakai saat latihan saja dan semua itu bukan hasil musyawarah dengan para pemilik dan pewaris hak tanah. Alur testimoni ini tak banyak dipahami.
Di dalam audiensi FPPKS-DPRD Kab. Kebumen (15/12), Nur Hidayah, perwakilan FPPKS yang mantan Kades Setrojenar, menyampaikan keinginan mayoritas petani pesisir untuk meraih “kemajuan di daerah sendiri”. Dan momentum penyusunan Draft Perda RTRW, merupakan moment strategis, karena Perda RTRW ini bakal diberlakukan 30 tahun ke depan. Perda RTRW ini menjadi instrument hukum dan “perangkat lunak” yang bakal mengatur peruntukan tanah di daerah, termasuk di sepanjang pesisir Urutsewu. Pemanfaatan tanah di pesisir selatan untuk latihan TNI sudah tidak relevan lagi. Jadi peruntukan kawasan ini sudah semestinya difokuskan untuk pengembangan pertanian holtikultura dan pariwisata saja.
Sedangkan Paryono yang juga Koordinator FPPKS, menilai ketentuan dan klaim batas 500 meter dari garis air sebagai tanah Negara, semua itu pembohongan sejarah dan tidak memiliki landasan hukum. Demikian juga dengan argumentasi bahwa sejak tahun 1937, telah dipakai tentara. Itu kan tentara penjajah. Karena siapa pun tahu sejak kapan TNI itu ada. Keberadaan TNI pun juga tidak sertamerta melestarikan tradisi atau kebiasaan kolonial. Jadi makin tak masuk akal. Mengenai riwayat tanah, yang paling tahu dan berwenang adalah Badan Pertanahan. Faktanya, pada tahun 1967 sudah ada warga yang menyertifikatkan tanahnya. Pada prinsipnya, dari dulu kami dan para petani lain tak pernah mengijinkan tanah kami dipakai untuk kawasan Hankam.
Perwakilan dari Kaibon Petangkuran (Ambal), Ngaskolani, menilai keberadaan TNI di wilayah Urutsewu, jelas-jelas merugikan petani. Tanaman holtikultura, seperti cabai, semangka dan sayuran lain, butuh perawatan rutin dengan intensitas harian yang tinggi. Belum lagi pada masa serangan hama. Pengalaman empiris saat dipakai latihan TNI, petani tak boleh melakukan apa pun terkait kegiatan bertaninya. Apa jadinya? Jelas-jelas cuma menangguk kerugian. Dan selama ini belum pernah terjadi TNI memberikan gantirugi atau kompensasi apa pun. Jadi lebih baik jika semua jadwal dan kegiatan tentara dibatalkan saja. Untuk menjawab kebutuhan umum yang terpenting bagi kaum tani pesisir, maka penolakan penetapan kawasan Hankam merupakan "harga mati" yang tak bisa ditawar lagi
Demikian juga dengan Yatiman, petani dari desa Brecong (Buluspesantren) yang dengan menenteng dokumen berita masa lalu, secara lugas bahkan menuding TNI dengan perilakunya memanfaatkan tanah petani tanpa ijin langsung dari petani, serta klaim sejauh 500 meter tanah Negara; jelas sebagai tindakan menyerobot tanah petani.
Dari perspektif hukum, Yusuf Suramto, mengingatkan landasan konstitusional Negara yang menjamin hak hidup dengan rasa aman bagi seluruh warganegara. Turunan UUD’45 adalah UU dan semua produk aturan hukum mesti menjamin rasa aman itu. Dan Perda RTRW ini, jika dipaksakan dengan substansi sebagaimana tercantum dalam rancangannya; jelas-jelas akan bertentangan dengan UU dan mengingkari kewajiban penyelenggara Negara yang harus menjamin rasa aman bagi warganegaranya. Jadi harus dicermati, problem di Urutsewu jangan dilihat semata sebagai konflik Petani vs TNI. Tetapi juga jaminan Negara atas kepentingan petani di sana.
Terhadap semua ini, Mukhayat, S.Ag, anggota Komisi B DPRD yang menerima perwakilan petani Urutsewu bersama koleganya, H. Sarimun anggota Komisi D; menghargai penyampaian aspirasi tersebut. Sebagai petani dan sekaligus wakil rakyat dari daerah pemilihan Kec. Ambal, ia memahami betul keinginan petani pada umumnya di kawasan Urutsewu. Pengalaman empiris di kawasan itu sangat potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan pertanian, khususnya holtikultura dan juga peruntukan sebagai pengembangan pariwisata. Ia mendukung penuh dan akan memperjuangkan aspirasi ini.
Sebelum acara audiensi ditutup, Ketua FPPKS mengingatkan kembali bahwa paparan rancangan Perda RTRW ini, sesungguhnya pernah diajukan setahun yang lalu. Juga di gedung DPRD. Dan baik sikap FPPKS maupun Dewan waktu itu, sama. Menolak Naskah Executive Summary sebagai bahan akhir pembuatan Raperda RTRW dan Dewan meminta rancangan yang memuat substansi pemanfaatan kawasan pesisir sebagai kawasan Hankam, direvisi dulu, sebelum diajukan kembali. Jika kemudian pada tahun 2010 ini bakal diajukan kembali dengan substansi yang sama, maka penolakan Raperda RTRW bakal kembali muncul menjadi gerakan massa rakyat yang lebih besar.