Tiga hari setelah musyawarah petani kawasan Urut-Sewu menghasilkan ketetapan tekad untuk Menolak Latihan TNI dan mempertahankan kawasan pesisir selatan sebagai kawasan pertanian dan wisata; melayanglah undangan dari Bupati Kebumen. Undangan yang keperluannya tertulis sebagai silaturahmi, melibatkan unsur TNI, Pemkab dan tokoh masyarakat Urut-Sewu; di Pendopo rumah dinas Bupati ini juga dihadiri oleh puluhan petani dari kawasan pesisir selatan.
Sejak keberangkatan para petani ini telah bersepakat, bahwa jika dalam silaturahmi itu disinggung atau digiring untuk ada kesepekatan kompromi dengan tentara; maka petani akan meninggalkan tempat. Ternyata memang benar begitu. Berikut ini adalah cuplikan berita harian Suara Merdeka, edisi Kamis 22 Oktober 2009; TNI Bisa Latihan di Urut Sewu; Petani Boleh Bercocok Tanam:
______
KEBUMEN. Bupati Kebumen KH.M. Nashirudin Al Mansyur menyatakan permasalahan tanah Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI-AD dengan masyarakat di wilayah Urut Sewu, Kebumen untuk sementara menjadi
status quo, yakni kembali pada keadaan sebelum terjadinya permasalahan.
Artinya penggunaan lahan untuk kegiatan dilaksanakan seperti sebelum ada permasalahan.
"TNI dapat melaksanakan latihan seperti sedia kala. Sedangkan para petani dapat melaksanakan kegiatan bercocok tanam", ujar Bupati pada acara silaturahmi antara TNI, Pemkab dan tokoh masyarakat Urut Sewu di Pendapa Rumah Dinas Bupati, Selasa (20/10).
______
Menanggapi berita ini, para petani mengkonsolidasikan diri kembali. Agaknya tekad untuk mempertahankan kawasan Urut Sewu sebagai kawasan pertanian dan wisata yang terbebas dari segala aktivitas tentara, bakal jadi perjuangan panjang. Petani menilai bahwa statement Bupati yang menyatakan kawasan itu untuk sementara menjadi "status quo", adalah sebagai pengingkaran terhadap kenyataan bahwa di situ ada masalah yang langsung berkaitan dengan hajat hidup ribuan petani.
Selamatan DislitbangadHari Jum'at, 23 Oktober 2009, di Kantor Dislitbangad yang berada di desa Setrojenar diadakan tahlil selamatan dalam rangka rencana TNI melakukan latihan lagi. Beberapa petani yang berdekatan dengan lokasi dan diundang pada acara itu, memastikan maksud hajatannya memang akan latihan kembali. Kabar ini sontak memicu reaksi warga desa Setrojenar yang lainnya, serta pemuda.
Ribuan orang mengepung kompleks kantor yang sekaligus berdekatan dengan mess asrama.
Beruntung situasi yang kemudian memanas hampir tak terkendali ini dapat diredam, bukan oleh aparat, tetapi terutama oleh para tokoh seperti Kades dan para tokoh lainnya.
Situasi ini menyadarkan semua warga bahwa masih ada ancaman penggunaan kawasan pertanian sebagai zona latihan tentara dan ajang uji-coba senjata. Sehingga tekad untuk menolak segala bentuk latihan TNI makin membaja. Dan sejak lama memang telah disepakati, jika pada saatnya tentara bersikeras mau latihan kembali, maka semua warga akan menghadang dan menggagalkannya.
Profokasi Tentara di Tengah HariMalam itu banyak orang berjaga, terutama para pemuda desa Setrojenar. Paginya juga masih berlanjut, meski tak sebanyak saat malam. Banyak petani memutuskan untuk menunda pekerjaan di sawah ladang pada hari itu. Hal ini untuk mengantisipasi segala kemungkinan di siang harinya.
Tetapi sejak pagi kehidupan berjalan seperti biasanya. Para pemancing yang biasa menyalurkan kesukaannya di pantai Setrojenar berdatangan.
Hal yang mencolok pagi hari adalah banyaknya kunjungan anak-anak SD yang kebetulan baru selesai melaksanakan test mide-smesternya. Ribuan anak dikawal para guru mereka naik sepeda. Ada yang datang dari SD Negeri Kalibagor yang jaraknya mencapai belasan kilometer.
Lepas tengah hari, warga yang lewat jalan Daendels menginformasikan ada satu bus tengah berhenti di warung makan sebelah timur kantor Camat. Melihat posisinya, beberapa tentara yang tengah turun untuk keperluan makan siang itu datang dari arah timur. Beberapa orang menunggu di sekitarnya.
Dan saat bus ini berjalan kemudian berbelok arah menuju jalan ke pantai, disampaikanlah pesan waspada. Bus yang tak seberapa besar itu langsung menuju ke pantai, dan bertanya ke beberapa orang mengenai posisi lapangan tembak.
Di kampung, pesan getok tular itu menggerakkan orang untuk keluar rumah dan bergerak ke jalanan desa. Tak lama kemudian berkumpul puluhan warga dan diikuti oleh warga lain di belakangnya.
(bersambung)
(bersambung)