Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
SEMARANG (KM) – Penandatanganan Surat Keputusan Bersama antara Pangdam IV/ Diponegoro dengan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jateng dan DIY dilaksanakan di Hotel Patrajasa Semarang, Jumat 2/11.
Dalam acara tersebut dilakukan pula penandatanganan PKS Integrasi Data Pertanahan dan Data Perpajakan antara Kantor Pertanahan dengan Pemkot Magelang, Pemda Semarang dan Pemda Sukoharjo yang dihadiri Menteri ATR/ Kepala BPN RI, Sofyan Djalil, Pangdam IV/Diponegoro Mayor Jenderal TNI Wuryanto, Wakapolda Jateng, Danrem 071/WK, para Asisten Kasdam IV/Diponegoro, para Kabalagdam IV/Diponegoro, Dandim jajaran Kodam IV/Diponegoro, Sekda Provinsi Jateng, Dirjen Infrastruktur Agraria, Kakanwil BPN Jateng, Kakanwil BPN Provinsi DIY, para Kepala BPN se-Jateng, para Kepala BPN se-DIY, para Kasi BPN se-Jateng dan para Kasi BPN se-DIY.
Dalam sambutannya Kakanwil BPN Provinsi Jateng mengatakan bahwa penandatanganan naskah kerjasama antara Kakanwil BPN Provinsi Jateng dan DIY ini antara lain sertifikasi tanah milik Angkatan Darat di wilayah Kodam IV/Diponegoro.
“Untuk itu para Dandim agar membentuk tim pendampingan kerja terhadap para Babinsa dalam persertifikasian tanah milik Angkatan Darat di wilayah Kodam IV/Diponegoro. Dengan dilaksanakannya penandatanganan keputusan bersama ini adalah untuk mewujudkan kerja sama antara Kodam lV/Diponegoro dengan Badan Pertanahan Nasional Wilayah Provinsi Jateng-DIY sehingga dapat tercipta suatu sinergitas yang baik,’’ katanya.
Sementara Pangdam IV/Diponegoro Mayor Jenderal TNI Wuryanto mengatakan bahwa kerjasama ini merupakan tindak lanjut dari perjanjian kerjasama antara Sekjen Kementerian Pertahanan RI dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN pada tanggal 31 Maret 2017.
“Perjanjian kerjasama tentang Pokja pensertifikatan, penanganan permasalahan dan pendampingan Babinsa dalam rangka menunjang program strategis nasional. Tujuan dilaksanakannya penandatanganan keputusan bersama ini adalah untuk mewujudkan kerja sama antara Kodam lV/Diponegoro dengan Badan Pertanahan Nasional Wilayah Provinsi Jateng-DIY sehingga dapat tercipta suatu sinergitas yang baik,” katanya.
“Untuk memberikan percepatan pelayanan pensertifikatan serta penanganan dan penyelesaian masalah aset tanah TNI AD di wilayah Kodam IV/Diponegoro,” lanjutnya.
“Melihat semakin pesatnya prospek pengembangan pembangunan di wilayah Jawa tengah dan DIY, pengamanan aset tanah secara administrasi melalui pensertiflkatan penting untuk dilaksanakan. Sebagai informasi, berdasarkan data yang diperoleh dari hasil peninjauan di Iapangan, total aset tanah Kodam lV/Diponegoro yang berada di wilayah Jateng dan DIY sejumlah 694 bidang dengan luas 62.223.054 m2, namun dari keseluruhan aset tanah tersebut, tanah yang sudah bersertifikat baru sejumlah 564 bidang, dengan luas 45.768.349 m2. Sehingga masih ada 130 bidang dengan luas 16.454.705 m2 yang belum bersertifikat. Disamping itu, masih terdapat aset tanah bermasalah berjumlah 20 bidang, dimana 7 bidang dalam proses hukum dan 13 bidang belum ditangani. Dalam rangka menyelesaikan permasalahan aset tanah ini maka diperlukan peran BPN untuk membantu Kodam IV/Diponegoro,” jelasnya.
“Dalam rangka meningkatkan pelayanan pensertiflkatan melalui nota kesepahaman ini, Kodam lV/Diponegoro akan melibatkan Babinsa untuk pendampingan personel BPN dalam membantu pelaksanaan pensertifikatan aset tanah di setiap wilayah Jateng DIY. Untuk itu para Dansatkowil agar memastikan dan memahami betul batas-batas pelibatan/ tugas dan tanggung jawab pendampingan tersebut, jangan sampai pandampingan ini kontra produktif dengan tujuan dan sasaran Binter,” harapnya.
“Saya berharap semoga kerja sama yang terjalin ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi positif demi kesejahteraan serta kemakmuran masyarakat Jawa Tengah dan DIY,” pungkasnya.
Menteri ATR/ Kepala BPN RI, Sofyan Djalil mengatakan dengan adanya kerjasama ini maka tidak ada lagi permasalahan sengketa karena sudah mempunyai perkuatan hukum.
“Saya harap kerja sama yang sudah terjalin ini mari kita jaga bersama sama agar tercipta suatu sinergitas yang baik, untuk memberikan percepatan pelayanan pensertifikatan serta penanganan dan penyelesaian masalah aset tanah TNI AD di wilayah Kodam IV/Diponegoro,” katanya.
2018/10/06 Laporan Khusus dari Tim Riset dan Data, Katadata
Pembangunan mega proyek Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah
tidak diikuti dengan program perlindungan bagi korban terdampak. Akibatnya,
setelah 30 tahun waduk beroperasi, warga di area waduk masih terjerat dalam
kubangan kemiskinan berkepanjangan.
Lahan, rumah,
semua habis tak tersisa dan tidak ada simpanan apa pun,” ujar Parno saat
bercerita mengenai kenangan kelam 30 tahun silam. Dia merupakan salah satu
generasi pertama korban proyek pembangunan dam raksasa yang mengakibatkan
banyak warga kehilangan harta benda dan mata pencaharian.
Tempat tinggalnya
dahulu, Dusun Kedungpring, Desa Kedungrejo, Kecamatan Kemusu, Kabupaten
Boyolali sudah hilang tenggelam oleh air Waduk Kedung Ombo. Dia terpaksa
mencari tempat tinggal baru meninggalkan kampung halamannya yang ditempatinya
sejak kecil.
Sekarang Parno tak mempunyai
pekerjaan tetap. Dia menjadi buruh serabutan, termasuk buruh tani. “Dulu saya
petani, sekarang buruh tani. Ngono
wae opo enekke (begitu saja apa adanya),” kata pria berumur 65
tahun ini.
Selama 13 tahun sejak
waduk beroperasi, Parno harus mengungsi dari kepungan air waduk. Baginya,
proyek Waduk Kedung Ombo adalah mala petaka. Betapa tidak. Seandainya, tidak
ada proyek itu, dia bisa mengolah lahan sawah seluas 1 hektare hasil warisan
dari orang tuannya. Namun sejak 1989, sawahnya terendam air waduk sehingga
tidak bisa dimanfaatkan. Perubahan profesi menjadi buruh serabutan membuat
kesejahteraannya merosot.
Bergeser sedikit dari Boyolali, ada Fariz yang juga
menerima kenyataan pahit. Warga Desa Gilirejo, Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen
ini kehilangan tempat tinggal dan sawah seluas 4 hektare karena terendam oleh
Waduk Kedung Ombo. Posisi rumahnya memang hanya berjarak beberapa meter dari
bibir waduk, sehingga masuk area greenbelt atau sabuk hijau yang harus bersih
dari permukiman.
Dia mengenang seandainya tiga dekade silam, sawahnya tidak tenggelam, dia
mengaku bisa pensiun dini. Sawahnya yang luas bisa digarap dengan mempekerjakan
beberapa orang. “(Seharusnya) Saya bisa di rumah saja. Menanti hasil dari sawah
yang cukup untuk makan satu tahun,” kata Fariz.
Sekarang, Fariz terpaksa bekerja keras menjadi pedagang kambing untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bersama istri dan ketiga anaknya. Bila
tidak ada hewan ternak yang dijual, dia bekerja serabutan di pasar kambing di
Sragen yang jauh dari tempat tinggalnya. Dari hasil membantu di pasar, dia bisa
mendapat Rp 25 ribu. Tapi, setelah dipotong biaya membeli bensin Rp 15 ribu,
uangnya hanya tersisa Rp 10 ribu untuk keluarganya. “Bisa apa dengan uang sebesar
itu?” ujarnya.
Bertahan di Tengah Kemiskinan
Hingga saat ini, Fariz masih bertahan di tempat
tinggalnya. Rumah semi permanen, berdinding kayu, bambu dan sedikit bata.
Sementara, sebagian lantai rumah masih beralas tanah walaupun sebagian kecil
sudah disemen. Bagian atap rumah banyak yang rusak. “Usuk (bagian rangka atap) dan genteng mau
jatuh,” ujar Fariz.
Sementara di dapur, hanya ada tungku kayu bakar untuk memasak. Barang
mewah yang terlihat hanya satu televisi di ruang keluarga. “Saya tidak punya
kulkas. Boro-boro mas. Wong kompor saja
bukan (berbahan bakar) gas LPG,” kata Fariz.
Untuk mobilitas dan mencari nafkah setiap hari, dia
mengandalkan motor bebek lawas, Honda Supra yang sudah berusia 21 tahun.
Parno dan Fariz adalah contoh dari para warga yang menjadi korban
pembangunan Waduk Kedung Ombo di Kabupaten Sragen dan Boyolali. Mereka tinggal
di rumah yang tidak layak huni, kehilangan tanah dan lahan pertanian, serta
tidak lagi punya pekerjaan dan penghasilan tetap.
Mereka bersama warga lain terjerat dalam kesulitan ekonomi dan sosial.
Hasil survei tim Katadata terhadap warga terdampak yang
tinggal di sekitar Waduk Kedung Ombo menunjukkan bahwa kesulitan ekonomi
membuat mereka tidak bisa menambah kepemilikan barang kebutuhan rumah tangga
setelah 30 tahun pembangunan waduk.
Kepemilikan barang dari warga terdampak yang pindah ke sekeliling area
waduk hanya bertambah satu barang. Kacaunya proses pembangunan di masa lalu
membuat mereka sulit menaikkan taraf hidup dan menambah barang rumah tangga,
seperti lemari es, televisi, bahkan ponsel yang kini sudah jamak dimiliki
masyarakat. Yang ada justru harta mereka berkurang, terutama terkait dengan
kepemilikan tanah dan lahan pertanian.
Perbandingan Kepemilikan Barang
Warga Terdampak (Jawa Tengah)
Tanah dan lahan pertanian mereka menurun antara sebelum
dan sesudah pembangunan waduk.
Tidak hanya dari sisi kepemilikan barang, mereka masuk dalam kategori miskin. Dari tingkat pengeluaran, hasil survei menunjukkan pengeluaran keluarga terdampak di sekitar waduk rata-rata Rp 1,3 juta per bulan. Sebagai perbandingan, menurut data BPS, pengeluaran keluarga yang termasuk dalam kategori miskin adalah Rp 1,8 juta per bulan. Yang lebih memprihatinkan, sebagian besar pengeluaran mereka habis terpakai untuk kebutuhan pangan. Di wilayah terdampak di sekitar Kedung Ombo, pengeluaran untuk pangan mencapai 67% dari total rata-rata pengeluaran per bulan.
Kondisi saat ini tentu saja berbanding terbalik dengan kondisi sebelum waduk dibangun. Dulu banyak warga terdampak memiliki lahan garapan yang ditanami komoditas pangan. Hasilnya sebagian dijual dan sisanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, setelah lahan garapan terendam, mereka kehilangan mata pencaharian sekaligus sumber bahan pangan sehingga harus mencari sumber lain.
Tidak adanya keterampilan dan keahlian lain yang dimiliki, membuat mereka tidak punya banyak pilihan soal mata pencaharian. Hampir 87% warga terdampak bekerja sebagai petani dan buruh tani. Baik di lahan milik sendiri maupun menjadi buruh di lahan orang lain. Meski begitu, menggarap lahan sendiri hanya bisa dilakukan pada saat air mengering sehingga tidak bisa bercocok tanah sepanjang tahun.
Pekerjaan Warga Terdampak (Jawa Tengah)
Terbang jauh ke Mukomuko, salah satu tempat tujuan transmigrasi warga terdampak Kedung Ombo, memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda. Hingga saat ini, sebagian besar atau 81% transmigran masih berprofesi sebagai petani. Lainnya, bekerja sebagai buruh dan pedagang atau wiraswasta.
Berbeda dengan di Jawa Tengah yang menjadi buruh petani di lahan milik orang lain, sebagian besar petani di Mukomuko bertani dan berkebun di lahan milik sendiri walaupun tanah yang diberikan tidak cocok untuk menanam padi.
Dari sisi kesejahteraan, rata-rata pengeluaran keluarga transmigran tidak besar, hanya Rp 1,8 juta per bulan dengan pengeluaran untuk pangan sebesar 40,3%. Sebagian besar pendapatan mereka bergantung pada hasil panen dari lahan sendiri. Pengeluaran ini hampir sama dengan pengeluaran keluarga miskin berdasarkan versi BPS.
Setumpuk Masalah Pemicu Kemiskinan
Pembangunan Waduk Kedung Ombo tak bisa dimungkiri masih mewariskan banyak masalah hingga sekarang, terutama kemiskinan bagi korban terdampak. Sejatinya, tujuan proyek ini memang untuk kepentingan orang banyak. Proyek pembangunan dengan bantuan Bank Dunia merupakan salah satu proyek mercusuar pada rezim Soeharto.
Citra Satelit Waduk Kedung Ombo
Pembangunan waduk menenggelamkan pemukiman dan lahan subur milik warga di tiga kabupaten
Proyek yang berada di perbatasan tiga wilayah kabupaten
di Jawa Tengah, yakni Boyolali, Sragen, dan Grobogan ini merupakan satu paket
dengan rencana irigasi seluas 59.340 hektare (Ha). Harapannya, dapat mengairi
dan meningkatkan produksi lahan pertanian. Selain itu, waduk ini juga akan
difungsikan sebagai pengendali banjir, pengatur suplai air, serta pembangkit
listrik berkapasitas 22,5 MW yang bisa mengaliri listrik di Jawa Tengah dan
sekitarnya.
Dari sisi biaya, mega proyek ini memang membutuhkan
anggaran tidak sedikit. Secara keseluruhan, pembangunan memerlukan biaya
sekitar US$ 283,1 juta. Ini mencakup biaya konstruksi waduk, pembangkit listrik
dan irigasi, equipment, biaya konsultan, administrasi, hingga biaya untuk
ganti rugi lahan bagi warga terdampak.
Anggaran Biaya Proyek Waduk Kedung Ombo
(US$)
38,6 Juta(13,6 %)
Konstruksi Waduk
15.7 Juta(5,5 %)
Pembangkit Listrik
88,1 Juta(31,1 %)
Irigasi
14,3 Juta(5,1 %)
Peralatan
15,1 Juta(5,3 %)
Jasa Konsultan
13,4 Juta(4,7 %)
Administrasi
25,5 Juta(9 %)
Akuisisi Lahan
27,4 Juta(9,7 %)
Cadangan Fisik
45,0 Juta(15,9 %)
Cadangan Harga
Cadangan Harga
Besarnya kebutuhan dana untuk mewujudkan proyek besar ini
membuat pemerintah Soeharto tak mampu membiayai sendiri. Dari total biaya,
pemerintah Indonesia menanggung 37% dan 8% dari kredit ekspor. Bagian terbesar
didanai dari pinjaman Bank Dunia, sebesar US$156 juta atau sekitar 55%. Jangka
waktu pinjamannya selama 20 tahun.
Proyek yang berada di perbatasan tiga wilayah kabupaten
di Jawa Tengah, yakni Boyolali, Sragen, dan Grobogan ini merupakan satu paket
dengan rencana irigasi seluas 59.340 hektare (Ha). Harapannya, dapat mengairi
dan meningkatkan produksi lahan pertanian. Selain itu, waduk ini juga akan
difungsikan sebagai pengendali banjir, pengatur suplai air, serta pembangkit
listrik berkapasitas 22,5 MW yang bisa mengaliri listrik di Jawa Tengah dan
sekitarnya.
Dari sisi biaya, mega proyek ini memang membutuhkan
anggaran tidak sedikit. Secara keseluruhan, pembangunan memerlukan biaya
sekitar US$ 283,1 juta. Ini mencakup biaya konstruksi waduk, pembangkit listrik
dan irigasi, equipment, biaya konsultan, administrasi, hingga biaya untuk
ganti rugi lahan bagi warga terdampak.
Anggaran Biaya Proyek Waduk Kedung Ombo
(US$)
38,6
Juta(13,6 %)
Konstruksi Waduk
15.7
Juta(5,5 %)
Pembangkit Listrik
88,1
Juta(31,1 %)
Irigasi
14,3
Juta(5,1 %)
Peralatan
15,1
Juta(5,3 %)
Jasa Konsultan
13,4
Juta(4,7 %)
Administrasi
25,5
Juta(9 %)
Akuisisi Lahan
27,4
Juta(9,7 %)
Cadangan Fisik
45,0
Juta(15,9 %)
Cadangan Harga
Besarnya kebutuhan dana untuk mewujudkan proyek besar ini
membuat pemerintah Soeharto tak mampu membiayai sendiri. Dari total biaya,
pemerintah Indonesia menanggung 37% dan 8% dari kredit ekspor. Bagian terbesar
didanai dari pinjaman Bank Dunia, sebesar US$156 juta atau sekitar 55%. Jangka
waktu pinjamannya selama 20 tahun.
Seorang warga memperlihatkan surat ganti rugi yang diterima dari
pemerintah.
Dalam prosesnya, pembangunan waduk ini cenderung
dipaksakan agar sesuai jadwal, berlangsung selama lima tahun, dari 1985-1990.
Proses ganti rugi pembebasan lahan dimulai pada saat waduk mulai dibangun. Ini
juga berbarengan dengan program transmigrasi penduduk ke luar Pulau Jawa
seperti Bengkulu, Jambi, hingga Papua.
Sebagian besar dari mereka dipindahkan ke Kabupaten
Mukomuko, Bengkulu, khususnya di SP 5 sampai 8. Pada 1991, Waduk Kedung Ombo
ini diresmikan oleh Presiden Soeharto.
Perjalanan Proses Ganti Rugi Lahan Warga
Persoalannya, sepanjang periode pembangunan, prosesnya
tidak berjalan selancar sesuai yang direncanakan. Satu per satu masalah muncul.
Pemicu awalnya adalah masalah ganti rugi. Warga merasa ganti rugi terlalu kecil,
tidak ada pengukuran yang sah, bahkan tidak ada sosialisasi menyeluruh kepada
warga. Lahan pertanian mereka juga tidak dihitung dalam penggantian rugi
tersebut.
Kesaksian itu diungkapkan oleh Gatot Ratmoko, salah satu
korban pembangunan waduk. Dia memandang pemerintah tidak melakukan tugasnya
dengan baik. “Pemerintah lupa. Melupakan musyawarah mufakat,” ujar Gatot.
Masalah bertambah pelik ketika warga penolak ganti rugi
kemudian mengalami intimidasi, kekerasan hingga pelanggaran hak asasi manusia
(HAM). Upaya pemerintah melibatkan aparat kepolisian dan TNI pada masa itu,
justru semakin memperkeruh proses ganti rugi yang sudah kisruh tersebut.
Aksi warga penentang ganti rugi ini kemudian berujung
pada pengaduan ke Lembaga Swadaya Setempat (LSM) setempat hingga protes
terhadap Bank Dunia. Lembaga donor ini dinilai tidak melakukan pengawasan
dengan baik terhadap pencairan uang ganti rugi.
Selain soal ganti rugi, penyebab kemiskinan yang dialami
para korban terdampak adalah kehilangan lahan yang menjadi sumber mata
pencaharian. Seperti halnya Parno dan Fariz, Wajiman, pria yang tinggal di
dusun Gunung Sono, Desa Gilirejo, juga menjadi contoh warga yang kehilangan
sumber pendapatan penopang kesejahteraannya.
Dalam menggarap sawahnya, Wajiman mengaku bergantung pada
pasang-surutnya air waduk. Bila musim hujan tiba, air waduk akan naik sehingga
warga menganggur karena tidak ada lahan yang bisa digarap. Sebaliknya, jika
kemarau panjang, Wajiman bersama warga terdampak lainnya, bisa bercocok tanam
karena air waduknya surut.
Sumber lain yang menjadi pemicu kemiskinan warga adalah
akses terhadap fasilitas publik. Pembangunan waduk justru memutus banyak akses
dan cenderung menyulitkan warga yang tinggal di sekitar waduk. Contohnya,
Juninah, warga desa Mlangi, Kabupaten Boyolali. Seorang janda berusia 57 tahun
merasakan akses saat ini lebih sulit jika dibandingkan sebelum adanya proyek
pembangunan waduk.
“Dahulu, di situ ada jalan raya menuju pasar dan kota,”
kata dia seraya menunjuk jalan di hadapannya yang sudah tergenang air. “Namun
sekarang, kami harus berputar menyusuri kampung untuk mencapai pasar dan pusat
kota.”
Dampak dari terputusnya akses ke fasilitas publik
tersebut membuat Juninah dan para warga di sekitar waduk harus mengeluarkan
anggaran yang jauh lebih besar untuk biaya transportasi. Jarak yang terlalu
jauh dengan pasar membuat mereka harus mengeluarkan biaya lebih untuk memenuhi
kebutuhan pokok, terutama kebutuhan pangan. Harganya menjadi lebih mahal karena
tidak mudah diperoleh.
Transmigrasi Bukan
Solusi
Kesulitan ekonomi bukan saja dialami warga terdampak yang
tinggal di sekitar Kedung Ombo. Kehidupan warga yang menerima ganti rugi dan
ikut program transmigrasi pun tidak lebih baik dibanding warga yang memilih
bertahan. Warga transmigran merasa tempat yang dituju jauh dari harapan yang
ditawarkan pemerintah. Lokasinya terpencil dan terisolasi. Bahkan, lahan yang
dijanjikan terbukti tidak siap untuk ditanami padi dan tanaman pangan lain.
Sugeng adalah salah satu contoh korban terdampak yang
kemudian ikut transmigrasi bersama 3.006 keluarga. Dia meninggalkan tanah
leluhurnya di desa Klewor, Boyolali, Jawa Tengah. Ayah tiga anak ini sejak 1990
harus mengais periuk di desa Rawa Mulya, Satuan Pemukiman 7 (SP7), Mukomuko,
Bengkulu.
__
Sugeng merasakan betapa pahitnya kehidupan di daerah
transmigran. Dia mengaku, lahan yang disediakan pemerintah jauh panggang dari
api. Lahan baru yang mereka tempati, ternyata bermasalah. Karakter tanah gambut
sangat menyulitkan warga untuk bertani. Terlebih lagi sistem irigasi sederhana
tak mampu mengantarkan air sampai ke sawah.
Selain itu, dari dua hektare (ha) yang dijanjikan, hanya
pekarangan seluas 1/4 ha yang sudah diratakan dengan tanah. Sementara ¾ ha
lahan garap (lahan 1) masih belantara lebat dan bergambut, dan satu hektare
lahan lainnya (lahan 2) dicaplok perusahaan perkebunan kelapa sawit CV Adimulya
Karya.
“Kami tergiur dengan iklan di TVRI. Katanya di
tempat trans (Satuan Pemukiman Transmigrasi Mukomuko) sudah ada
irigasi, bendungan dan tanah hitam seperti di Jawa,” kata Sugeng.
Cerita kepahitan serupa juga disampaikan oleh Sriyono (58
tahun), transmigran Kedungombo lainnya. Dia adalah satu dari tiga transmigran
terakhir yang diberangkatkan dari Dusun Sindang Rejo, Kemukus, Boyolali.
Menumpang pesawat Hercules, Sriyono, istri dan anak perempuan dipindahkan pada
Mei 1990.
Tak ada pilihan lain bagi keluarga Sriyono saat itu.
Waduk sudah sepenuhnya disterilkan dari penduduk. Sedangkan, pemerintah cukup
gesit. Tiga hari sekali pesawat milik TNI itu bolak-balik memberangkatkan
penduduk dari Kedung Ombo.
Sesampai di SP7, Sriyono kaget karena fasilitas yang
dijanjikan jauh dari layak. Padahal, saat sosialisasi pembangunan waduk
berjalan pada 1982-1985, cetak biru yang dia terima menunjukan rumah berukuran
7x5 m2lengkap dengan toilet, dapur dan air bersih.
Nyatanya, Sriyono dan 375 transmigran di SP7 hanya
menempati rumah berukuran 5x6 m2. Itupun dengan sumur yang harus dibagi dengan
empat kepala keluarga lainnya. Rumahnya beralaskan tanah. Tak ada ubin, apalagi
tembok bata. CV Galung, kontraktor lokal pemborong proyek di SP7 membangun
rumah dengan bahan kayu pulai/gabus, jenis kayu yang mudah lapuk.
Kondisi rumah di daerah transmigrasi yang tidak sesuai
harapan membuat mereka kecewa. Akibatnya, banyak warga yang tidak tahan dan
nekat kembali ke Jawa Tengah meski tak ada lagi lahan yang bisa digarap. “Waktu
pengenalan pemerintah, katanya dapat lahan tinggal tanam. Jangankan lahan,
rumah saja belum bisa ditempati hingga seminggu,” ujar Sriyono mengenang masa
awal transmigrasi.
Sriyono mengakui saat pindah ke Mukomuko, para
transmigran memang dibekali oleh pemerintah. Bekal itu berupa jatah hidup,
sarana dan prasarana tani (sarpras tani), dan uang ganti rugi. Namun bantuan
tersebut dinilai jauh dari memadai.
Setiap satu bulan selama satu tahun pertama warga
transmigran menerima jatah hidup berupa bahan kebutuhan pokok, seperti beras 10
kilogram (kg), ikan asin 3 kg, minyak tanah 10 liter, gula 3 kg, dan minyak
goreng 3 kg. Ada juga bantuan sarana prasarana tani berupa bibit, pupuk, dan
alat kelengkapan tani.
Berbagai masalah di awal kepindahan Sugeng dan Sriyono
hanyalah permulaan dari dekade penuh kesulitan akibat salah urus transmigran
Kedung Ombo oleh pemerintah. Bagi mereka, kehidupan lima tahun pertama terasa
paling berat.
Setelah jatah hidup berhenti, warga mulai bercocok tanam.
Awalnya warga menyisir lahan garapan yang lokasinya hanya berjarak 4 km dari
pemukiman. Namun, mereka membutuhkan waktu enam bulan hingga satu tahun, hanya
untuk membuka lahan. “Masih hutan belantara. Pohonnya besar-besar!,” kata
Sugeng.
Namun, berkah gotong royong dan bahu membahu, warga
berhasil menyisir satu per satu lahan sembari mulai menanam bibit padi, jagung
dan kedelai yang diberikan pemerintah setiap musim tanam. Sayangnya, pemerintah
tidak membekali warga mengenai pengetahuan menanam tanaman pangan di lahan
dengan kadar sulfat dan asam tinggi agar tumbuh dan menghasilkan.
“Tidak ada sosialisasi dan pendampingan dari Departemen
Pertanian. Masyarakat tahunya menanam seperti di Jawa,” katanya. Karena itu,
tidak jarang mereka mengalami kegagalan dalam memanen hasil cocok tanam mereka.
Urgensi
Perlindungan Bagi Korban Terdampak
Adanya berbagai masalah pasca pembangunan Waduk Kedung
Ombo membuktikan bahwa Bank Dunia sebagai penyokong dana utama kurang serius
mengawasi proyek tersebut. Karena itu, tidak mengherankan jika masih banyak
warga terdampak mencoba bertahan di sekitar area waduk seraya menunggu masalah
ganti rugi segera diselesaikan.
Belum tuntasnya masalah ganti rugi menambah panjang
derita para korban pembangunan waduk Kedung Ombo.
Hasil survei Katadata membuktikan bahwa ganti
rugi yang dibayarkan memang bermasalah. Korban waduk rata-rata hanya menerima
uang ganti rugi Rp 250 per m2. Padahal, berdasarkan proposal Bank Dunia
seharusnya warga mendapatkan ganti rugi rata-rata Rp 417 per m2 untuk harga
pada masa itu.
Angka ganti rugi tersebut juga terbilang sangat rendah jika
dibandingkan dengan harga tanah di sekitar Waduk Kedung Ombo. Harga tanah yang
tidak terkena dampak pembangunan pada saat itu bisa mencapai Rp 10 ribu per m2.
Akibatnya, para korban pembangunan Waduk Kedung Ombo tidak bisa pindah ke
lokasi di sekitarnya karena tak mampu membelinya.
Jika mampu pun, mereka harus menerima kenyataan memiliki
tanah dengan luas yang jauh lebih kecil dibandingkan sebelumnya.
Permasalahan yang muncul pada kasus pembangunan Waduk
Kedung Ombo seharusnya bisa dihindari atau setidaknya dapat diminimalisir
dengan adanya safeguard. Safeguard adalah sebuah sistem
pencegahan terhadap dampak yang muncul dari pencairan dana pinjaman lembaga
donor agar sesuai dengan tujuan pemberian pinjaman tersebut. Safeguardjuga
mengantisipasi munculnya dampak negatif di masa depan.
Warga menambatkan
perahunya seusai dari ladang di pinggir waduk.
Permasalahannya, pada saat proyek Waduk Kedung Ombo
dibangun pada 1985, Bank Dunia belum mensyaratkan safeguard. Lembaga donor
menyerahkan pengawasan pinjaman dan dampak yang ditimbulkan, sepenuhnya kepada
negara peminjam. Safeguard justru baru hadir pada 1995 atau setelah
dampak sosial proyek Waduk Kedung Ombo mencuat ke publik.
Seandainya, pada masa itu, safeguard diterapkan
dalam proyek Waduk Kedung Ombo, maka permasalahan seperti ganti rugi dan dampak
sosial yang muncul dapat diidentifikasi lebih awal. Apalagi, harga ganti rugi
dan lokasi pemindahan menjadi faktor yang sangat penting bagi warga terdampak sebuah
proyek pembangunan. Pemilihan lokasi tidak boleh sembarangan. Paling tidak
memiliki karakteristik yang sama atau bahkan lebih baik dari lokasi yang mereka
tempati sebelumnya.
Bila sebagian besar warga terdampak profesinya adalah
petani, maka lokasi di tempat baru yang disediakan oleh pemerintah seharusnya
bertanah subur. Selain itu luas lahan ganti rugi yang diberikan setidaknya sama
dengan luas di lokasi asal.
Di lokasi baru, warga terdampak proyek pembangunan juga
membutuhkan fasilitas umum dan sosial tersedia di desa, seperti jalan yang
layak dan pasokan listrik. Warga juga membutuhkan pelayanan kesehatan seperti
Puskesmas dengan dokter jaga yang siaga selama 24 jam. Sarana pendidikan,
seperti sekolah-sekolah dari jenjang SMA dan SMK juga harus mudah diakses.
Kehadiran fasilitas pengisian bahan bakar untuk kendaraan, pasar, dan kantor
polisi juga diperlukan dan tersedia hingga ke level perdesaan.
Di sisi lain, solusi lain yang ditawarkan pemerintah,
yakni transmigrasi pun tampaknya tidak disiapkan dengan matang. Warga dipaksa
menerima ganti rugi sebagai salah satu persyaratan untuk ikut program
transmigrasi. Warga yang ikut bertransmigrasi ke Mukomuko Bengkulu, misalnya
dijanjikan akan mendapatkan lahan rumah seluas 1 ha dan 2 ha lahan pertanian
dengan kondisi siap untuk digarap. Fakta di lapangan ternyata berbeda dan tidak
sesuai dengan janji pemerintah.
Di lokasi transmigrasi Mukomuko, karakteristik lahannya
berbeda dengan tanah di Kedung Ombo. Berbagai usaha untuk bertani tidak
membuahkan hasil karena tanah di Mukomuko banyak bergambut. Tidak sedikit warga
yang menyerah dan memutuskan pergi keluar dari daerah transmigrasi. Bahkan
tidak sedikit warga kembali ke Jawa Tengah dan memilih bertahan di sekitar
waduk Kedung Ombo ketimbang hidup di daerah transmigrasi.
Edo Rahman dari Departemen Kajian dan Pembelaan Hukum
Lingkungan Walhi menilai masalah ini tak hanya tanggung jawab pemerintah. Bank
Dunia juga perlu urun rembug mengatasinya. Lembaga keuangan internasional itu
merupakan pemberi pinjaman US$ 156 juta dari proyek US$ 283 juta ini. “Pinjaman
yang diberikan ini membuat dampak kemiskinan antargenerasi terjadi,” kata Edo.
Belajar dari berbagai permasalahan yang menyelimuti
proses pembangunan Waduk Kedung Ombo, maka safeguard menjadi
persyaratan sangat penting dalam setiap pendanaan dari Bank Dunia.
Tanpa adanya Safeguard, dampak sosial dan ekonomi
yang dirasakan bagi warga terdampak bisa menyebabkan efek yang berkepanjangan.
Apalagi, ada kabar bahwa Bank Dunia akan melonggarkan
atau meniadakan persyaratan safeguard setelah munculnya “pesaing”,
seperti Multilateral Development Banks (MDB) atau bank pembangunan multilateral
lainnya di dunia. Padahal, banyak kalangan berharap Bank Dunia tidak
mengendurkan safeguard hanya untuk mempermudah persyaratan pinjaman
untuk negara peminjam.
Safeguard ini harus tetap ada bagi setiap proyek
pembangunan. Terlebih untuk pembangunan yang mengorbankan warga setempat harus
berpindah ke tempat baru. Tanpa adanya safeguard, bukan tidak mungkin
kasus seperti Kedung Ombo dapat terulang pada kemudian hari. Sudah seharusnya,
setiap pembangunan membawa manfaat bagi banyak semua orang, tanpa ada warga
terdampak yang terkesan dikorbankan.
Ilustrasi peta tsunami hazard pesisir Kulonprogo - ist
YOGYA - Gempa dahsyat dan tsunami laut di Donggala
dan Palu, Sulawesi Tengah sangat mengejutkan banyak pihak.
Para ahli geologi sesungguhnya sudah lama mengetahui, dan
sejarah mencatat, wilayah Sulawesi Tengah ini berdiri di atas zona gempa.
Namun dampak gempa bumi yang mengubur sejumlah desa dan
permukiman akibat proses likuifaksi daratan dan air tanah di bawah permukaan,
menunjukkan fenomena cukup baru. Korban jiwa pun demikian banyak.
Hingga Senin (1/10/2018 malam, penghitungan jumlah korban
meninggal sudah melampaui angka 1.200 orang.
Diperkirakan masih ada ratusan hingga ribuan orang
lainnya belum ditemukan. Entah terkubur reruntuhan dan tanah maupun tersapu ke
lautan.
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG,
Daryono, menjelaskan Donggala dan Palu berada persis di atas sesar Palu-Koro.
Catatan sejarah menujukkan gempa hebat dan tsunami pernah
menerjang kedua wilayah ini.
Sesar ini memiliki segmentasi dengan panjang bervariasi
antara 15 hingga 59 kilometer. Karakteristik pergerakannya sesar geser dengan
kecepatan 4 cm/tahun.
Pergerakan sesar Palu- Koro ini empat kali lipat laju
sesar besar Sumatera.
Data gempa besar di Palu tercatat mulai 1905, 1907, 1909,
1927, 1937, 1968, dan 2012. Gempa kuat terakhir terjadi 18 Agustus 2012,
berkekuatan 6,2 skala Richter. Rapatnya interval gempa kuat di Donggala dan
Palu ini menunjukkan sangat aktifnya sesar geser Palu-Koro.
Nah, bagaimana menjelaskan gempa bumi dahsyat dan tsunami
dalam sejarah peradaban bangsa- bangsa di Nusantara? Sejak kapankah tercatat?
Seperti apa gambaran bencana alam itu dalam sumber-sumber sejarah kita?
Bagaimana jejaknya?
Dimulai dari temuan jejak gempa dan tsunami di pesisir
selatan Jawa yang belum tercatat dalam sejarah.
Peneliti LIPI, Eko Yulianto, lewat uji karbon menemukan
deposit tsunami di pesisir Kulonprogo, DIY, berusia 300 tahun, atau diduga
terjadi tahun 1699.
Deposit lebih tua ditemukan berusia 1.698 tahun, 2.785
tahun, dan 3.598 tahun. Deposit dengan usia lebih kurang sama ditemukan di
Lebak, Banten hingga Cilacap, Jateng.
Temuan ini menunjukkan gempa besar dan tsunami dahsyat
sangat potensial di sepanjang wilayah ini.
Gempa Bantul 2006 berpusat di dekat daratan Parangtritis,
persis di patahan Opak yang memanjang dari Parangtritis hingga Piyungan
berbelok ke timur mengikuti kaki pegunungan Nglanggeran hingga Bayat, Klaten.
Ke utara dari Piyungan memanjang melewati Prambanan
hingga sebelah timur gunung Merapi.
Meski tidak ada dalam catatan sejarah, perbedaan ekstrem
kontur daratan di sisi timur Parangtritis dan dataran sebelah barat,
mengindikasikan pernah terjadi tunjaman akibat patahan hebat.
Entah berapa juta tahun lalu, namun mestinya kontur
daratan Bantul dan Gunungkidul pernah di level sama.
Seperti halnya daratan Gunungkidul yang sambung
menyambung dengan kontur perbukitan karst Wonogiri, Pacitan, terus ke timur
hingga Malang, Lumajang hingga Banyuwangi.
Patahan yang ambles mulai dari sisi timur Parangtritis
hingga Kulonprogo itu akhirnya sebagian besar terisi endapan vulkanis dari
gunung Merapi di sebelah utara.
Endapan itu sebagian besar berasal dari gunung Merapi Tua
dan kemungkinan sebagian dari gunung Bibi, yang jauh lebih tua.
Daratan yang patah dan ambles, yang sekaligus jadi
pembatas tegas antara dataran rendah Yogya hingga Bantul dan perbukitan di
Gunungkidul ini sedikit banyak menjelaskan mengapa daerah terdampak paling
parah gempa 2006 terlihat dari Pundong (Bantul) hingga Berbah (Sleman).
Dari temuan dan pembacaan sumber sejarah kuna tertulis,
bencana besar tertulis di Prasasti Rukam bertarikh 829 Saka atau 907
Masehi.
Prasasti ini dikeluarkan Sri Maharaja Dyah Balitung
sebagai pemimpin kerajaan Mdang Mataram saat itu.
Prasasti tembaga ini ditemukan di Desa Petarongan,
Parakan, Temanggung pada 1975. Inti prasasti itu adalah perintah dari Dyah
Balitung lewat sang putra mahkota, Rakryan Mahamantri i Hino Sri Daksotamma
Bahubajra Pratikpasaya, agar menjadikan Desa Rukam sebagai tanah sima
(perdikan) bagi sang nenek, Rakryan Sanjiwana.
Desa itu disebutkan hancur karena letusan gunung berapi.
Namun tidak dijelaskan gunung api mana yang membuat desa itu hancur lebur.
Mengingat temuan ada di wilayah Parakan, diduga kuat
gunung berapi yang dimaksud itu Gunung Sindoro.
Penemuan bangunan pemujaan dan permukiman kuno Mataram di
Liyangan, Parakan, Temanggung menguatkan dugaan itu.
Situs berciri Hindu itu terkubur bermeter-meter di bawah
permukaan oleh material vulkanik dari arah Gunung Sindoro.
Struktur bangunan mula pertama ditemukan tak sengaja
ketika para penggali pasir menemukan batu-batu persegi di kedalaman lebih
kurang enam meter.
Penelitian selama lima tahun terakhir menampakkan Situs
Liyangan sebagai bangunan pemujaan dan kompleks hunian cukup besar.
Jejak lain bencana alam telah mengubur peradaban Mataram
Kuna bisa disaksikan langsung di Candi Sambisari, Candi Kimpulan, Candi Losari,
dan Candi Kedulan. Bangunan terakhir ini tengah dalam proses pemugaran candi
induknya.
Candi Sambisari dan Kedulan yang berdekatan lokasinya di
Purwomartani dan Tirtomartani, Kalasan, Sleman, saat ditemukan terkubur
material vulkanik dari Merapi, sedalam 6-8 meter.(Tribunjogja.com/xna)