Juli 13, 2017 | Abdus Somad
Yogyakarta- Pagi itu (9/7) sekitar pukul 09.12 WIB, warga Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) ramai. Mereka berkumpul untuk merayakan peringatan syawalan yang rutin dilakukan setiap tahun. Terlihat warga saling menyapa satu sama lain. Kehangatan terbentuk pagi itu, tidak ada perselisihan, tidak ada pula pertengkaran. Semua baik-baik saja.
Seulas senyum terpancar dari bibir perempuan pesisir Kulon Progo setiap bertatap muka dengan warga, kemudian diikuti dengan berjabat tangan. Mereka ramah, mereka begitu ceria hari itu. Kebahagiaan yang diselimuti dengan kepedulian dengan sesama memunculkan aura silaturahmmi.
Tema yang diangkat kali ini memang bertajuk perempuan, bagi PPLP-KP sosok perempuan sangat penting dalam berkehidupan. Ulasan Perempuan sebagai tonggak perjuangan agraria menjadi salah satu simbol jika kontribusi kaum perempuan tidak bisa disepelekan.
Widodo selaku perwakilan warga PPLP-KP mengatakan perempuan mempunyai kekuatan besar dalam menggerakan warga. Sosok perempuan tidak hanya untuk urusan dapur, ia bisa melakukan lebih dari itu. Tema ini diangkat sebagai penjelas posisi perempuan pesisir Kulon Progo.
“Perempuan itu penting untuk pergerakan warga, tanpanya kita (laki-laki-red) bisa apa? “ Tutur Widodo.
Ia menambahkan, perempuan itu adalah ibu bagi alam, keterikatannya menumbuhkan keseimbangan. Baginya kemarahan perempuan adalah kemarahan alam semesta, “ Perempuan itu adalah rohnya alam, ia menjaga keseimbangan” ucapnya.
Sekilas mengulas titik balik perjuangan perempuan pesisir Kulon Progo. Terkhusus bagi warga yang tergabung di PPLP-KP. Selama kurang lebih hampir 11 tahun mereka berjuang dengan terus-menerus melakukan aktivitasnya sebagai petani. Tanah mereka begitu subur, setiap menanam, hasil yang melimpah mereka dapatkan. Mereka berani dengan tegas menyatakan jika tanah adalah ruang hidup yang hakiki.
Namun pada tahun 2006, sebuah perusahaan datang dengan niat untuk menambang kawasan pesisir Kulon Progo. Salah satu aktor yang memotori adalah anak dari Sultan HB X-Pembayun. Kandungan mineral di pesisir Kulon Progo mendorong penandatanganan Kontrak Karya untuk pertambangan pasir besi tahun 2008. Beberapa tahun sebelumnya, perusahaan yang sebelum joint venture dengan Indo Mines Limited bernama Jogja Magasa Mining yang kemudian mengubah namanya menjadi Jogja Magasa Iron (PT. JMI) ini melakukan penelitian kandungan mineral, dan mendapati kadar Fe di pesisir selatan Kulon Progo bervariasi antara 5,29% hingga 36,4%. Penerbitan Kontrak Karya hingga sekarang tetap bermasalah karena belum dibatalkan. Karena itu pula, warga yang tergabung dalam PPLP senantiasa menanami lahan yang mereka pertahankan dari ancaman penggusuran, pembangunan infrastruktur fisik seperti bandara dan jalan bebas hambatan.
Warga menilai PT JMI menjadi penyebab aktivitas warga terganggu, mereka berusaha melakukan apa saja untuk memuluskan proyek tersebut, salah satunya ialah dengan berkongsi dengan tanah Pakualaman Ground agar mudah memanfaatkan tanah seluas 22 KM x 1,8 KM atau sekitar 29085 ha.
Isyanti salah satu warga PPLP-KP yang terlibat aktif disetiap gerakan warga mengaku berulang kali melakukan pencengahan para investor serta aktivitas tambang yang masuk ke wilayahnya. Cara-cara yang dilakukannya seperti blokade kendaraan PT JMI yang lalu lalang di kawasan pesisir, khususnya desa Bugel.
“Beberapa kali kita kaum perempuan menghalangi bolo-bolo investor masuk ke sini, kita pernah mencegat tujuh mobil, itu diperbatasan dusun satu dan dua,” ujar Isyanti ibu rumah tangga yang juga aktif sebagai para legal.
Tidak hanya itu, ketika ada yang membuat tambak udang yang membutuhkan lahan luas. Isyanti dan kawan-kawan bergerak untuk menghentikannya. Aksinya tidak berhenti disitu, Ia pernah memberhentikan alat berat yang ingin masuk ke wilayahnya, Mereka tidak ingin ada tambak dan penambang. Kaum perempuan melakukan itu semua karena mempunyai dasar yang logis. Ia sangat khawatirkan jika pertambangan beroperasi akan memunculkan perampasan lahan dan haknya sebagai warga Indonesia hilang.
Sebagai ibu dan perempuan pesisir pada umumnya ia telah menyadari ancaman tesebut. Ia berfikir bagaimana nasib anak-anak dan cucunya di kemudian hari. Tambang tidak mungkin membiayai kehidupan warga. Dasar itulah yang menguatkan Istiyanti menolak segala bentuk upaya pertambangan dan perampasan lahan.
“Kita merasakan perempuan dan anak-anak sangat rentan akan hal tersebut, sehingga menjadi ancaman bagi kami ketika terjadi penambangan, akan terjadi perubahan hidup” ucapnya.
BU KAWIT: Bu Kawit, pejuang agraria dari pesisir Parangkusumo, Bantul DIY tenagh menyampaikan orasinya saat hadiri Syawalan PPLP
Syawalan dan Sikap Perempuan Pesisir Melawan SG/PAG
Tidak ada yang lebih mulia dari manusia ketika seorang perempuan berjuang membela tanah kelahirannya sendiri. PPLP-KP berusaha untuk menunjukan kekuatan perempuan. Upaya itu kemudian diterjemahkan dalam bentuk relasi kaum laki-laki dan perempuan dalam mempertahankan lahan. Nilai-nilai kesetaraan diagungkan, kebersamaan dimunculkan.
Hal itu juga dirasakan oleh Isyanti. Ia dan perempuan pesisir merasa di manusiakan, ia mengutarakan jika kaum perempuan cukup diperhitungkan di PPLP -KP.
“Kami dianggap ada, bukan hanya sekedar dianggap, namun kita benar-benar ada untuk mendukung kaum laki-laki dalam perjuangan PPLP melawan segala bentuk penggusuran perampasan lahan atas hak-hak kami” ucap Isyanti.
Dengan adanya ruang tersebut, ia berusaha untuk melakukan gerakan perempuan dengan menyatakan sikap menolak segala bentuk penjajahan tanah Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman melalui klaim Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG), “Saya tidak rela kalau ada tanah kami yang dirampas” tuturnya dengan menunjukan raut wajah tegas.
Kawit selaku pejuang pesisir yang juga hadir dalam kegiatan Syawalan PPLP-KP ikut memberikan sikap politiknya, baginya perempuan harus bisa bersemangat lebih dari laki-laki. Dalam urusan ruang hidup, ia mengungkapkan jangan sampai lahan di pesisir pantai selatan yang sudah subur diambil alih oleh kerajaan Kasultanan dan Pakualaman.
Ia benci dan sangat menentang keras kebijakan Sultan. Bahkan ibu yang kesehariaanya berjualan di Parangkusumo ini kerap kali memprotes kerajaan yang telah menghidupkan kembali tanah-tanah Swaparaja menjadi hak milik Kasulatanan dan Pakualaman. Ia menyatakan bahwa sejatinya SG/PAG itu sudah dihapus oleh HB IX dengan diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria di Daerah Istimewa Yogyakarta, kemudian Perda DIY no 3 tahun 84 dan Kepres no 33 tahun 1984 tentang pemberlakuan UU PA sepenuhnya di DIY
“Ini sebenarnya lahan dari Gusti Allah. Ora lahane Sultan. Sultan ora duwe lahan ngaku-ngaku SG.” Tuturnya saat memberikan orasi di hadapan warga PPLP-KP
Baginya pemerintah atau kerajaan harusnya menjadi contoh teladan bagi manusia, bukan malah sebaliknya, menginjak-nginjak bahkan merampas hak warganya sendiri. Itu tindakan yang tidak manusiawi. Perilaku demikan baginya harus dilawan.
“Ketika pemerintah malah berkuasa, rakyate disak karepe dewe, alasannya untuk kepentingan umum. Sekarang ini memang Indonesia sudah merdeka tapi (kemerdekaan-red) dirampas oleh rakyat sendiri yang ada di duwur (penguasa-red),” tandasnya,
Pun hal tersebut diperkuat oleh Isyanti, baginya tanah Kasultanan dan Kadipaten sudah tidak ada lagi. Kemunculannya hanya menjadi upaya untuk memperkaya kerajaan. Menurutnya, ketika orang-orang bangga menyatakan Jogja adalah Istimewa ia sebaliknya, keistimewaan jogja tidak menjamin rakyat sejahtera.
“Dengan mengatakan keistimewaan Sultan telah merampas tanah kita, tanah kita adalah alat produksi kita, karena kita sebagai petani tanpa tanah kita mau jadi apa, apa Sultan mau ngasi makan kita?,” Tanyanya dengan resah., [as]
0 comments:
Post a Comment