JAKARTA, KOMPAS.com - Penggusuran warga Bukit Duri oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dinilai tidak sesuai dengan perundangan yang berlaku.
Terbukti, gugatan warga dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang kemudian mewajibkan Pemprov DKI Jakarta membayar ganti rugi.
Lagipula, menurut Ketua Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Nursyahbani Katjasungkana, tanah Bukit Duri bukanlah milik Pemprov DKI Jakarta.
"Tanah dikuasai negara tidak otomatis tanah tersebut milik Pemprov DKI Jakarta. Jadi, baik pemprov maupun warga punya hak yang sama untuk mengajukan permohonan hak atas tanah," ujar Nursyahbani kepada Kompas.com, Selasa (10/1/2017).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), kata Nursyahbani, bezitter atau orang yang menguasai barang atau tanah selama 10 tahun tanpa ada gugatan pihak lain harus dianggap sebagai yang berhak.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pengguna tanah juga dapat mengajukan hak atas tanah.
Proses pengajuan hak ini, tutur Nursyahbani, sebenarnya tidak membutuhkan waktu lama.
"Masalahnya dulu zaman Orde Baru terjadi situasi lapar tanah, sehingga prosedur dipersulit, biayanya sangat mahal, serta Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)," imbuh Nursyahbani.
Akibatnya, tutur dia, banyak orang meski tak menempati tanah malah dapat sertifikat yang kemudian berujung sengketa.
Ia menambahkan, terkait penguasaan tanah, pemerintah hanya memiliki fungsi mengatur yang berkesinambungan dengan fungsi melayani.
Hak penguasaan tanah tidak bisa digunakan oleh negara sebagai alasan untuk mengusir warga dari tempat tinggal mereka satu-satunya.
"Seharusnya pemerintah melayani warga yang tidak mempunyai bukti hak, untuk secara pro aktif memberikan pengesahan surat-surat yang dibutuhkan tersebut," kata Nursyahbani.
0 comments:
Post a Comment