Kawasan pesisir selatan Propinsi Yogyakarta, merupakan salah satu kawasan penting bagi keberlangsungan sistem sosial-ekologis di pulau Jawa. Kawasan ini dikategorikan sebagai 1 dari 14 kawasan gumuk pasir di dunia, yang secara nyata memiliki fungsi khusus.[1] Yaitu sebagai benteng penjaga kelestarian keragaman hayati yang mampu mengurangi dampak bahaya ancaman tsunami, pencegah intrusi atau peresapan air laut ke lapisan air tanah dan mampu menghambat pengikisan daratan pantai karena gelombang air laut. Selain itu dari sejak tahun 1980-an, kawasan tersebut juga telah berkembang menjadi salah satu kawasan pertanian produktif yang mampu memberikan denyut nadi kehidupan bagi warga di sekitarnya. Tidak mengherankan bila selanjutnya, kawasan pesisir Yogyakarta yang meliputi kabupaten Gunung Kidul, Bantul dan Kulon Progo menjadi satu kawasan yang patut dilindungi dari segala kerusakan sosial-ekologis.
Namun seiring dalam perkembangannya, pranata sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat pesisir tersebut kini harus berhadap-hadapan dengan berbagai kepentingan kapitalisme. Baik yang dioperasikan lewat pertambangan, infrastruktur hingga pariwisata. Hal ini dapat terlihat jelas dalam konflik agraria yang terus semakin marak muncul di pesisir selatan Yogyakarta belakangan ini. Diantaranya adalah kasus penggusuran warga pesisir Bantul oleh kapitalisme pariwisata, kasus penggusuran lahan petani oleh kapitalisme pertambangan di Kulon Progo, dan yang mencolok saat ini adalah kasus penggusuran lahan oleh kapitalisme insfrastuktur terhadap warga kecamatan Temon, Kulon Progo untuk pembangunan infrastruktur bandara.
Terkait dengan konflik tersebut, tidak jarang rakyat kerap berada dalam posisi yang selalu rawan menjadi korban. Hingga April 2015, telah tercatat ada 5 orang warga pesisir selatan Yogyakarta yang dikriminalisasi akibat memperjuangkan hak atas ruang hidup mereka dari gempuran kapitalisme.[2] Konflik-konflik ini semakin hari terus menunjukkan bahwa operasi rentenya, kian di legitimasi oleh lahirnya berbagai regulasi yang mendukung bagi berlakunya rejim pembangunan yang brutal. Salah satunya adalah hadirnya desain pembangunan MP3EI, yang lahir pada tahun 2011. Dokumen yang berisikan paket pembangunan padat modal ini telah menghantarkan Indonesia sebagai sebuah areal perluasan geografi kapital yang terbagi menjadi 6 koridor eksploitasi baru.
Di dalam dokumen MP3EI, secara jelas disebutkan bahwa Pulau Jawa, merupakan koridor eksploitasi di bidang industri dan jasa nasional.[3] Akibatnya, berbagai infrastruktur pembangunan yang terkait dengan industri dan jasa pun tumbuh dalam laju yang tak terkendali. Propinsi Yogyakarta, sebagai salah satu propinsi yang berada di pulau Jawa juga tidak luput dari serangan kapital tersebut. Berpijak dari analisis tersebut, kini Yogyakarta terus berkembang menjadi sebuah daerah yang semakin ramah dengan modal.
Tidak mengherankan jika saat ini muncul berbagai krisis dan konflik perebutan ruang hidup yang terus meluas di wilayah perkotaan hingga kawasan pedesaan dan pesisir. Diantaranya adalah: kasus pembangunan apartemen di kawasan padat penduduk Kali Urang KM 5, penggusuran tambak kecil milik warga Parangkusumo Kuwaru, penggusuran pemukiman warga pantai Parangkusumo, diskriminasi rasial melalui pelarangan hak milik atas tanah, krisis air tanah warga di beberapa titik perkotaan, kasus pembangunan pertambangan di pesisir Kulon Progo, kasus pembangunan bandara Kulon Progo, dll.
B. Perampasan Ruang Hidup Warga WTT Pesisir Kulon Progo
Seperti yang telah dijelaskan di atas, salah satu kasus perampasan ruang hidup yang terjadi di pesisir selatan Yogyakarta adalah kasus yang sedang dialami oleh warga yang terhimpun dalam organisasi Wahana Tri Tunggal (WTT), kabupaten Kulon Progo. Kasus ini bermula, saat pemerintah Indonesia pada tanggal 25 Januari 2011, yang diwakili oleh PT. Angkasa Pura I bersepakat untuk melakukan kerjasama dengan investor asal India, yaitu GVK Power & Infrastructure dalam membangun bandara baru di pesisir Kulon Progo.
Di dalam perencanaan pembangunannya, pembangunan bandara baru tersebut akan membutuhkan lahan seluas 637 hektar. Lokasi lahan pembangunannya terletak di 6 desa dalam wilayah administratif pemerintahan Kecamatan Temon, yaitu: Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebon Rejo, dan Temon Kulon. Di areal kawasan yang akan menjadi lokasi pembangunan bandara ini, terdapat sekitar 11.501 jiwa (2.875 KK), yang hidup dari mata pencaharian sebagai petani, nelayan dan buruh. Selain itu di dalamnya juga terdapat beberapa situs sejarah dan kebudayaan kuno yang masih terawat dengan baik, diantaranya adalah: Situs Stupa Glagah, Arca Perunggu Amoghasidhi dan Vajrapani, Lumpang Batu, Batu besar Eyang Gadhung Mlati, Gunung Lanang dan Putri, Makam Mbah Drajad, dll. Keberadaan situs ini memperlihatkan bahwa pesisir selatan Kulon Progo merupakan salah satu kawasan tua yang kaya akan nilai-nilai kebudayaan maritim dan agraris.
Namun patut untuk diketahui bahwa kekayaan, ketenangan dan kelimpahan kehidupan yang tak ternilai harganya tersebut, kini terus semakin terancam oleh berbagai tindakan represif yang difasilitasi oleh aparatus negara (Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten dan TNI/Polri). Bahkan untuk memperlancar proses penguasaan lahan, pemerintah Propinsi Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo melakukan berbagai upaya manipulasi, tindakan pembohongan publik dan kekerasan, yaitu:
Pertama: Pemerintah Propinsi dan Kabupaten menyatakan bahwa areal lokasi pembangunan bandara tersebut merupakan lahan milik Paku Alaman Ground (PAG). Hal ini justru memperlihatkan bahwa pemerintah Propinsi dan Kabupaten melakukan tindakan pembohongan publik dan pelanggaran hukum. Pasalnya, selain warga di atas lahan tersebut memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM), UUPA Diktum IV, PP 224/1961, Kep.Pres No.33 tahun 1984, Perda DIY No.3 tahun 1984 juga telah menyebutkan bahwa SG/PAG di Yogyakarta telah dihapus.
Kedua: Terjadinya pendataan secara fiktif atas tanah yang akan digunakan untuk pembangunan bandara. Point ini mengacu pada dokumen konsultasi publik yang dibuat oleh PT Angkasa Pura I dan Pemerintah Propinsi Yogyakarta pada tanggal 5 Desember 2014 di Temon, yang menyatakan bahwa jumlah KK yang akan direlokasi dari 5 Desa berjumlah 472 KK (2.465 jiwa). Faktanya, jika mengacu pada jumlah yang terdampak secara langsung, angkanya mencapai 2.875 KK (11.501 jiwa). Dengan demikian didapatkan kesimpulan bahwa pendataan tersebut mengakibatkan manipulasi terhadap jumlah yang menjadi korban.
Ketiga: Terjadinya rekayasa dan manipulasi, yang mengakibatkan 4 rekan seperjuangan kami yang tergabung dalam organisasi WTT dikriminalisasi oleh negara dengan tuduhan tindak pidana penghasutan (pasal 160 KUHP), dan kekerasan di muka umum (pasal 170 KUHP). Keempat rekan kami itu adalah: Sarijo, Wakidi, Tri marsudi dan Wasiyo.
Keempat: Terbitnya Izin Penunjukkan Lokasi (IPL) oleh Kementerian Perhubungan dengan Nomor. 1164/2013 dan Izin Penetapan Lokasi (IPL) oleh Gubernur DIY dengan Nomor 68/KEP/2015 secara sepihak.
Kelima: Maraknya berbagai tindak kekerasan dan intimidasi oleh aparatus negara terhadap warga yang tetap mempertahankan ruang hidupnya, khususnya yang terhimpun dalam organisasi WTT.
C. Berbagai Pertimbangan Atas Keberlangsungan Ruang Hidup Kami
Oleh karena bahwa pembangunan bandara tersebut akan berdampak pada tergusurnya lahan pertanian, pemukiman, sejarah dan kebudayaan yang kami miliki, dan juga berdasarkan pada prinsip-prinsip ruang hidup yang dijamin oleh UUD 1945 (Pasal 33), Hak Atas Tanah (UUPA Nomor 5 tahun 1960), Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (UU Nomor 11 tahun 2005), Hak Azasi Manusia (UU Nomor 39 tahun 1999), maka sudah menjadi kewajiban bagi kami untuk tetap mempertahankan ruang hidup yang telah diwariskan oleh leluhur demi terselenggaranya kelangsungan hidup agraris-maritim yang berkelanjutan.
Adapun rencana pembangunan infrastruktur bandara ini, menurut kami akan menimbulkan:
a. Kerusakan ekosistem gumuk pasir.
Gumuk pasir di sepanjang pesisir selatan Yogyakarta merupakan salah satu bentang alam eolian di Indonesia. Kawasan pesisir di Kabupaten Kulonprogo merupakan bagian dari gugusan gumuk pasir yang merupakan 1 dari 14 gumuk pasir pantai di dunia dan mempunyai fungsi ekologis sebagai benteng terhadap ancaman bencana tsunami. Hadirnya rencana pembangunan bandara baru di kawasan tersebut akan menyebabkan hilangnya gumuk pasir sekaligus juga akan mengubah kawasan disekitarnya menjadi satu kawasan yang rawan akan bencana.
b. Penggusuran lahan pertanian, pemukiman dan situs sejarah.
Selama 35 tahun belakangan ini (1980-2015), kawasan pesisir selatan Kulon Progo telah berkembang menjadi satu kawasan pertanian produktif. Hal ini membawa dampak positif terhadap peningkatan jumlah pendapatan ekonomi rumah tangga, yang di pihak lain juga membawa pada pengurangan jumlah angka kemiskinan secara siginifikan. Di kawasan tempat kami bermukim ini juga terdapat beberapa situs sejarah yang cukup penting untuk dijaga kelestariannya. Dengan hadirnya rencana pembangunan infrastruktur bandara baru ini, maka lahan pertanian dan beberapa situs sejarah tersebut akan terancam musnah.
c. Penghapusan lapangan kerja.
Lahirnya pertanian produktif dengan sistem sumur renteng di kawasan pesisir selatan Yogyakarta telah memberikan tersedianya lapangan kerja bagi penduduk di dalam dan luar desa (buruh, penyedia pupuk dan penih, pedagang, dll). Setidaknya dengan luas lahan yang terdapat di 6 desa yang terancam akan menjadi lokasi pembangunan bandara baru tersebut telah mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi 6 ribu warga disekitarnya dan mampu menghidupi kebutuhan hidup bagi 11.501 jiwa. Angka ini tentunya tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang ditawarkan oleh hadirnya pembangunan bandara baru tersebut.
d. Pemusnahan pengetahuan lokal
Dalam pengelolaan lahan pertanian yang telah berkembang selama 35 tahun, warga WTT telah menyumbangkan pengetahuan baru dalam kemajuan ilmu pertanian dan lingkungan, khususnya pertanian lahan pasir, yang berbeda dengan model sistem pertanian ladang tadah hujan dan irigasi. Hadirnya rencana pembangunan bandara baru ini akan memicu pemusnahan pengetahuan lokal tersebut.
e. Munculnya konflik horizontal.
Sejak lahirnya isu pembangunan bandara telah muncul berbagai konflik horizontal. Selain menimbulkan pro-kontra antar warga, konflik juga dipicu oleh lahirnya beberapa kelompok bayaran yang diduga dilahirkan oleh pemodal untuk memecah belah kehidupan sosial, ekonomi, politik warga.
f. Gangguan ketersediaan kebutuhan pangan
Lahan yang akan menjadi lokasi pembangunan bandara tersebut telah mampu menghasilkan berbagai produk pertanian. Diantaranya adalah padi, semangka, cabai, melon, sayuran, dll. Tiap hektarnya, hasil panen dari tanaman cabai per tiap musimnya, mampu menghasilkan produksi sebanyak 50 ton, dan memberikan keuntungan bagi petani sebesar 705,8 juta rupiah. Untuk jenis tanaman melon, tiap hektarnya mampu menghasilkan produksi sebanyak 30 ton, dan memberikan keuntungan bagi petani sebesar 46,2 juta rupiah. Dengan jumlah hasil panen tersebut, petani mampu memberikan ketersediaan kebutuhan pangan bagi kelompok warga perkotaan yang tidak hidup dari kegiatan produksi pertanian.
g. Pelanggaran HAM
Hingga saat ini, sejak munculnya isu pembangunan bandara, berbagai tindak kekerasan dan intimidasi terhadap warga kerap terjadi. Selain kriminalisasi terhadap beberapa tokoh perjuangan WTT, tindakan-tindakan intimidasi oleh aparatus negara dalam bentuk lain juga sering ditemui, misalnya; warga sering ditakuti-takuti dengan pernyataan bahwa pembangunan bandara adalah untuk kepentingan negara, warga yang tidak mau menyerahkan tanahnya adalah sisa-sisa anggota PKI, warga yang tidak pro bandara adalah melawan negara, dll.
h. Mendorong laju urbanisasi
Sejak 35 tahun belakangan ini, pertanian yang dikembangkan oleh warga yang berada di 6 desa tersebut, mampu menekan laju angka urbanisasi secara efektif. Namun dengan hadirnya pembangunan bandara justru akan mengancam keberhasilan yang sudah dicapai oleh warga. Pembangunan bandara akan mendorong terciptanya pengangguran massal dan melemparkan para penduduk 6 desa tersebut sebagai buruh-buruh tidak terampil karena ketercerabutan mereka dari alat produksi yang mereka punyai.
D. Butir-Butir Tuntutan Perjuangan
Kami, Wahana Tri Tunggal (WTT), menyerukan:
1. Menolak pembangunan bandara di Temon, Kulon Progo, tanpa syarat.
2. Menolak penggusuran tanah petani.
3. Menolak relokasi petani dari lahan produktif.
4. Hentikan Represifitas dan intimidasi terhadap masyarakat Temon.
5. Hentikan kriminalisasi terhadap petani.
6. Bebaskan Sarijo, Wasiyo, Wakidi dan Tri Marsudi, sekarang juga.
7. Mengajak seluruh umat manusia membangun solidaritas perjuangan melawan kapitalisme.
Kulon Progo (Yogyakarta), 28 April 2015.
_______________________________________
- 25 Januari 2011: Proses pembangunan proyek bandara di Kulon Progo dimulai.
- 11 Mei 2011: Pemerintah Propinsi DIY menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan PT Angkasa Pura 1.
- 13 Mei 2011: Ditetapkannya Kulon Progo sebagai lokasi pemindahan bandara Adi Sucipto Yogyakarta.
TAHUN 2012: Kelahiran Organisasi WTT dan Beragam Aksi Penolakan.
- 9 September 2012: Hari kelahiran organisasi Wahana Tri Tunggal (WTT)
- 19 Oktober 2012: Aksi pertama kali
TAHUN 2013: Penerbitan Ijin Lokasi Pembangunan.
- 15 Januari 2013: WTT melakukan aksi blokir jalan di Desa Palihan. Aksi ini dilakukan sebagai respon atas upaya pematokan lahan secara sepihak yang dilakukan oleh PT Angkasa Pura I, yang dalam hal ini juga didukung oleh pemerintah kabupaten Kulon Progo.
- 17 Maret 2013: Gandung Pardiman selaku anggota DPD DIY dikecam oleh WTT lantaran menyebut masyarakat penolak bandara sebagai “Wong Edan”.
- 18 Maret 2013: Pemerintah Kabupaten Kulon Progo menyerahkan rekomendasi perencanaaan pembangunan bandara kepada PT AP I.
- 4 Juli 2013: Komisaris utama PT AP I memberikan pernyataan bahwa pengerjaan awal bandara sudah dapat di kerjakan pada akhir tahun 2013 atau awal 2014. Kemudian pihak PT. AP I melakukan kerja sama dengan beberapa pihak dalam pembangunan bandara. Di antaranya, adalah: GVK, Mumbai Airport dan Sun Glow India.
- 12 September 2013: WTT melakukan aksi pemasangan spanduk penolakan pembangunan bandara di 2 Desa terdampak.
- 9 Oktober 2013: Mahasiswa jurusan Teknik Fisika UGM menyatakan bahwa lokasi pembangunan bandara memiliki resiko rawan tsunami. Namun Pemkab Kulon Progo berkomentar tidak akan ambil pusing dengan persoalan tersebut dan menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah pusat terkait dengan dampak kajian yang akan ditimbulkan.
- 11 November 2013: Diterbitkannya IPL (Izin Penetapan Lokasi) oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dengan Nomor: 1164/2013.
- 11 Desember 2013: Pemerintah Kabupaten Kulon Progo mencoba menemui pengurus WTT. Pertemuan itu membahas persoalan rencana pembangunan bandara yang akan berlokasi di 6 desa di Kecamatan Temon: Desa Jangkaran, Sindutan, Palihan, Glagah, Kebon Rejo, dan Temon Kulon. Namun karena tidak terdapatnya titik temu, warga WTT selanjutnya melakukan aksi demonstrasi di kantor Balai Desa Glagah.
- 10 Januari 2014: Ratusan warga WTT melakukan aksi pencabutan patok batas bandara di kantor balai Desa Glagah.
- 16 Januari 2014 : WTT menyatakan bahwa terdapat banyak kejanggalan dalam proses pembangunan bandara di desa mereka. Kejanggalan tersebut diantaranya adalah pematokan dilakukan tanpa ijin dari warga dan dalam prosesnya melibatkan pihak kepolisian.
- 26 Februari 2014: PT. AP I menyatakan menolak pengunduran lokasi pembangunan bandara.
- 30 Maret 2014: WTT kembali melakukan aksi protes penolakan dengan menyebar selebaran “tolak bandara” di Desa Palihan dan Temon, yang lokasinya juga terletak di Jalan Daendels. Aksi tersebut di ikuti sekitar 300 orang.
- 10 April 2014: WTT melakukan aksi demonstrasi di kantor Kecamatan Temon. Aksi ini dilakukan untuk meminta penjelasan secara langsung kepada Camat Temon dan Kepala Desa Glagah terkait dengan pendataan tanah warga yang akan digunakan untuk pembangunan bandara. Warga juga mendesak agar pembangunan bandara dibatalkan.
- 14 April 2014: Lahir 2 organisasi yang bernama Forum Rembug Warga Transparansi (FRWT) dan Masyarakat Peduli Kulon Progo (MPK). Bagi WTT, 2 organisasi tersebut adalah organisasi ciptaan Pemerintah Kulon Progo yang ditujukan untuk mendukung megaproyek pembangunan bandara. Beberapa hari kemudian, muncul berbagai spanduk-spanduk pro bandara yang dibuat dari kelompok FRWT dan MPK.
- 26 Mei 2014: GVK (perusahaan asal India), dan perwakilan PT AP I bertemu dengan Gubernur DIY. PT AP I dalam pertemuan tersebut menjelaskan bahwa pembangunan bandara akan dimulai pada awal tahun 2015.
- 16, 17, 19 September 2014: Warga WTT melakukan aksi blokir jalan Lintas Selatan Jawa.
- 23 September 2014: Warga WTT mendatangi Balai Desa Glagah, Kecamatan Temon, tempat berlangsungnya acara sosialisasi pembangunan bandara. Namun usaha tersebut dihalang-halangi oleh petugas Satpol PP, POLRI dan TNI. Karena kecewa terhalang-halangi, selanjutnya warga WTT melakukan aksi pemblokiran jalan Deandels.
- 30 September 2014: Warga WTT kembali melakukan aksi menentang rencana pembangunan bandara di Balai Desa Glagah. Mereka bermaksud mempertanyakan kepada Kepala Desa Glagah yang bernama Agus Pramono, mengapa WTT tidak diperbolehkan hadir dalam acara sosialisasi di Balai Desa Glagah yang diselenggarakan pada 23 September 2014. Menghadapi aksi tersebut, Kepala Desa secara sepihak meninggalkan warga WTT tanpa memberikan penjelasan apapun. Sikap Kepala Desa tersebut memicu aksi spontan warga WTT melakukan penyegelan Balai Desa Glagah.
- 1 Oktober 2014: Polres Kulon Progo menggelar olah TKP terkait peristiwa penyegelan Balai Desa Glagah, Kecamatan Temon. Pada hari itu juga dua warga WTT, yaitu Sarijo (Penasihat WTT), dan Purwito (Ketua WTT), dituduh sebagai aktor yang melakukan penghasutan terhadap warga untuk melakukan penyegelan balai Desa Glagah. Diketahui pelapor terhadap 2 warga tersebut adalah Camat Temon; Jaka Prasetya dan Kepala desa Glagah.
- 3 Oktober 2014: Warga WTT melakukan demonstrasi ke kantor Kecamatan Temon. Di dalam aksinya tersebut, warga WTT menyatakan bahwa Camat Temon telah terlibat dalam konspirasi prakarsa pembangunan bandara dan juga telah melaporkan warga WTT ke Polres Kulon Progo.
- 7 Oktober 2014: WTT melakukan Aksi Demonstrasi di Kepatihan (Kantor Gubernur Yogyakarta.
- 16 Oktober 2014: Terkait dengan pemanggilan dari pihak Polres Kulon Progo terhadap 2 orang warga WTT, warga WTT melakukan aksi solidaritas di kantor Mapolres Kulon Progo.
- 27 November 2014: Satreskrim Kulon Progo menetapkan Sarijo sebagai tersangka. Ia dikenakan pasal 160 KUHP tentang penghasutan. Meski demikian, ia tidak ditahan dikarenakan pihak kepolisian belum memiliki bukti lengkap.
- 1 Desember 2014: Konsultasi publik terkait pembangunan bandara baru Kulonprogo digelar di Desa Kebonrejo, Kecamatan Temon.
- 11 Desember 2014: Warga WTT melakukan aksi demonstrasi penolakan “konsultasi publik” di depan Balai Desa Palihan.
- 19 Desember 2014: Jumlah petani yang ditetapkan sebagai tersangka atas penyegelan Balai Desa Glagah bertambah menjadi 4 orang, yaitu: Sarijo, Wakidi, Tri Marsudi, dan Wasiyo.
- 22 Desember 2014: Warga WTT melakukan aksi demosntrasi disela-sela pelaksanaan Konsultasi Publik Pembangunan Bandara di Desa Glagah, Kecamatan Temon.
- 4 Januari 2015:WTT kembali melakukan aksi demontrasi menolak pembangunan bandara di depan Balai Desa Glagah. Di tempat itu sedang dilangsungkan sebuah acara Konsultasi Publik Pembangunan Bandara.Aksi warga WTT ini dijaga ketat oleh puluhan Polisi dan TNI.
- 16 Januari 2015: Corporate Expert PT AP I, Purwanto, memberikan penjelasan dalam rapat dengar pendapat dengan DPRD Kulonprogo di Gedung DPRD Kulonprogo, bahwa pembangunan bandara akan membuka kesempatan lowongan kerja hingga 5000 orang.
- 30 Januari 2015: WTT melayangkan surat ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Grama Vikash Kendra (GVK) Power & Infrastructure selaku investor pembangunan bandara.
- 30 Januari 2015: Kepala Kejaksaan Negeri Wates, Kulon Progo, menyebutkan ada dua berkas terkait kasus penyegelan balai Desa Glagah, yaitu berkas pertama merupakan hasil penyidikan kepada Sarijo; ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melanggar pasal 160 KUHP tentang penghasutan. Sementara, berkas kedua berisi hasil penyidikan kepada tiga tersangka warga WTT lainnya, yakni, Wasiyo, Tri Marsudi, dan Wakidi yang diduga melanggar pasal 170 KUHP tentang kekerasan di muka umum.
- 4 Februari 2015: Warga WTT kembali melakukan aksi penolakan pembangunan bandara di balai Desa Glagah.
- 5 Februari 2015: Menteri Perhubungan Ignasius Jonan meninjau lokasi perencanaan bandara baru di pantai Congot, Desa Jangkaran dan Temon.
- 6 Februari 2015: Terjadi bentrokan antara petugas pematokan koordinat lahan bandara dan warga WTT.
- 9 dan 11 Maret 2015: Berkas perkara 4 warga WTT dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Wates, Kulon Progo.
- 18 Maret 2015: Sidang Perdana kasus 4 warga WTT yang dikriminalisasi terkait aksi penyegelan balai Desa Glagah, Kecamatan Temon di gelar di PN Wates. Dalam persidangan perdana ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaan terhadap 4 warga WTT. Pada hari yang sama, Polres Kulon Progo juga memberikan surat panggilan kepada anggota WTT yang lain, Feri Teguh Wahyudi, dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan (pasal 333 KUHP). Pihak aparat kepolisian juga melontarkan isu bahwa akan ada pemanggilan terhadap 10 orang warga WTT lainnya terkait dengan kasus yang sama.
- 24 Maret 2015: Sidang lanjutan (kedua), 4 warga WTT kembali digelar. Persidangan kedua ini mengagendakan pembacaan eksepsi dari penasihat hukum terdakwa.
- 31 Maret 2015: 4 warga WTT menjalani sidang ketiga. Persidangan ketiga ini mengagendakan pembacaan tanggapan eksepsi dari JPU. Di dalam persidangan ini, JPU menolak segala bentuk keberatan yang di sampaikan ketika pembacaan eksepsi.
- 8 April 2015: Agenda persidangan keempat kasus 4 warga WTT kembali dilanjutkan, dengan agenda persidangan putusan sela dan tanggapan terhadap penangguhan penahanan untuk 4 terdakwa. Di dalam persidangan ini, hakim tidak mengabulkan penangguhan penahanan dengan alasan terdakwa tetap akan di tahan untuk memudahkan proses pemeriksaan perkara pidana.
- 13 April 2015: Sidang Kelima. Persidangan kelima mengagendakan pemeriksaan saksi yang dihadirkan oleh pihak JPU.
- 20 April 2015: Sidang Keenam; pemeriksaan saksi.
- 30 April 2015: Sidang Ketujuh; pembacaan tuntutan dari JPU.
- Kawasan pesisir Selatan Yogyakarta membentang lebih dari 100 kilometer, mulai dari ujung Timur Kabupaten Gunung Kidul sampai ujung Barat Kabupaten Kulon Progo.
- Kelima warga tersebut adalah: 1 orang anggota Paguyuban Petani Lahan Pantai PPLP Kulon Progo, dan 4 orang anggota Wahana Tri Tunggal Kulon Progo.
- Dalam MP3EI, Yogyakarta disebut sebagai salah satu kawasan MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition). Lewat skema MICE tersebut, maka pertumbuhan hotel dan infrastruktur penunjang lainnya menjadi tumbuh di subur di Yogyakarta belakangan ini. Akibatnya, krisis air dan krisis agraria lainnya menjadi semakin meningkat.
- [http://selamatkanbumi.com/kertas-posisi-perjuangan-wtt-kulon-progo-yogyakarta/]