Tuesday, July 05, 2011

Prolog Gelar Sidang Dua Kasus Urutsewu

Sepekan di awal Juli 2011 ini mejadi momentum penting sejarah petani di kawasan Urutsewu. Sidang pengadilan terhadap aksi spontanitas warga Setrojenar dalam matarantai perjuangan untuk mengembalikan kawasan Urutsewu kepada realitas sejarahnya sebagai kawasan pertanian dan wisata rakyat. Perjuangan menolak pemanfaatan kawasan ini yang tengah diincar untuk dijadikan kawasan hankam dan tambang pasirbesi. Penolakan yang konsisten diperjuangkan warga dengan mendasarkan pada kesadaran sejarah serta kesadaran ekologi pemanfaatan bumi untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam pencermatan Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen (TAPUK), perjuangan para petani kawasan Urutsewu bukan melulu mempertahankan hak pemilikan tanah petani. Tetapi telah menemukan momentum ideologis penyelamatan kawasan pesisir.

Sedangkan kasus yang digelar dalam persidangan adalah berkaitan dengan pengrusakan gapura dan bangunan gudang peluru milik Dislitbang-AD di desa Setrojenar, Buluspesantren, Kebumen. Bangunan ini, juga berbagai infrastruktur lain, dibangun di wilayah desa dan di atas tanah milik petani serta di tanah-tanah bandadesa. Ada 2 kasus yang digelar di PN Kebumen. Pertama, insiden 11 April 2011 yakni pemukulan terhadap 2 kurir yang mengantar logistik makanan tentara, saat ada aksi penolakan warga terhadap ujicoba 7 meriam bikinan Korea-USA. Sedangkan yang kedua, kasus pengrusakan gapura dan rumah peluru yang terjadi pada hari menjelang serangan brutal tentara kepada warga di lokasi Blok Pendil, desa Setrojenar (16/4) lalu.

Desa di wilayah pesisir selatan Jawa Tengah ini memang sejak lama melakukan penolakan latihan TNI-AD dan ujicoba senjata berat di kawasan pertanian pesisir. Kawasan budaya agraris yang memiliki keunikan dengan adanya gumuk pasir dan muara berpindah ini memang terbentang sepanjang 22,5 Km di 3 kecamatan mencakup 15 desa. Pada awalnya, kebiasaan latihan perang memang tak menimbulkan gejolak; meski juga bukan berarti tak ada masalah. Hal itu karena memang ada saling pengertian antara TNI-AD dengan petani pemilik tanah. Dalam perkembangannya, relasi saling pengertian ini rusak. Bukan karena provokasi luar, tunggang-menunggang maupun modus kambinghitam. Tetapi karena TNI-AD melakukan klaim penguasaan dan bahkan klaim pemilikan atas jarak 500 meter dari air laut; sepanjang 22,5 Km pesisir Urutsewu. Padahal, sesuai sejarah pemilikan adat dan data di Buku C desa-desa yang ada, dalam zona 500 meter itu adalah tanah-tanah pemajekan milik petani dan milik desa.

(bersambung)

0 comments:

Post a Comment