Keberadaan 6 tersangka petani Setrojenar yang ditahan dan mulai dimejahijaukan, di mata para petani pesisir, dipandang sebagai pejuang yang telah mengambil resiko atas tindakan penolakan terhadap aktivitas tentara di kawasan pertanian desanya. Dalam 2 kali gelar sidang Pengadilan Negeri, yang bertempat di Gedung Juang 45, Jl. Indrakila itu pun mendapat apresiasi luas. Massa yang tumpah bahkan cenderung melokalisir menjadi 2 kubu. Pada awalnya memang rawan konflik, karena salah satu kubu yang berasal dari luar desa Setrojenar, yang mengidentifikasikan dirinya sebagai FK4UK; rupanya bias dalam melihat esensi konflik yang diperkarakan. Tak ada alasan untuk terjadi bentrok massa kecuali bahwa konflik horisontal dalam situasi seperti ini akan kehilangan manfaat sosialnya.
Pada fase perjuangan hukum selanjutnya, sidang di PN Kebumen berjalan dengan lancar dan tertib. Ini tak lain karena semua orang mengharapkan keadilan dapat ditegakkan. Dalam perspektif ini, massarakyat dapat menempatkan semua proses peradilan bukan semata sebagai tempat mencari keadilan hukum. Tetapi sekaligus sebagai ajang untuk mengkampanyekan kepada publik luas: Ada apa sesungguhnya di Urutsewu itu? Kenapa massarakyat menolak kawasan hankam? Kenapa para petani merusak gapura dan rumah peluru milik TNI? Semua proses hukum yang berjalan menjadi parameter, apakah negara dalam melihat persoalan konflik ini cukup punya sensitivitas terhadap kepentingan kaum tani. Ataukah sebaliknya. Menghukum petani yang telah nyata-nyata jadi korban kebrutalan alat negara hanya karena membela dan mempertahankan hak mendasarnya. Sementara fakta lain berbicara berbeda. Tentara pelaku penembakan, penganiayaan, pengrusakan dan parampasan, sampai kini tak tersentuh hukum..
(to be continued)










