Benih Revolusi telah ditebar dan bersemi di kawasan Urut-Sewu. Lalu muncul hasil semaiannya pada hari Kamis siang itu, 14 Mei 2009, di jalanan kota Kebumen. Ribuan petani dari kawasan Urut-Sewu Kebumen Selatan itu bergerak dalam barisan aksi sepanjang 200 meter. Mereka membentangkan spanduk, bendera, poster-poster tuntutan dan membagikan selebaran.
Banyak orang terkejut. Tak kurang pula aparat Polres Kebumen yang dibuat khawatir setelah menerima surat pemberitahuan koordinator aksi demonstrasi yang dilayangkan sejak tiga hari sebelumnya. Sehingga sampai tengah hari Rabu siang pihak polisi belum berani memberikan surat tanda terima pemberitahuan terkait demonstrasi petani Urut-Sewu itu. Kekhawatiran ini lebih dipicu lantaran jumlah massa yang diprediksikan sebelumnya sebesar 1.000 orang itu, potensial menimbulkan aksi anarkis. Dan polisi tak memiliki cukup personel untuk memastikan keamanan aksi tani yang baru dilaksanakan untuk yang pertama kalinya ini.
Meskipun begitu, phobia anarkisme gerakan massa dalam persepsi aparat tak pernah terbukti, meski jumlah massa aksi ternyata bertambah hingga 1.500 an orang; termasuk di dalamnya adalah perempuan. Karena sejak awalnya, aksi tani ini adalah aksi yang terkoordinir dan dipersiapkan melalui serangkaian rembug-rembug warga.
Aksi Tani Urut-Sewu: Keniscayaan! Tak ada alasan untuk menginterupsi kehendak mayoritas petani di kawasan ini, bahkan dengan dalih keamanan petani itu sendiri. Desa Setrojenar yang mengambil peran 'revolusioner' sebagai pionir perlawanan terhadap tentara, telah teruji mengamankan wilayah desanya sendiri. Keamanan wilayah bukan lagi wacana kusir di sana. Tetapi telah menjadi sebuah sikap, sebuah identitas desa dan perilaku sosial. Lihat saja situasi di desa Setro, bagaimana ternak-ternak peliharaan mereka (kecuali saat hujan) tak pernah dikandangkan siang malam. Dan tak pernah ada kasus pencurian ternak.
Itu artinya, keamanan telah menjadi budaya, tata nilai dalam relasi kearifan lokal. Pernah mendengar analogi dalam jagad wayang, mengenai kawasan yang aman:
"sato rojokoyo dhatan cinancangan". Bahwa hewan piaraan di sana tak ada dikandangkan dan terkunci, tetapi tak ada durjana pencuri. Jadi sebaiknya tak usah bicara keamanan desa dengan mereka. Termasuk dengan pemuda yang kemarin membangun gapura pantai Setrojenar itu juga. Pondasi dan wuwungan gapura itu dibangun dari konsep "ideologis" yang disebut keamanan dan ketertiban sejati.
Maka ketika perlawanan tani kawasan urut-sewu mencuat dalam bentuk aksi massa 14 Mei 2009, yang dipelopori oleh petani Setro, terbukti aman dan tertib.
Upaya untuk memoderasi munculnya aksi ini tidaklah kecil.