oleh Indra Nugraha dan Sapariah Saturi [Jakarta] di 14 August 2019
Keterangan foto utama: Pada Kamis 13 Juli 2017,
Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah
mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara
warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko
Rusdianto/ Mongabay Indonesia
- Pada 13 Agustus 2019, para pakar
agraria, akademisi, gerakan tani, gerakan masyarakat adat dan berbagai
organisasi masyarakat sipil sampai organisasi agama, menyatakan sikap
penolakan terhadap RUU Pertanahan, yang sedang dibahas DPR dan pemerintah.
- Berbagai kalangan
ini mendesak Ketua DPR dan presiden membatalkan rencana pengesahan RUU
Pertanahan. Mereka memberikan beberapa poin catatan kritis terhadap RUU
Pertanahan.
- RUU Pertanahan
dinilai bertentangan dengan misi Presiden Joko Widodo, yang ingin membangun
kedaulatan pangan dan petani. Kedaulatan pangan, bisa tercapai kalau
pemerintah menjamin ketersediaan lahan untuk petani. Isi RUU Pertanahan,
malah bisa membuat petani sulit memperoleh tanah.
- RUU Pertanahan
dinilai absen membahas berbagai persoalan pokok agraria ini. Lima pokok
krisis agraria, yakni, pertama, ketimpangan struktur agraria tajam, kedua,
konflik agraria struktural. Ketiga, kerusakan ekologis meluas, keempat,
laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian, kelima,
kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas.
Para pakar agraria, akademisi, gerakan tani, gerakan masyarakat
adat dan berbagai organisasi masyarakat sipil sampai organisasi agama,
mengkritisi Rancangan Undang-undang Pertanahan, yang sedang dibahas DPR dan
pemerintah dan rencana pengesahan pada September tahun ini. Berbagai kalangan
ini memberikan poin-poin catatan kritis sekaligus penolakan terhadap RUU
Pertanahan ini.
Indonesia, tengah mengalami lima
pokok krisis agraria, yakni, pertama,
ketimpangan struktur agraria tajam, kedua, konflik agraria
struktural. Ketiga,
kerusakan ekologis meluas, keempat,
laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian, kelima, kemiskinan akibat
struktur agraria yang menindas. Sayangnya, RUU Pertanahan malah absen membahas
berbagai persoalan pokok agraria ini.
Mereka nyatakan, RUU Pertahanan
seharusnya menjawab lima krisis pokok agraria itu yang semua dipicu
masalah-masalah pertanahan.
Berbagai kalangan ini menilai, RUU Pertanahan tak memenuhi syarat
ideologis, sosiologis dan bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 serta RUU ini nyata-nyata
berwatak kapitalisme.
“Dengan pertimbangan itu, kami
menolak RUU Pertanahan yang tengah digodok DPR dan pemerintah, serta mendesak
Ketua DPR dan presiden membatalkan rencana pengesahan RUU Pertanahan,” bunyi pernyataan sikap
bersama mereka pada Selasa (13/8/19).
Tokoh-tokoh dan pakar agraria ini
antara lain, Gunawan Wiradi (IPB), Endriatmo Soetarto (IPB), Achmad Sodiki
(Universitas Brawijaya), dan Maria Rita Roewiastoeti (Konsorsium Pembaruan
Agraria).
Ada juga Hariadi Kartodihardjo (IPB), Bonnie Setiawan (KPA), Ida
Nurlinda (Universitas Padjajaran), Muhammad Maksum Mahfoedz (PB NU), Busyro
Muqoddas (PP Muhammadiyah), Noer Fauzi Rachman (Badan Prakarsa Pemberdayaan
Desa & Kawasan).
Kemudian, Rikardo Simarmata dan
Laksmi Adriani Savitri dari Universitas Gadjah Mada, Nurhidayati, (Walhi),
Mujahid Hizbullah (Sekjend Serikat Tani Indramayu), Dahniar Ramanjani, (HuMa),
David Sitorus (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice) serta
banyak lagi.
Para pakar dan tokoh dari berbagai lembaga ini menyoroti beberapa
poin yang mengindikasikan RUU bermasalah.
Pertama, mereka
nilai, RUU Pertanahan bertentangan dengan UU Pokok Agraria 1960.
“Meskipun
dalam konsideran dinyatakan RUUP hendak melengkapi dan menyempurnakan hal-hal
yang belum diatur UUPA, tetapi substansinya makin menjauh, bahkan bertentangan
dengan UUPA 1960,” bunyi pernyataan yang rilis Selasa (13/8/19 di Jakarta.
Kedua, dalam
draf RUU Pertanahan ada poin hak pengelolaan (HPL) dan penyimpangan hak
menguasai dari negara (HMN). HPL, selama ini menimbulkan kekacauan penguasaan
tanah dan menghidupkan kembali konsep domein verklaring, yang
tegas dihapus UUPA 1960.”
Bagaimana nasib hutan adat yang
nasih berkonflik dengan perusahaan, kalau RUU Pertanahan, sah? Begini hutan
adat Kinipan, setelah pembukaan untuk kebun sawit perusahaan. Foto: dokumen
Laman Kinipan
Ketiga, soal hak guna usaha (HGU). Dalam RUU
Pertanahan, HGU tetap prioritas bagi pemodal besar, pembatasan maksimum konsesi
perkebunan tak mempertimbangkan luas wilayah, kepadatan penduduk dan daya
dukung lingkungan.
Masalah lain, kata pernyataan sikap itu, RUU
Pertanahan mengatur impunitas penguasaan tanah skala besar (perkebunan) apabila
melanggar ketentuan luas alas hak.
“RUU Pertanahan juga tak mengatur keharusan
keterbukaan informasi HGU, sebagaimana amanat UU tentang Keterbukaan Informasi
Publik dan Putusan Mahkamah Agung.”
Keempat, kontradiksi dengan
agenda dan spirit reforma agraria. Mereka menilai, ada
kontradiksi antara semangat reforma di dalam konsideran dan ketentuan umum dan
batang tubuh RUU Pertanahan, seperti reforma agraria dalam RUU Pertanahan dikerdilkan
jadi sekadar program penataan aset dan akses.
RUU, juga tak memuat prinsip, tujuan, mekanisme,
lembaga pelaksana, pendanaan untuk menjamin reforma agraria sejati, di mana
operasi negara menata ulang struktur agraria Indonesia yang timpang secara
sistematis, terstruktur dan memiliki kerangka waktu jelas.
Lalu, tak ada prioritas obyek dan subyek reforma
agraria untuk memastikan sejalan dengan tujuan-tujuan reforma agraria di
Indonesia. Belum lagi, spirit reforma agraria dalam RUU itu sangat parsial–
sebatas bab reforma agraria. Ia tak tercermin di bab-bab lain terkait
rumusan-rumusan baru mengenai hak atas tanah–hak pengelolaan, hak milik, HGU,
HGB, hak pakai– dan pendaftaran tanah, pengadaan tanah, bank tanah, maupun
pengadilan pertanahan.
Kelima, kekosongan penyelesaian konflik agraria.
RUU ini, tak mengatur penyelesaian konflik agraria struktural di semua sektor.
RUU ini menyamakan konflik agraria dengan sengketa pertanahan biasa, yang
rencana penyelesaian melalui mekanisme win-win solution atau
mediasi, dan pengadilan pertanahan.
Padahal, menurut mereka, karakter dan sifat konflik
agraria struktural bersifat extraordinary crime. Ia berdampak
luas secara sosial, ekonomi, budaya, ekologis dan memakan korban nyawa. “Perlu
sesegera mungkin, terobosan penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma
agraria. Bukan melalui pengadilan pertanahan.”
Keenam, masalah sektoralisme pertanahan dan
pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah dalam RUU ini bukan terjemahan dari
pendaftaran tanah seperti UUPA 1960 yang berisi tentang kewajiban pemerintah
mendaftarkan seluruh tanah di wilayah Indonesia, mulai desa ke desa. Tujuannya,
Indonesia memiliki data agraria akurat dan lengkap guna penetapan arah strategi
pembangunan nasional dan pemenuhan hak-hak agraria masyarakat.
Dalam RUU Pertanahan ini, semata-mata percepatan
sertifikasi tanah dan diskriminatif terhadap wilayah konflik agraria, wilayah
adat, dan desa-desa yang tumpang tindih dengan konsesi kebun dan hutan.
Masalah lain, sebut pernyatan ini, cita-cita administrasi
pertanahan yang tunggal–satu pintu, single land administration—
sulit dicapai, bila RUU tak berlaku di seluruh wilayah Indonesia.
Ketujuh, pengingkaran hak ulayat masyarakat adat.
Dalam RUU Pertanahan ini, tak memiliki langkah konkrit dalam administrasi dan
perlindungan hak ulayat masyarakat adat atau serupa dengan itu.
Kedelapan, bahaya pengadaan tanah
dan bank tanah. RUU Pertanahan ingin membentuk bank tanah, tampaknya, hanya
menjawab keluhan investor soal hambatan pengadaan dan pembebasan tanah untuk
pembangunan infrastruktur.
Andai terbentuk, bank tanah berisiko memperparah
ketimpangan, konflik, melancarkan proses-proses perampasan tanah atas nama
pengadaan tanah dan meneruskan praktik spekulan tanah.
“Ironisnya, sumber tanah bank tanah justru dari tanah
negara hingga berpotensi menghalangi agenda reforma agraria.”
Warga memperlihatkan tanahnya yang
berkonflik dengan PTPN XIV. Konflik antara warga Takalar, Sulsel dengan pihak
PTPN XIV telah berlangsung sejak 2007 silam ketika HGU pabrik gula ini berakhir.
Sejumlah lahan warga yang telah ditanami dibongkar paksa menggunakan alat
berat. Dengan ada inpres percepatan pendaftaran tanah, bagaimana dampak
terhadap para petani ini?
Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia
Jauh dari keadilan agraria dan ekologis
Sebelumnya, Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) di Jakarta, baru-baru ini mengatakan, merujuk draf RUU Pertanahan
per 22 Juni 2019, substansi makin jauh dari prinsip-prinsip keadilan agraria
dan ekologis bagi keberlangsungan hajat hidup rakyat Indonesia.
“Dari sepanjang proses perumusan dan pembahasan, kami
melihat draf terakhir ini secara kualitas bukan makin membaik, justru
mengkhawatirkan,” katanya.
Awalnya, KPA mengapresiasi RUU Pertanahan. Dari sisi
konsideran, posisi RUU Pertanahan tetap mengacu pada UUPA1960. Sayangnya, kata
Dewi, antara konsideran dengan batang tubuh RUU ini banyak inkonsistensi dan
kontradiktif.
“Dari sisi konsideran semangatnya cukup progersif,
kalau dibaca pasal-per pasal justru banyak yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip UUPA.”
Dalam RUU ini, katanya, belum menjamin perlindungan
hak-hak atas tanah dari petani, masyarakat adat, nelayan, masyarakat miskin di
pedesaan dan perkotaan atas keberlanjutan wilayah hidup mereka.
Begitu juga soal reforma agraria dan redistribusi
tanah kepada rakyat. RUU Pertanahan, kata Dewi, belum jelas dan konsisten
hendak menata kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pengelolaan tanah
serta sumber-sumber agraria lain yang timpang jadi berkeadilan.
“Reforma agraria itu selalu jadi bungkusan besar dalam
RUU Pertanahan. Kalau kita melihat betul-betul, itu baru cangkang saja. RUU
Pertanahan, bahkan tidak eksplisit menyatakan apa tujuan reforma agraria,”
katanya, meskipun dalam konsideran menyatakan, menyadari ada ketimpangan
struktur agraria, konflik agraria bersifat struktural, kerusakan ekologis dan
lain-lain.
Dalam batang tubuh, katanya, terutama pasal mengenai
reforma agraria, sama sekali tak tercermin dan sangat teknis.
“Tidak ada upaya
reforma agraria itu dikembalikan ke tujuan semula untuk mengatasi ketimpangan
dan menjaga keberlangsungan wilayah masyarakat.”
Berdasarkan sensus 2013, petani gurem di Indonesia ada
11,5 juta keluarga. Dari tahun ke tahun, katanya, makin banyak petani gurem
bahkan yang tak memiliki tanah atau hanya jadi buruh tani. Sisi lain,
segelintir kelompok pengusaha perkebunan sawit menguasai tanah melalui HGU dan
izin lokasi sekitar 14 juta hektar.
Selain itu, RUU Pertanahan juga tak disusun untuk
mengatasi dan menyelesaikan konflik agraria struktural di sektor pertanahan.
Dalam 11 tahun terakhir, katanya terjadi 2.836 konflik agraria dengan luasan
7.572.431 hektar. Ada puluhan ribu desa, kampung, pertanian dan kebun rakyat
masih belum keluar dari konsesi-konsesi perusahaan.
“Tidak ada satu pasal pun dalam RUU Pertanahan ini
hendak menyelesaikan konflik-konflik agraria. Pembentukan pengadilan pertanahan
untuk sengketa pertanahan bukanlah jawaban,” katanya.
Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) mengatakan, draf RUU Pertanahan banyak masalah. Dia melihat
dari judul saja, tak layak untuk dilanjutkan.
“RUU ini tidak memiliki sensitivitas terhadap
penyelesaian masalah agraria pada wilayah adat.”
RUU Pertanahan, katanya, mengatur pengukuhan hak
ulayat dimulai dari usulan pemerintah daerah dan ditetapkan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri.
“Skema seperti ini, sama sekali tak menjawab
persoalan. Pengakuan hak ulayat sulit karena sangat politis melalui
tindakan-tindakan penetapan pemerintah.”
Padahal, katanya, UUPA memandatkan ada pengakuan
terhadap hal ulayat. Sampai sekarang, dari 10 juta hektar lebih wilayah adat
yang diserahkan kepada pemerintah belum terakomodir dengan baik. Bahkan, dalam
kebijakan satu peta, tidak ada kementerian yang bersedia jadi wali data.
Muhammad Rifai, Ketua Departemen Penataan Produksi dan
Usaha Tani Aliansi Petani Indonesia (API) mengatakan, draf RUU Pertanahan
bertentangan dengan misi Presiden Joko Widodo, yang ingin membangun kedaulatan
pangan dan petani.
Kedaulatan pangan, katanya, bisa tercapai kalau
pemerintah menjamin ketersediaan lahan untuk petani. Kondisi ini, katanya,
betolak belakang dengan isi RUU Pertanahan, malah bisa membuat petani sulit
memperoleh tanah.
“Isi RUU ini tidak menjawab permasalahan mengenai
berapa banyak cadangan tanah untuk pertanian. Apalagi dengan ada wacana
pembentukan bank tanah. Saya khawatir, ini justru mempersulit distribusi tanah
bagi pertanian.”
Bank tanah, kata Rifai, ibarat pisau bermata dua.
“Kalau dijalankan oleh orang baik, akan baik. Begitu pun sebaliknya.”Dia
khawatir, bank tanah justru membuat petani sulit mendapatkan hak atas tanah.
Mongabay.Co.iD