- Data BPS: petani terbanyak ada di kelompok usia 45-54 tahun sebesar 7.325.544 orang
- Urbanisasi, modernisasi, dan industrialisasi jadi penyebab profesi petani dijauhi anak muda
- Generasi muda Indonesia makin banyak yang menjauhi profesi sebagai petani, bahkan di kalangan mahasiswa lulusan fakultas pertanian itu sendiri.
Di sekolah menengah atas, Sulton pernah terkesima dengan salah seorang guru dari lulusan ilmu pertanian. Di saat teman-temannya memainkan gim yang sedang populer, ia bertahan pada gim berbasis pertanian modern: Harvest Moon.
Usai tamat SMA pada 2012, Sulton merantau ke Yogyakarta untuk menimba ilmu di Program Studi Agronomi di Fakultas Pertanian UGM. Impiannya menjadi petani sekaligus pengusaha agrobisnis yang sukses saat kembali ke kampung halaman di Tulungagung, Jawa Timur. Sayang, saat ia hampir meluluskan diri, keluarga justru berharap agar ia menunda cita-cita tersebut.
“Keluargaku pengin lihat anaknya (kerja) di kantoran, berseragam, dan digaji tetap,” katanya kepada Tirto, sambil menyatakan keheranannya. Mulai dari ayah hingga neneknya adalah pengolah alam yang tekun. Namun, kini mereka bersikap ganjil, meminta Sulton tak menapaki jejak yang sama.
Sulton pun terancam sebaris dengan teman-teman satu jurusannya yang memilih profesi agak menyimpang dari visi-misi fakultasnya. Teman-temannya di jurusan, kata Sulton, sangat sedikit yang menjalani profesi sebagai petani.
“Baru lima orang yang kukenal yang benar-benar jadi petani. Itu pun bukan dari angkatanku saja, tapi juga dari angkatan 2009, 2010, dan 2011. Masih di sektor perusahaan pertanian seperti sawit, sih, tapi yang lain ujung-ujungnya ke bank, karyawan kantor, dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Penyebabnya ditengarai macam-macam. Ada yang senasib dengan Sulton, ada juga yang menilai keputusan itu “lebih realistis.” Sulton menilai calon petani mestinya memang tak alergi turun ke lapangan. Menurutnya, banyak lulusan fakultas pertanian dari pelbagai kampus menghindari jadi petani karena emoh berpanas-panasan di lahan, tak suka kotor, dan lebih nyaman bekerja di kantor.
“(Mereka) enggak mau ambil risiko. Main aman dan tinggal nunggu gaji. Masuk akal memang sebab sekarang kalau mau mulai jadi petani risikonya cukup besar kalau mau untung yang besar juga. Istilahnya high risk, high revenue,” katanya.
Sulton sepakat bahwa keengganan menjadi petani kini mewabah di kalangan anak-anak muda Indonesia, baik dari lulusan fakultas pertanian maupun bukan. Kondisi ini pun telah jadi perhatian pemerintah pusat maupun daerah sejak lama. Salah satu gejala yang terlihat di banyak daerah adalah tingkat urbanisasi yang tinggi dan otomatis menganaktirikan bidang pertanian di desa.
Petani dianggap bukan profesi yang menjamin finansial di tengah naiknya harga-harga kebutuhan hidup, apalagi untuk investasi masa depan: biaya kuliah, cicilan rumah, pensiun. Bekerja di industri di pinggiran kota penyangga seperti Bekasi, Tangerang, atau Depok menjadi pilihan yang lebih menarik. Orang berbondong-bondong meninggalkan ciri agrarisnya sebab (menganggap) tak ada lagi penghidupan layak di dalamnya.
Empat tahun silam, Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan laporan bertajuk Sensus Pertanian 2013. Di dalam salah satu bagian publikasinya, BPS mendata jutaan petani di Indonesia dalam kelompok usia. Dari total 26.135.469 petani yang saat itu terdata, kelompok usia 45-54 tahun memiliki jumlah absolut terbanyak: 7.325.544 orang.
Jumlah terbesar kedua pada kelompok usia 35-44 tahun (6.885.100 orang) dan jumlah ketiga dan keempat pada kelompok usia lebih tua lagi, yakni 55-64 tahun (5.229.903 orang). Sementara kelompok usia lebih dari 65 tahun sebanyak 3.332.038 petani.
Adapun jumlah petani muda di kelompok 25-35 sebanyak 3.129.644 orang. Semakin usia ke bawah pun semakin sedikit. Pada kelompok usia 15-24 tahun, jumlah petani hanya 229.943 orang. Jumlah paling sedikit pada kelompok di bawah usia 15 tahun, yakni 3.297 orang.
Angkatan muda yang emoh mengolah lahan membuat jumlah petani menyusut hingga 5 juta orang dalam kurun 2003-2013. Jika diringkas, 60,8 persen petani di Indonesia berada dalam usia di atas 45 tahun. Usia produktif seseorang sudah menurun cukup drastis pada usia sepuh seperti itu. Apalagi 73,97 persennya berpendidikan hanya sampai SD. Daya saing mereka tentu lebih rendah dalam strategi bertani gaya modern.
Tak hanya kalangan petani yang sudah terlalu tua. Sebanyak 70 persen petugas PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) POPT (Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman) rata-rata berusia di atas 50 tahun.
Riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) pada 2015, bertajuk “Regenerasi Petani”, mengungkap kondisi yang sama. Ada 96,45 persen petani tanaman pangan di empat lokasi penelitian (Tegal, Kediri, Karawang, dan Bogor) berusia 30 tahun atau lebih, sedangkan 3,55 persennya berumur di bawah 30 tahun, dan 47,57 persen petani tanaman pangan berusia 50 tahun atau lebih.
Bagian lain riset KRKP mengungkapkan hanya 54 persen anak petani (yang menjadi responden) yang mau meneruskan apa yang dikerjakan orang tuanya, dan 46 persen sisanya dengan tegas menolak. Pada kelompok usaha hortikultura, persentasenya lebih timpang lagi: 63 persen menolak mewarisi profesi orang tuanya dan hanya 36,7 persen yang bersedia menjalankan pekerjaan dalam budidaya pertanian tersebut.
Meski tertarik, nyatanya 70 persen responden pada kelompok usaha tani padi justru mengaku tidak pernah memiliki cita-cita menjadi petani. Ini berbeda dari responden usaha tani hortikultura yang tidak tertarik bekerja di bidang tersebut tetapi 60 persen respodennya bercita-cita menjadi petani.
Salah satu faktor utama generasi muda merasa asing dari dunia pertanian karena mengaku mengetahui informasi soal pertanian "secara otodidak." Sebanyak 64 persen mengaku tidak pernah diajarkan soal pertanian oleh orang tua. Demikian juga responden usaha tani hortikultura: 86,7 persen menyatakan tidak pernah diajarkan tentang pertanian oleh orang tua mereka.
Keinginan rendah menjadi petani dipengaruhi oleh persepsi responden yang kurang baik atas situasi pertanian saat ini. Mayoritas 42 persen responden menyatakan kondisi pertanian sekarang memprihatinkan, dan sisanya menyatakan biasa saja (30 persen) dan membanggakan (28 persen). Adapun 66,7 persen responden usaha tani hortikultura menyatakan bidang pertanian itu memprihatinkan. Sisanya menyatakan biasa saja (26,7 persen) dan menganggap membanggakan (6,7 persen).
Tergeser Sektor Industri Pengolahan
Dalam rilis pers, Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dra. Haning Romdiati, M.A menyatakan kondisi minat rendah generasi muda menjalani profesi tani otomatis mengancam kedaulatan produksi pangan Indonesia di masa depan.Kondisi itu bukan semata karena minimnya tranfer keterampilan pertanian dari orang tua atau masyarakat. Tetapi ada perubahan keluarga, sekolah, sawah, aktivitas non-pertanian, yang justru mengasingkan generasi muda dari lingkungan tempat hidupnya.
Akademisi, pejabat legislatif-eksekutif, hingga elemen penjaga kedaulatan, hampir semuanya bersepakat bahwa kunci mengamankan kedaulatan pangan agar mampu mandiri dari impor adalah menjaga eksistensi kaum tani di masa depan.
Sayangnya, dalam konteks pembangunan, penurunan jumlah petani kerap dipandang sebagai kemajuan. Semakin sedikit jumlah petani, semakin efisien proses budidayanya. Menurut analisis KRKP, perspektif pembangunan semacam ini hanya menganggap sektor industrilah yang bisa memajukan suatu bangsa. Persoalannya bukan soal efisiensi dan kemajuan industri belaka. Berkurangnya jumlah petani, dalam analisis KRKP, akan berimplikasi pada menurunnya ketersediaan pangan produk dalam negeri.
Sumbangan dari sektor pertanian lambat laun dikalahkan oleh sumbangan dari sektor industri pengolahan. Pada 1971, sumbangan PDB dari sektor industri pengolahan hanya 8,4 persen. Pada 1990-an, sumbangannya naik menjadi 19,9 persen. Pada 2010 angkanya mencapai 24,8 persen. Dan pada 2012 menyumbang 23,9 persen, mengungguli sektor pertanian.
Pada akhirnya, Sulton dan generasi muda Indonesia lain memang mesti berkompromi dengan kenyataan hidup, meski ia menilai fenomena ini "tidak adil." Sektor industri semakin mengalahkan sektor pertanian, padahal banyak wilayah di negeri ini punya corak kebudayaan agraris.
Terbersit dalam benaknya untuk menjalani usaha di bidang pertanian modern sebagai perpaduan antara gaya bertani klasik plus penerapan konsep industri yang efisien dengan pemanfaatan alat-alat modern, serupa dengan strategi pertanian dan hortikultura di negara-negara modern. Ia berkaca dari pebisnis di bidang yang sama yang sudah sukses di Indonesia, yang mampu meraup keuntungan besar dan menyejahterakan petani lain.
Namun, cita-cita ini juga sulit tercapai sebab modal ke sana cukuplah besar. Ia mesti memutar otak agar bisa mengumpulkan modal, salah satunya bekerja terlebih dulu di luar sektor pertanian. Misalnya, menjadi karyawan kantor sebagaimana diharapkan keluarganya akhir-akhir ini.