“Kami hanya menanyakan legalitas tentara memagar di lahan para petani. Cara kekerasan yang mereka lakukan,” katanya.
Mukhlisin, Kepala Desa Kaibon Petangkuran juga masih menyimpan sedikit trauma atas kekerasan aparat TNI Kodim 0709 Kebumen kala itu. Dia dipukul, hingga memar di beberapa bagian tubuh.
Dia prihatin, seharusnya TNI membela dan melindungi warga. Namun, TNI malah menjadi pelaku kekerasan, merusak dan merampas lahan warga. Mukhlisin akan membela hak warga karena yang dilakukan TNI ilegal. “Jika mau menyelesaikan persoalan Urutsewu, mari diselesaikan. Hentikan dulu pemagaran, hingga ada bukti kuat dan sah.”
Suara dentuman meriam terdengar cukup keras dari pesisir Desa Wiromartan, 15 September 2015. Berjarak sekitar 10 kilometer dari lokasi latihan perang para serdadu di Pesisir Urutsewu, Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren.
Di Jalan Daendels, mulai Kecamatan Mirit, Ambal dan Buluspesantren, truk-truk TNI lalu-lalang. Beberapa anggota TNI-AD, berseliweran bersepeda motor. Di beberapa lokasi pemagaran, tentara berjaga-jaga. Bahkan mereka mendirikan tenda di Pantai Lembupurwo, Mirit.
“Dilarang masuk, ada latihan militer.” Begitu bunyi spanduk hijau di Pantai Bocor, Desa Setrojenar. Ia terpasang di pintu masuk pantai.
“Mereka tidak memakai izin pemerintah desa, camat, maupun bupati. Hanya pemberitahuan,” kata Sunu.
Sunu bercerita, awal mula konflik perampasan lahan di Urutsewu oleh TNI-AD. Urutsewu, sebutan untuk daerah yang membentang di pesisir selatan Cilacap hingga Kulonprogo. Di Kebumen, termasuk Urutsewu meliputi Kecamatan Klirong, Petanahan, Puring, Buluspesantren, Ambal dan Mirit.
Konflik muncul di Urutsewu khusus Buluspesantren, Ambal dan Mirit. Di kecamatan-kecamatan itu TN I-AD memagar lahan sepanjang 22,5 kilometer, lebar 500 meter ke arah laut.
Alasannya, untuk kedaulatan negara alias lokasi latihan militer.
Pemagaran TNI AD dinilai ilegal. Kala pagar legal, status tanah harus jelas dulu. “Itulah alasan petani dan masyarakat pesisir selatan Kebumen menolak pemagaran, meskipun di beberapa desa, pemagaran telah selesai.”
Nasruddin Turiman, warga Desa Kaibon Petangkuran, Kecamatan Ambal, Kebumen, punya cerita. Dia menjadi saksi sejarah kehadiran serdadu di Urutsewu. Dia lahir dan besar di kampung sejak 1942.
Menurut Nasruddin , pada 1972, petani di Desa Petangkuran diminta kumpul di pendopo kelurahan. Di pertemuan itu, TNI mau membeli tanah dan meminjam lahan di Pesisir Urutsewu untuk latihan tembak. Waktu itu, petani usul dan mempertanyakan, bagaimana lahan petani, apakah masih bisa ditanami.
Kala itu, TNI dihadiri Letnan Sardi dari Prembun. Dia menjawab, lahan petani hanya dipakai selama pelatihan. Lahan latihan hanya lima hari sebelum dikerjakan atau sebelum ditanami. Warga sepakat kala itu. Dulu, katanya, petani dapat kabar akan ada latihan perang, hingga relatif aman.
Mekanismenya, TNI akan izin ke lurah, dan perangkat desa menyampaikan informasi kepada warga. “Saiki ngerti-ngerti latihan. Jika dulu latihan setahun sekali, sekarang tidak tahu. Jika terdengar suara tembakan, artinya mereka lagi latihan.”
Lahan pertanian dia juga dirusak TNI untuk pemagaran. Tak ada ganti rugi. Luas sekitar 1.620 meter persegi. Pajak lahan itu selalu dibayar. Nasruddin biasa menanami jagung, cabai dan ketela.
Terhitung melalui peminjaman sebagai tempat pendirian barak, wahana latihan termasuk uji coba alat berat pada 1982 dan pembangunan Dislitbang TNI AD di Desa Setrojenar.
Kecurangan TNI bertambah, dengan sebuah kontrak tanah tanpa sosialisasi dan persetujuan warga. Atau meminjam tanpa izin atau kerelaan yang memiliki, disertai pemaksaan dan kekerasan warga pemilik sah.
“Kalau tahu mereka akan merampas dan merusak lahan kami, tentu dulu warga tidak kasih izin tentara latihan militer di Urutsewu. Jahat,” ucap Nasruddin.
Komandan Distrik Militer 0709/Kebumen Letnal Kolenel Inf Putra Widyawinaya menanggapi. Menurut dia, pemagaran lahan negara di Urutsewu tetap dilaksanakan. Tahun ini, memasuki tahap kedua delapan kilometer di lima desa.
Dia mengklaim lahan atau daerah latihanTNI-AD, sepa
njang 23 kilometer, selebar 500 meter. Dia berdalih, tanah itu milik TNI sesuai surat Kementerian Keuangan pada 2011. “Bisa dicek di BPN.” Sertifikasi, katanya, masih bertahap.
“Bukti kepemilikan tanah sudah diakui dan disahkan pemerintah. Saya tanya masyarakat buktinya mana? Sampai detik ini saya belum pernah diperlihatkan dalam bentuk asli,” katanya.
TNI-AD, katanya, terus sosialisasi dan mengimbau masyarakat memahami status tanah ini. “Kami tidak melarang apabila ada aspirasi masyarakat menyampaikan kepada TNI AD ada penyalahgunaan lahan di Urutsewu, selama dilakukan dengan cara persuasif, tidak anarkis dan memiliki dasar. Kami hanya mengamankan semua ini. Ada pasukan bukan menakuti tapi untuk mengamankan.”
Putra mempersilakan masyarakat Urutsewu yang memiliki dasar hukum kuat menggugat TNI tanpa harus demonstrasi. Tujuan pemagaran, katanya, membatasi daerah latihan TNI dengan tanah rakyat. Dengan batas itu, jelas prosedur hukum keamanan masyarakat. “Masyarakat boleh menanam setelah dipagar.”
Dia menegaskan, akan menindak tegas siapapun yang berusaha menghalangi, merusak dan menguasai aset TNI AD seperti pagar, batas patok/tugu, tanah dan lain-lain.
Matahari bersinar cerah. Suara burung bersahut-sahutan pagi medio September 2015. Anak-anak bersepeda ke sekolah. Seniman, warga Desa Petangkuran, siap mengantarkan anak-anak ke sekolah.
Usai ke sekolah, dia menghadiri pertemuan di Kantor Bupati Kebumen bersama beberapa kepala desa. Ada Kepada Desa Petangkuran dan Wiromartan. Hadir akademisi, DPRD Kebumen, Kodim 0709, BPN Kebumen dan beberapa pihak terkait.
Beberapa dokumen disiapkan untuk memperlihatkan warga Urutsewu ada bukti sah atas lahan yang digunakan TNI untuk latihan militer dan pemagaran.
“Kita bawa dokumen seadanya, tidak kami berikan semua. Kita lihat dulu, bukti apa yang dimiliki TNI,” kata Seniman.
Dia menuturkan, dari dahulu masyarakat Urutsewu hidup sebagai petani. Wilayah Urutsewu, dulu bagian Kerajaan Mataram-Islam. Dalam dokumen kerajaan Mataram-Surakarta, (buku Peter Carey, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855-Jilid 1 (Jakarta: KPG, 2011), disebutkan, wilayah Bagelen diandalkan sebagai pemasok bahan pangan dan dipuja dengan sebutan ‘siti sewu’ atau tanah seribu. Bagi bupati yang memerintah daerah itu, disebut ‘wedana bumi sewu’ (kepala pemerintahan tanah seribu). Salah satu bagian Bagelen yang paling makmur disebut Urutsewu.
Setelah palihan nagari (1755), Urutsewu termasuk Bagelen masuk kekuasaan Keraton Surakarta. Seiring kehancuran VOC, kekuasaan kerajaan Mataram, termasuk seluruh Kebumen berada di bawah pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Dalam peta yang dibuat setelah Perang Diponegoro, melawan Kerajaan Mataram yang bekerjasama dengan penjajah Belanda (1825-1830), tertera kawasan bernama “Oeroetsewoe” yang mencakup seluruh bagian selatan Karesidenan Bagelen.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Urutsewu berada di seantero selatan Cilacap, Kebumen hingga perbatasan Kulonprogo selaku eks-Karesidenan Bagelen. Terkhusus bagi Urutsewu bagian Kebumen, atau Urutsewu Kebumen, meliputi enam kecamatan yakni Klirong, Petanahan, Puring, Buluspesantren, Ambal, dan Mirit.
Berbicara tanah pesisir, dahulu dikenal sistem kepemilikan model gogolan atau kolektif. Bukan berarti digarap bersama petani, namun dikerjakan perorangan baik dipetak-petak atau bergantian. Hasilnya, untuk perorangan pula.
Di Pesisir Urutsewu, para pengguna tanah gogolan (gogol), mendapat hak kuasa tanah komunal ini. Khusus Urutsewu-Kebumen, dikenal istilah kuli– dari bahasa Sansekerta, berarti petani. Gogolan juga sering untuk penggembalaan ternak dan pembuatan garam.
Secara geografis, Urutsewu di Kebumen, pesisir dibatasi muara-muara sungai dengan pantai-pantai kaya pasir besi. Dari segi pertanian, tanah terbukti sangat produktif bagi perekonomian masyarakat berbasis pertanian. Komoditas tumbuh subur mulai semangka, jagung, pepaya, cabai, melon, sayur mayur, sampai bahan makanan pokok seperti padi dan singkong. Sektor peternakan, ada sapi dan kambing dan perikanan, tambak udang tak kalah menggiurkan.
“Potensi kekayaan di Urutsewu menjadi sumber kekuatan ekonomi warga, juga wahana subsistensi kehidupan keluarga petani khas Urutsewu pesisir Kebumen,” kata Seniman.
Potensi lain, katanya, pariwisata, terutama yang memanfaatkan gumuk pasir dan panorama pantai. Pantai juga menyediakan sumber pekerjaan warga sekitar seperti berjualan makanan dan menyewakan fasilitas wisata. Jadi, tuntutan warga agar pemerintah menerapkan konservasi alam, kata Seniman, sebagai upaya perlindungan keragaman hayati seperti plasma nutfah maupun satwa langka bangau hitam dan elang laut.
“Adanya hutan bakau, bagian perlindungan keragaman hayati di pesisir Pantai Urutsewu. Ia penangkal abrasi dan pengurangan dampak tsunami.” Bersambung