Surat Pengantar Camat Ambal, dengan nomor: 045.2/117 yang diedarkan kepada beberapa Kades di wilayah Urut-Sewu, meliputi: Sumberjati, Kaibon, Kaibon Petangkuran, Ambalresmi, Kenoyojayan, dan Entak
Sepintas, seperti surat dinas biasa, bertanda-tangan pejabat Camat, lengkap dengan stempel. Tetapi menjadi "luar-biasa" ketika ternyata 6 halaman isinya berisi Peta Tanah. Dan Peta Tanah itu, bukannya dibuat oleh Badan Pertanahan sebagaimana mestinya, tetapi dibuat sebagai hasil pengukuran tim yang diketuai oleh "oknum" TNI-AD. Pernyataan resmi dalam Surat Pengantar, menjelaskan bahwa peta ini merupakan Data Batas Tanah Milik dengan Tanah Negara (di) pantai Kec. Buluspesantren, Ambal dan Mirit. Untuk tujuan apa? Keterangan lain menjelaskan bahwa peta ini diedarkan kepada para Kades di pesisir selatan, dengan tujuan "untuk menjadikan periksa dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya".
Bagaimana Mungkin ?
Bagaimana mungkin peta hasil pengukuran itu bisa dijadikan alat periksa dan dapat digunakan sebagaimana mestinya? Kalau itu mau dijadikan data, yang notabene bisa jadi acuan kebijakan, lha wong dibuat pada bulan Maret 1998 kemarin. Dan lagi, itu "cuma" hasil pengukuran tim.
Peta ini cuma memuat kepentingan tentara. Tetapi, jelas-jelas dengan cara memanipulasi sejarah tanah itu sendiri. Lalu apakah hak kepemilikan petani atas tanah yang berada di peta itu mau dihapus begitu saja?
Berani-beraninya pejabat sekarang memanipulasi sejarah.
Camat dan "oknum" Tentara Memicu Kontroversi!
Sebelum ini ada upaya pematokan tanah dengan patok yang "bukan bikinan BPN". Petani pemilik tanah ga terima, maka dirusaklah patok itu. Kasad mengancam akan mematok ulang dan menyatakan akan diambil tindakan tegas bagi siapa pun yang mencabut atau merusak. Takutkah petani? Tidak! Petani Urut-Sewu malah menyiapkan kentongan bakal buat bikin "titir kampung" jika tentara berani matok tanah mereka, bakal diserbu.
Setelah pematokan tanah yang (bahkan jaraknya lebih dari 500 m dari garis air) dilakukan TNI-AD menimbulkan reaksi keras yang meluas, kini muncul modus baru yang memicu kontroversi lain. Baca semua postingan Kisah Tentang Pal-Budheg itu Fakta Sejarah; di weblog ini. Itu saksi bisu yang sejatinya tak bisa ditawar dalam menjelaskan fakta. Fakta ini bahkan diakui oleh pemerintah penjajah sekalipun.
Batas tanah negara itu ya cuma sejauh "pal-budheg". Atau, sebagaimana pernyataan BPN dalam acara audensi Petani Urut-Sewu dengan Bupati (AsBup I dan AsBup II), di beberapa desa seperti Setrojenar, malah jaraknya cuma 210 hingga 220 meter dari garis air. Itu Tanah Negara yang di zaman kolonial dulu disebut Tanah Kumpeni. Terakhir, BPN Jawa Tengah turun ke kawasan Urut-Sewu dengan Peta Tanah yang sesungguhnya. Batas Tanah Negara dengan Tanah Rakyat ya cuma rata-rata sejauh 200-an meter dari garis air. Baca: 200-an meter. Itu bukan pernyataan persun, tapi mewakili lembaga yang berwenang dalam soal tanah!
Nah, kenapa jadi ada ukuran sampai 500 meter; itu ada juga sejarahnya. Luasan yang rata-rata berjarak 200-an meter dari garis air itu, jika dipakai latihan TNI-AD atau uji coba senjata taktis; tak cukup luas. Maka pihak Dislitbangad waktu itu mendekati para Kades lama guna meminta pinjam tanah di wilayah pesisir desanya untuk dipakai pada saat-saat latihan dan uji-coba itu.
Ingat: Pinjam Pakai ! Dan ingat lagi: Kebijaksanaan itu diputuskan oleh Kades. Bukan oleh dan dengan musyawarah Petani Pemilik Tanah!
Tetapi justru karena kebaikan itu, malah pada gilirannya jadi momentum klaim kepemilikan TNI-AD atas tanah. Sudah dikasih Hati malah ngrampas Rempela, itu namanya.
Dan berani-beraninya pejabat sekarang memanipulasi sejarah. Sebab siapa yang mengabaikan sejarah, akan digilas oleh sejarah itu sendiri.