Sunday, October 25, 2015

Hama Sepaton, Medi Sawah dan Buto “ogoh-ogoh” Ijo

Ritual Merti Desa dan Ruwat Bumi Urutsewu [25/10] diwarnai aksi teaterikal menarik [Foto: Suyoto] 

Kemunculan beberapa bentuk identivikasi simbolik, seperti medi sawah, hama sepaton dan buto “ogoh-ogoh” ijo, dalam beberapa tahun terakhir; seakan mewakili kesedaran [baca: kecerdasan lokal] petani Urutsewu dalam perlawanannya terhadap perampasan sistematis atas tanah-tanah pesisirnya.  Ada satu lagi sastra tutur lokal berupa anekdot bertajuk “Asu Kudhung Wlulang Macan” dalam khasanah budaya perlawanan agraris yang ikut menandai fenomena pertarungan ekspansi kepentingan modal yang ditandai pertama-tama dengan perampasan tanah; land-grabbing.   

Lahan pertanian pemajekan yang dalam satu dekade terakhir telah berkembang secara mandiri mengawali tradisi industrialisasi pertanian modern ini; terlanggar pemagaran yang dibangun semena-mena oleh tentara. Tak ada upaya mediasi pemerintah cukup berani untuk kasus land-grabbing ini. Berbarengan dengan itu marak pula penetrasi kapital baru yang tak kalah rakusnya, yang muncul lewat menjamurnya pertambakan udang. Penetrasi kapital lainnya dalam bentuk ekspansi tambang pasirbesi, sementara ini; terkunci oleh kuatnya resistensi massarakyat.

Seperti genderang tengah hari yang membangunkan tidur siang, petani Urutsewu mendapati musuh-musuhnya yang tengah membangun basis kekuatan baru di kawasan holtikultur mereka. Munculnya pertambakan udang seperti setan dan asap kemenyan; marak di sepanjang pesisir selatan. Sejak Tritis, Gunungkidul, Parangkusumo, Kulonprogo, Bagelen, di Urutsewu pun marak. Mirit, Lembupurwo, Ambal, Ayamputih, hingga merambah tlatah kulon kali Tanggulangin, Tegalretno, Petanahan, Puring.

Bahkan hingga pesisir Jetis, Nusawungu, Widarapayung di pesisir selatan Cilacap juga. Catatan ekologis krussial atas munculnya tambak udang ini adalah kehancuran zona sabuk hijau konservasi pantai.

Bakar Buto “ogoh-ogoh” Ijo

...muga-muga grandong-grandong, setan-setan yang selama ini mengganggu Urutsewu, ndang musno, muga-muga kula lan panjenengan terbebas dari semua gangguan, ora ngobong buto neng ngobong wong sing ngganggu urutsewu...”

Seusai “mantra” ini dibaca, maka dimulailah prosesi pembakaran “ogoh-ogoh” itu. Memang, ini sebuah aksi perlawanan simbolik petani Urutsewu yang dihelat mengiringi tradisi merti desa dan ruwat bumi di Pesanggrahan Elus pesisir Desa Wiromartan, Mirit [25/10]. Di zona pesisir dimana pernah terjadi peristiwa “serangan berdarah” tentara terhadap petani [22/08] yang memprotes pemagaran pesisir ini; berkumpul ratusan warga yang mengikuti prosesi itu.

Dalam aksi ini, sosok “buto-ijo” atau lebih tepatnya “ogoh-ogoh loreng” memang representasi dari musuhnya para petani. Yakni perwujudan dari golongan yang secara serakah dengan menggunakan kekuasaannya akan merampas dan menguasai asset sosial kaum tani. Sama seperti ungkapan hama sepaton yang muncul dalam aksi-aksi perlawanan massarakyat Urutsewu sebelumnya. Segala jenis hama dan pengganggu petani memang harus “diberantas” dan dihalau. Meskipun perjuangan menghalau musuh ini mengundang resiko berat.

Bentuk perlawanan lain Petani Urutsewu di Hari Tani Nasional 2012 lalu [Foto:USB]

Hal ini juga mengemuka pada aksi Hari Tani Nasional 2012 lalu. Penampakan medi sawah di tepian jalan Daendels merefleksikan perlawanan dengan idiom kearifan lokal yang ada. Ihwal medi sawah yang biasa dipakai petani mengusir pengganggu tanaman di sawah ladang, diboyong ke tepi jalan untuk mengingatkan semua fihak. Bahwa ada yang harus pergi dari lahan-lahan milik petani...

Dan apakah pemerintah memiliki cukup nyali untuk mewujudkan semua itu?    


0 comments:

Post a Comment