Ritual Merti Desa dan Ruwat Bumi Urutsewu [25/10] diwarnai aksi teaterikal menarik [Foto: Suyoto]
Kemunculan beberapa bentuk identivikasi simbolik, seperti
medi sawah, hama sepaton dan buto “ogoh-ogoh” ijo, dalam beberapa
tahun terakhir; seakan mewakili kesedaran [baca: kecerdasan lokal] petani
Urutsewu dalam perlawanannya terhadap perampasan sistematis atas tanah-tanah pesisirnya.
Ada satu lagi sastra tutur lokal berupa
anekdot bertajuk “Asu Kudhung Wlulang
Macan” dalam khasanah budaya perlawanan agraris yang ikut menandai fenomena
pertarungan ekspansi kepentingan modal yang ditandai pertama-tama dengan
perampasan tanah; land-grabbing.
Lahan pertanian pemajekan
yang dalam satu dekade terakhir telah berkembang secara mandiri mengawali
tradisi industrialisasi pertanian modern ini; terlanggar pemagaran yang
dibangun semena-mena oleh tentara. Tak ada upaya mediasi pemerintah cukup
berani untuk kasus land-grabbing ini.
Berbarengan dengan itu marak pula penetrasi kapital baru yang tak kalah
rakusnya, yang muncul lewat menjamurnya pertambakan udang. Penetrasi kapital
lainnya dalam bentuk ekspansi tambang pasirbesi, sementara ini; terkunci oleh
kuatnya resistensi massarakyat.
Seperti genderang tengah hari yang membangunkan tidur
siang, petani Urutsewu mendapati musuh-musuhnya yang tengah membangun basis
kekuatan baru di kawasan holtikultur mereka. Munculnya pertambakan udang
seperti setan dan asap kemenyan; marak di sepanjang pesisir selatan. Sejak Tritis, Gunungkidul, Parangkusumo, Kulonprogo,
Bagelen, di Urutsewu pun marak.
Mirit, Lembupurwo, Ambal, Ayamputih, hingga merambah tlatah kulon kali Tanggulangin, Tegalretno, Petanahan, Puring.
Bahkan hingga pesisir Jetis, Nusawungu, Widarapayung di pesisir selatan Cilacap juga. Catatan
ekologis krussial atas munculnya tambak udang ini adalah kehancuran zona sabuk
hijau konservasi pantai.
Bakar
Buto “ogoh-ogoh” Ijo
“...muga-muga
grandong-grandong, setan-setan yang selama ini mengganggu Urutsewu, ndang
musno, muga-muga kula lan panjenengan terbebas dari semua gangguan, ora ngobong
buto neng ngobong wong sing ngganggu urutsewu...”
Seusai
“mantra” ini dibaca, maka dimulailah prosesi pembakaran “ogoh-ogoh” itu.
Memang, ini sebuah aksi perlawanan simbolik petani Urutsewu yang dihelat
mengiringi tradisi merti desa dan ruwat bumi di Pesanggrahan Elus
pesisir Desa Wiromartan, Mirit [25/10]. Di zona pesisir dimana pernah terjadi
peristiwa “serangan berdarah” tentara terhadap petani [22/08] yang memprotes
pemagaran pesisir ini; berkumpul ratusan warga yang mengikuti prosesi itu.
Dalam
aksi ini, sosok “buto-ijo” atau lebih tepatnya “ogoh-ogoh loreng” memang
representasi dari musuhnya para petani. Yakni perwujudan dari golongan yang
secara serakah dengan menggunakan kekuasaannya akan merampas dan menguasai asset
sosial kaum tani. Sama seperti ungkapan hama sepaton yang muncul dalam
aksi-aksi perlawanan massarakyat Urutsewu sebelumnya. Segala jenis hama dan
pengganggu petani memang harus “diberantas” dan dihalau. Meskipun perjuangan
menghalau musuh ini mengundang resiko berat.
Bentuk perlawanan lain Petani Urutsewu di Hari Tani Nasional 2012 lalu [Foto:USB]
Hal
ini juga mengemuka pada aksi Hari Tani Nasional 2012 lalu. Penampakan medi
sawah di tepian jalan Daendels merefleksikan perlawanan dengan idiom
kearifan lokal yang ada. Ihwal medi sawah yang biasa dipakai petani
mengusir pengganggu tanaman di sawah ladang, diboyong ke tepi jalan untuk
mengingatkan semua fihak. Bahwa ada yang harus pergi dari lahan-lahan milik
petani...
Dan
apakah pemerintah memiliki cukup nyali untuk mewujudkan semua itu?
0 comments:
Post a Comment