This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Thursday, December 24, 2015

Dalil Perjuangan Agraria

OLEH  · DECEMBER 24, 2015
Catatan Redaksi:
Berbagai persoalan sosial dan ekonomi-politik mendera umat Islam di negeri ini dan membutuhkan tanggapan-tanggapan progresif dari hukum Islam. Tanggapan-tanggapan tersebut diperlukan sebagai legitimasi “syar’i” atas keberterimaan atau tidak-berterimanya kasus-kasus yang dihadapi oleh umat berkaitan dengan hak-hak hidup mereka yang terampas oleh kekuatan-kekuatan pemodal, hak-hak mereka yang terdiskriminasi, dan pemiskinan struktural yang terus-menerus terjadi melalui relasi kerja upahan, eksploitasi, dominasi sekelompok orang atas yang lain (pemodal atau majikan atas buruh, pemerintah nasional atau global atas rakyat…), dan sarana-sarana yang dipakai dalam mempertahankan dominasi tersebut (kekerasan, paksaan, represi, dll.). Rubrik “Fikih” ini diperuntukkan untuk membahas kasus-kasus tersebut ditinjau dari sudut pandang hukum Islam yang kami gali dari pendapat-pendapat (aqwal) para ulama dan dirumuskan ulang dari hasil ijtihad mereka, dipadukan dengan wawasan tafsir, hadits, dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya. Dengan demikian, hukum Islam dapat berkontribusi bagi gerakan sosial progresif bernafaskan agama dan pembangunan tatanan sosial yang bebas dari eksploitasi, penindasan, dan ketimpangan. Segala jenis pertanyaan, saran, masukan, dan kritik untuk rubrik ini dapat dilayangkan ke redaksi@islambergerak.com atau Fanspage Facebook  “Islam Bergerak”.
Tanya:
Baru-baru ini, Gus Mus (KH A Mustofa Bisri), seorang kiai terkemuka dari Rembang, mengunjungi tenda perlawanan warga di tapak pabrik PT Semen Indonesia untuk menyatakan dukungannya terhadap perjuangan agraria yang dilakukan oleh warga dalam menolak pembangunan pabrik Semen di kawasan Pegunungan Kendeng. Suatu langkah yang tidak populer ketika banyak tokoh agama lainnya bungkam atau memilih mendukung pabrik Semen! Bagaimana hukum dukungan yang diberikan Gus Mus tersebut dan status hukum perjuangan warga ditinjau dari sudut pandang hukum Islam?
Jawaban:
Dukungan Gus Mus tersebut harus dilihat baik dalam kapasitasnya sebagai ulama (dukungan ulama terhadap umatnya yang sedang ditimpa kesulitan) maupun sebagai seorang Muslim yang sedang melakukanamar ma’ruf nahi munkar (mendorong dan memerintahkan kebaikan dan melarang serta mencegah kemungkaran). Hal ini sejalan dengan perintah Al-Qur’an:
 وَأمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ
Dan perintahkanlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar” (Q.S. Luqman: 17)
Kewajiban ini dipikul oleh setiap Muslim, lebih-lebih bagi kalangan ulama. Al-Qur’an memberikan tanggung jawab yang besar kepada para pemuka agama untuk mengambil peran amar ma’ruf nahi munkar ini dan mengecam kalangan pemuka agama yang diam melihat kemungkaran terjadi, sementara mengetahui dan menyadari dampak-dampaknya:
 لَوْلَا يَنْههُمُ الرَّبَّانِيُّوْنَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الِاثْمَ وَاَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوْا يَصْنَعُوْنَ
 “Mengapa para ulama dan para pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan dusta dan memakan yang haram? Sungguh sangat buruk apa yang mereka perbuat” (Q.S. Al-Ma’idah: 63)
Dalam ayat ini disebutkan jenis kemungkaran yang dimaksud, yaitu perkataan yang penuh dosa (dusta) dan memakan harta dengan jalan haram. Dalam ayat lain, dirinci jenis kemungkaran itu dengan istilah “al-fasad fi al-ardl”, kerusakan di muka bumi (Q.S. Hud: 116).
Kasus PT Semen Indonesia di Rembang memenuhi ketiga kriteria kemungkaran tersebut, yaitu ditemukannya berbagai indikasi pelanggaran hukum dan manipulasi data faktual di lapangan (bisa dikategorikan perkataan dusta), klaim kepemilikan tanpa sepengetahuan dan persetujuan warga setempat (mengambil harta orang lain dengan jalan haram),dan potensi kerusakan yang ditimbulkan (fasad fi al-ardl) akibat eksploitasi pegunungan Kendeng terhadap pertanian warga maupun ekosistem. Dengan demikian, langkah Gus Mus memiliki dasar hukum Islam yang kuat.
Adapun status hukum perjuangan warga dalam mempertahankan tanah miliknya dan ekosistem yang mendukung bagi mata pencahariannya, maka perjuangan itu diperbolehkan, selama kepemilikan tersebut sah dan tidak diperoleh dengan cara-cara yang diharamkan dan merupakan bagian dari penunjang kemaslahatan bersama (ekosistem pegunungan yang merupakan penunjang bagi mata pencaharian warga).
Dalam hukum Islam kita mengenal bahwa kepemilikan tanah yang sah, antara lain, adalah kepemilikan yang diperoleh dengan:
  1. al-istila’al-mubah (pemerolehan suatu kepemilikan yang tidak dimiliki oleh siapapun dengan jalan yang sah), seperti ihya’ al-mawat(menghidupkan tanah mati/non-produktif),
  2. ‘uqud (akad jual beli yang sah dan dilandasi kerelaan dua belah pihak),
  3. khalafiyyah (pergantian status kepemilikan tanah yang sah) berupa tanah warisan atau ganti rugi (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, V: 501).
Kita periksa kembali, siapa yang menghidupkan tanah di daerah tersebut. Bukankah warga, yang turun-temurun mengelolanya dari leluhur mereka terdahulu? Bukankah leluhur mereka itulah yang menghidupkan tanah itu (ihya’ al-mawat) dan mewariskannya kepada anak-cucu keturunannya sekarang? Maka warga-lah pemilik sah tanah tersebut. Hal ini menggugurkan klaim pihak perusahaan yang mengantongi izin pemerintah.
Para ulama menulis:
 (مَسْأَلَةٌ) رَجُلٌ بِيَدِهِ رَزَقَةٌ اِشْتَرَاهَا ثُمَّ مَاتَ فَوَضَعَ شَخْصٌ يَدَهُ عَلَيْهَا بِتَوْقِيْعٍ سُلْطَانِيّ فَهَلْ لِلْوَرَثَةِ مُنَازَعَتُهُ ؟ الجَوَابُ إنْ كَانَتْالرَّزَقَةُ وَصَلَتْ إلى البائِعِ الأوَّلِ بِطَرِيْقٍ شَرْعِيّ بأنْ أَقْطَعَهَا السُّلطَانُ إيّاهَا وَهِيَ أرْضُ مَوَاتٍ فإنّهُ يَمْلِكُهَا وَيَصِحُّ مِنْهُ بَيْعُهَا ويَمْلِكُهَا المُشْتَري مِنْهُ (الحاوي للفتاوى للسيوطي ، 127)
(Persoalan.) Seseorang menguasai suatu kekayaan yang telah dibelinya, kemudian ia mati, lantas ada orang lain yang menguasainya dengan legitimasi stempel pemerintah, apakah ahli waris boleh menentangnya? Jawabannya: apabila kekayaan itu sampai pada penjual pertama secara syar’i, dengan gambaran bahwa kekayaan itu dulunya diberikan oleh pemerintah dan ia merupakan tanah yang mati (non-produktif), maka ahli waris itu dapat memilikinya serta sah untuk menjualnya, dan pembelinya juga sah atas kepemilikannya (al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawa, 127)
(مَسْأَلَةٌ ك) اِعْتَادَ بَعضُ السَّلَاطِيْنُ حِجْرَ المَوَاتِ لِنَفْسِه فَيَقُولُ هَذِهِ البُقْعَةُ مِلْكِي فَمَنْ زَرَعَ فيها فَعلَيْهِ كَذَا لَمْ يَصِرْ بِذلكَ مُحْيِيًا للأَرْضِ بَلْ مَنْ أَحْيَاهَا الإحْيَاءَ المَعْرُوفَ مَلَكَهَا إذِ الأَرْضُ لَا تُمْلَكُ اِلّا بِالإحْيَاءِ أو بإقْطَاعِ الإمَام إقطاعَ تَمْلِيكٍ (بغية المسترشدين  للحبيب عبد الرحمن المشهور، 168)
(Persoalan dari Imam Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi.) Sebagian penguasa (ketika berkuasa) terbiasa mengkhususkan sebidang tanah tak bertuan untuk dirinya, lalu berkata: “Tanah ini milikku, maka siapa menanaminya, dia wajib membayar sekian”. Pernyataan ini tidak dapat menjadi bukti bahwa dia adalah pihak yang menghidupkan tanah tersebut. Tetapi, pemilik sejati adalah siapa saja yang lebih dulu menghidupkan tanah itu dengan cara yang sah (ma’ruf). Karena sebidang tanah tidak dapat dimiliki kecuali dengan jalan menghidupkan (ihya’) atau pemberian dari imam dengan status hak milik. (Habib Abdurrahman al-Masyhur, Bughyat al-Mustarsyidin, 168)
Kalaupun misal saja tanah itu dulunya tidak diketahui asal-usulnya, lantaran tanah itu sudah menjadi bagian dari kebutuhan pokok bersama, maka pemerintah juga tidak diperbolehkan untuk memanfaatkannya semena-mena, termasuk untuk tujuan industri. Hal ini untuk menghindari keragu-raguan mengenai status hukum tanah tersebut. Analoginya adalah jalan raya.
قَالَ السُّبْكِي وَلَا يَجُوزُ لِوُكَلاَء بَيْت المَالِ بَيعُ شَيءٍ مِنَ الشّوَارِعِ وإن اتَّسَعَتْ وفَضُلَتْ عَن الحَاجَة لأنّا لاَ نَعْلَم أصلَه هَلْ أصلُهُ وَقْفٌ أوْ مَوَاتٌ أُحْييَ فَليَحْذَرْ ذلك وَإنْ عَمَّتْ به البَلْوَى (حاشية الشرواني للشرواني ، ج 6، 555-544)
Al-Subki berkata: “Para pemegang amanah baitul mal (penguasa) tidak boleh menjual sedikitpun dari jalan raya, sekalipun luas dan lebih dari keperluan, karena kita tidak tahu asal-usulnya, wakaf-kah atau tanah mati yang dihidupkan. Maka hindarilah tindakan itu sekalipun praktik itu telah mewabah di mana-mana”. (al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani, VI/544-545)
Perjuangan mempertahankan tanah milik yang sah diistilahkan di atas dengan munaza’ahMunaza’ahini berarti penentangan. Dalam konteks agraria, hal ini berarti penentangan atas klaim-klaim yang dibuat secara tidak benar oleh pihak pemerintah maupun korporasi terkait status sebidang tanah. Seperti disebutkan di atas, munaza’ah ini boleh dilakukan oleh warga pemilik tanah atau ahli warisnya untuk merebut kembali kepemilikannya.***
http://islambergerak.com/2015/12/dalil-perjuangan-agraria/

Thursday, December 03, 2015

Pejuang Pangan dari Urutsewu Menanti Keadilan (Bagian 3)



Salah satu pagar yang sudah dipasangi kawat dan dicat hijau di pesisir pantai Lembupurwo, Mirit. Foto: Tommy Apriando
Spanduk-spanduk penolakan para petani atas pemagaran dan latihan militer terpasang di jalan Desa Setrojenar, Kecamatan Bulus Pesantren, Kebumen. Bagian lain, tampak pertanian warga tumbuh subur. Ada pepaya, cabai, singkong dan lain-lain.
Tak jauh dari sana, bangunan hijau dengan TNI berjaga-jaga di pos. Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNIAD, begitu nama bangunan itu. Ia menjadi sejarah penggunaan Pesisir Urutsewu oleh militer.
Pada 1982, TNIAD masuk ke Urutsewu dengan mendirikan Mess Dislitbang TNIAD di Desa Setrojenar. Saat itu, Kepala Desa Setrojenar, Ghozali. Otoritas TNIAD menggunakan tanah warga dan tanah desa atas persetujuan Kades. Kades menjual tanah bengkok dan tanah rakyat selebar 100 meter, dan 200 meter kepada TNIAD.
Tanah inilah untuk membangun Mess TNIAD. Sejak itu, klaim tanah TNIAD muncul. Bukan hanya lahan mess melainkan seluas 500-1.000 meter dari bibir pantai di sepanjang Pesisir Urutsewu– sebagai tempat latihan pengujian senjata dan alat perang.
“Ketika latihan militer, petani yang punya tanah di dekat pesisir juga dilarang masuk,” kata Kades, Mukhlisin.
Di desa itu, pada 16 April 2011 menjadi awal perjuangan masyarakat Urutsewu. Terjadi kekerasan oleh TNIAD.
Kiayi Imah Zuhdi bercerita, kala itu, warga membuat blokade pohon di jalan menuju lokasi latihan di Desa Setrojenar. Merasa ada gangguan, TNI membongkar blokade warga.
Melihat blokade dibongkar, warga kembali memalang jalan dengan kayu. Warga juga merobohkan gerbong TNIAD, dan melempari gudang peluru bekas yang lama tidak terpakai– dibangun di tanah milik warga.
TNI merespon dengan serangan. Tentara mengejar, menangkap, menembak dan memukuli warga. Kejadian ini menyebabkan enam petani kena pasal perusakan dan penganiayaan, 13 orang luka-luka, enam luka tembakan peluru karet. Di dalam tubuh petani bersarang peluru karet dan timah. Sebanyak 12 sepeda motor warga dirusak dan beberapa barang, seperti handphone, kamera, dan data digital dirampas paksa tentara. Kebrutalan ini, dikenal dengan Tragedi Urutsewu.
“Tidak ada anggota TNI dihukum, penegakan hukum hanya untuk masyarakat yang dianggap merusak,” kata Iman.

Spanduk penolakan pemagaran dan latihan militer di Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesanter terpasang di jalan desa menuju Dislitbang TNI. Foto: Tommy Apriando
Spanduk penolakan pemagaran dan latihan militer di Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesanter terpasang di jalan desa menuju Dislitbang TNI. Foto: Tommy Apriando
Dia mengatakan, alasan lain mereka menolak pemagaran dan latihan militer di Urutsewu karena, pernah ada peluru nyasar ke warga dan banyak sampah peluru ditemukan di lahan pertanian Setrojenar. “Ini mengkhawatirkan dan mengancam keselamatan warga.” Saat ini, katanya,   TNIAD juga menghambat akses masyarakat bertani dengan pemagaran.
“Ironis, negeri agraris terus melanggengkan kebijakan mempercepat musnahnya rumah tangga petani,” kata Iwan Nurdin, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria.
Gubenur Jateng, Ganjar Pranowo pertengahan September 2015 mengatakan, siap menyelesaikan persoalan Urutsewu. “Kami sudah koordinasi dengan Panglims TNI dan BPN, serta PJ Bupati Kebumen. Saya sudah laporkan ke Presiden Jokowi perihal Urutsewu.”
Dia mengatakan, sudah sejak lama memikirkan penyelesaian masalah lahan Urutsewu, bahkan sejak menjadi anggota DPR. Saat ini, katanya, sudah berbagai usaha termasuk mengumpulkan data. “Saya tidak mau ada korban lagi.”
Ganjar meminta, permasalahan Urutsewu menjadi perhatian. “Kita tinggal menunggu data-data bukti kepemilikan sertifikat warga melalui koordinasi kepala desa. Saya meminta kepada Pemerintah Kebumen cepat diselesaikan.”

Semangka tumbuh subur di lahan pertanian Pesisir Urutsewu. Foto: Tommy Apriando
Semangka tumbuh subur di lahan pertanian Pesisir Urutsewu. Foto: Tommy Apriando 
***
Empatbelas September 2015, tim independen terbentuk. Ia terdiri atas tujuh orang dari berbagai kalangan ahli antara lain Universitas Gajah Mada (UGM) dan Badan Pertanahan Nasional.
Perwakilan Pemerintahan Pemprov Jateng Agus Hariyanto mengatakan, tim bertugas mengumpulkan data-data kepemilikan tanah di Urutsewu, baik TNI maupun warga setempat.
Setelah data kepemilikan terkumpul dan verifikasi, tim akan turun ke lapangan mengecek langsung. Lalu, mengeluarkan rekomendasi dan mediasi pada 25 November 2015.
Saya mencoba mendapatkan informasi dari Heri Susanto, Badan Pertanahan Nasional Kebumen juga anggota tim independen. Namun, dia tidak bersedia menjawab pertanyaan. “Mohon maaf, saya tidak ada kewenangan menyampaikan informasi yang diminta.”
Warga menilai tim ini tak adil. Karena selama proses, TNI tetap memagar lahan. “Harusnya diberhentikan dulu. Jika alasan kedaulatan NKRI, kami yang mempertahankan lahan pertanian juga berjuang untuk NKRI,” kata Sunu.
Jika berniat mediasi, katanya, seharusnya, duduk bersama dengan hati terbuka dan hentikan pemagaran.
Sunu mengatakan, belum ada hasil keputusan tim pada 25 November. Informasi yang dia peroleh diundur 15 Desember 2015.
Tim sudah turun lapangan mengecek bukti-bukti, baik masyarakat maupun TNI. Dalam tim, tidak ada satupun pelibatan pemerintahan desa atau warga. Tim hanya berkunjung ke lokasi dan memverifikasi bukti. “Namun kami belum tahu seperti bukti-bukti dan verifikasi tim terhadap TNI,” kata Sunu.
Sedang Seniman, warga Kaibon Petangkuran pada Selasa lalu bertemu Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo. Dia menunjukkan bukti-bukti sertifikat asli warga Urutsewu.
“Sampai kapanpun saya akan melindungi dan membela warga yang tanah dirampas untuk alasan pertahanan negara. Petani juga bekerja untuk pertahanan dan ketahanan pangan negara,” tegas Sunu. Habis

Mangrove dan hutan cemara serta perahu-perahu nelayan yang menepi di pinggir sungai di Pesisir Pantai Lembupurwo. Foto: Tommy Apriando
Mangrove dan hutan cemara serta perahu-perahu nelayan yang menepi di pinggir sungai di Pesisir Pantai Lembupurwo. Foto: Tommy Apriando
http://www.mongabay.co.id/2015/12/03/pejuang-pangan-dari-urutsewu-menanti-keadilan-bagian-3/

Tuesday, December 01, 2015

Ada Pasir Besi di Lokasi Latihan Militer Urutsewu (Bagian 2)

 


Pemagaran merusak tanaman dan mengambil lahan pertanian warga. Saat ini tim independen melakukan verifikasi data. Foto: Tommy Apriando
“Apa serdardu tidak boleh punya hati? Tanah Urutsewu untuk rakyat.” Ada juga spanduk berukuran 3×2 meter berisi foto buku dan sertifikat tanah warga. Ia dibentangkan menghadap aparat pamong praja, polisi dan TNI yang berjaga pada pertemuan penyelesaian konflik lahan Urutsewu pada 14 September 2015. Ratusan mahasiswa dan warga Pesisir Urutsewu aksi memenuhi pintu gerbang Kantor Bupati Kebumen, hari itu.
Kepala Desa Kaibon Petangkuran, Mukhlisin hadir dalam pertemuan itu. Dia korban peristiwa 22 Agustus 2015. Hari itu, meskipun sudah menyingkir sekitar 200-an meter, dia diburu dan digebuki di depan polisi. Dia terjatuh ke lubang galian blokade buatan warga, kena pentung toya dan diinjak-injak sepatu lars TNI.
Pertemuan di Auditorium Kantor Bupati Kebumen, katanya, TNI memperlihatkan bukti tipu-tipu. Ia hanya berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Kementerian Keuangan No. S.825/KN/2011 tertanggal 29 April 2011. Tak banyak bukti lain, hanya peta kepemilikan versi tentara tahun 1998. Peta itu, katanya, dibuat dengan memaksa kepala desa menandatangani.
“Jika mau beradu bukti mari kita lakukan. Jika mau mediasi ayo dijalankan. Hentikan dulu pemagaran dan latihan militer,” kata Mukhlisin.
Kiai Imah Zuhdi, tokoh agama setempat menantang TNI membeberkan bukti-bukti kuat soal klaim lahan mereka. Buat warga, katanya, sudah jelas. Dia mencontohkan, ada warga memiliki bukti buku tanah dikeluarkan Departemen Dalam Negeri, Direktorat Djendral Agraria, tahun 1969. Dalam buku peta tanah warga berbatasan langsung dengan laut di bagian selatan. Ada juga beberapa warga memiliki sertifikat dan banyak juga Letter C.
“Artinya kami punya bukti sah dan siap kami tunjukkan. Mana bukti TNI, jika benar tanah di pesisir milik mereka silahah gugat warga, bukan sebaliknya,” katanya.
Lokasi Dislitbang TNI AD yang berada di Desa Setrojenar, mulai dibangun tahun 1982 dari pembelian tanah bengkok desa. Foto: Tommy Apriando
Lokasi Dislitbang TNI AD yang berada di Desa Setrojenar, mulai dibangun tahun 1982 dari pembelian tanah bengkok desa. Foto: Tommy Apriando
Untuk penyelesaian konflik pemagaran, pemerintah daerah sudah membentuk tim. Seharusnya, kata Mukhlisin, kala tim sedang bekerja, aktivitas pemagaran hentikan sementara. Namun, Dandim menyatakan, pemagaran tetap berlanjut. “Harusnya Sekda bertanggung jawab, tegas dan meminta pemagaran berhenti terlebih dahulu. Yang bikin tim-kan Pemda.”
Desa yang dikepalai Mukhlisin, ada sekitar 3.000 jiwa. Mayoritas petani dan buruh tani. Hanya sebagian memiliki sertifikat tanah, rata-rata Letter C, ada 95% punya dokumen itu. Selama ini, mereka mengacu pada dokumen Letter C. Jika mau pinjam uang atau sebagai jaminan, perangkat desa akan membuatkan salinan Letter C. Selama ini, bank mengakui salinan ini. “Kami mengakui Letter C sah dan punya kekuatan hukum.”
Warga Desa Kaibon bertani palawija, sayur, semangka sampai cabai. Sejak menanam cabai, kehidupan warga pesisir selatan, lebih baik. “Dulu Desa kami paling miskin. Sekarang sejahtera. Pemuda memilih di desa. Ikut bertani.” “Jika lahan dipagari dan dirampas, pengganguran pemuda akan banyak,” ucap Mukhlisin.
Desa ini, bagian selatan berbatasan dengan laut. Kalau melihat, cerita awal keberadaan lokasi latihan, desa ini tak ada batasan dengan lahan TNI. Namun, TNI tanpa dokumen jelas dan sewenang-wenang memagar dan merusak pertanian petani. Kondisi ini, katanya, tak bisa diterima. Dulu , ketika TNI akan latihan izin dulu. Tahun 2009-2010, masih izin. Anehnya, belakangan hanya pemberitahuan.
“Dengan memberikan pemberitahuan seakan mereka sudah memiliki tanah itu. Kami seakan diminta mengakui pemilik tanah TNI,” kata Mukhlisin.

Aksi mahasiswa dan warga menuntut agar tanah di Urutsewu untuk rakyat bukan untuk militer. Foto: Tommy Apriando
Aksi mahasiswa dan warga menuntut agar tanah di Urutsewu untuk rakyat bukan untuk militer. Foto: Tommy Apriando
Padahal, katanya, warga punya keinginan menjadikan kawasan pesisir sebagai lahan pertanian dan pariwisata. Masyarakat ingin bersama-sama membuat hutan desa. “Bareng merumat dan bareng menikmati. Masyarakat sadar hidup di kawasan rentan bencana.
Apa daya. Kini, warga tak boleh membangun permanen dan tak boleh menanam tanaman keras. “Kami dilarang TNI dengan dasar karena itu klaim tanah mereka. Berdasarkan peta yang mereka buat sendiri.”
Dia, sebagai kepala desa merasa aneh. Sampai saat ini, belum dan tak pernah ada surat perintah dari bupati maupun Gubernur Jawa Tengah, soal pemagaran ini. “Hanya lisan.”
Di pertemuan itu, Mukhlisin dan Sunu, menyesalkan karena kepala desa Se-Urutsewu tidak dilibatkan semua. Seolah yang bermasalah hanya tujuh desa.


***
Papan pemberitahuan Dinas Kehutanan, tentang larangan merusak hutan pantai dan hutan mangrove terpampang di sekitar Pantai Lembupurwo, Kecamatan Mirit, Kebumen. Ada juga papan pemberitahuan soal wilayah pendaratan penyu. Pantai Urutsewu yang berpasir hitam ini bukan pantai biasa. Ia mengandung sumber daya alam, yakni pasir besi.
Kelahiran Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen soal rencana tata ruang wilayah Kebumen  2011-2031 memuluskan jalan inverstor dan TNIAD menjadikan Urutsewu sebagai kawasan pertambangan pasir besi, latihan dan uji coba senjata berat, sekaligus kawasan pertanian dan pariwisata.
Warga menolak. Mereka ingin Urutsewu sebagai kawasan pertanian dan pariwisata. “Kami menolak latihan TNI dan menolak tambang pasir besi di Urutsewu,” kata Kiai Imah Zuhdi, kala orasi di depan Kantor Bupati Kebumen.
Hendrik Siregar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengamini, kalau salah satu potensi mineral pesisir Urutsewu adalah pasir besi, dan berkualitas tinggi. Ia tersebar di sepanjang pantai barat, mulai Sungai Luk Ulo sampai Sungai Cicingguling, meliputi Kecamatan Klirong, Petanahan, dan Puring. Juga sepanjang pantai timur, dari Sungai Luk Ulo hingga Sungai Mawar, meliputi Kecamatan Buluspesantren, Ambal dan Mirit.
Dia menilai, konflik tak dari penyerobotan dan peminjaman lahan petani, juga TNI ‘membisniskan lokasi’ dengan memberikan izin eksplorasi tambang.

Lokasi pertambangan pasir besi MNC. Foto: Tommy Apriando
Lokasi pertambangan pasir besi MNC. Foto: Tommy Apriando
Hendrik menduga, berbagai bentuk kekerasan di Urutsewu dipelihara untuk mengintimidasi masyarakat. Dalam catatan Jatam, ada dua hal paling penting dalam persolan Urutsewu, yakni memindahkan lokasi latihan TNI dan mengembalikan kepada masyarakat dan pemerintah. Lalu, membatalkan izin pertambangan atau rencana pembangunan pabrik.
Cerita bermula ketika, keluar Surat Kodam IV Diponegoro, kepada PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC). Surat Pangdam IV/Diponegoro Mayjen Haryadi Soetanto ini berisi Persetujuan Pemanfaatan Tanah TNIAD di Mirit untuk penambangan pasir besi.
Sontak warga kaget. Desa yang termasuk ke dalam area izin eksplorasi adalah Mirit Petikusan, Mirit, Tlogo Depok, Tlogo Pragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan. Dalam sidang Amdal para pamong desa menolak kehadiran perusahaan tambang.
Dalam dokumen riset pra Amdal MNC disebutkan ada rekomendasi tanah TNIAD seluas 318,42 hektar masuk calon zona tambang. TNIAD juga klaim Pesisir Urutsewu sepanjang 22,5 Km mencakup 500 meter dari garis air sepanjang pesisir, sebagai tanah pertahanan keamanan. Padahal, dibentang itu jelas-jelas terdata sebagai tanah pemajegan (tanah yang pajak dibayar petani), bahkan sejak zaman kolonial Hindia-Belanda.
Tak hanya lahan milik petani yang terlibas. Juga tanah banda desa, tanah bengkok, tanah makam dan tanah brasengaja– konservasi sabuk hijau pesisir.
“Hingga sangat mungkin ada keterkaitan militer dalam konflik itu, paling kentara jika ada upaya-upaya pengamanan investasi atau intimidasi personil militer,” kata Hendrik.
MNC mendapatkan izin dari Kodam IV/Diponegoro disinyalir karena komisaris MNC, yakni Rianzi Julidar, pensiunan jenderal. Sebelum pensiun 29 Mei 2008, Rianzi sebagai Koordinator Staf Ahli KSAD. “Besar kemungkinan, posisi Rianzi memudahkan MNC mendapatkan persetujuan pemanfaatan lahan untuk penambangan pasir besi,” kata Seniman.
Dugaan makin kuat kala ada informasi Rully Aryanto, assistant manager MNC pada 3 Maret 2011 di Kantor MNC, Jalan Taman Kemang 32 A Jakarta Selatan. Rully mengatakan, untuk masuk ke TNIAD, MNC memiliki koneksi orang dalam. Setelah mengajukan permohonan izin, MNC presentasi ke KSAD TNIAD soal keuntungan dan kerugian. Akhirnya ada kesepakatan. Keluarlah surat persetujuan berdasarkan surat KSAD, bernomor B/1949-09/27/12/Set tentang persetujuan kerjasama pemanfaatan tanah TNIAD di Kecamatan Mirit untuk penambangan pasir besi.
“Jadi jelas, klaim TNIAD terhadap penguasaan tanah di Urutsewu tak semata soal pertahanan dan keamanan di pesisir selatan Jawa, melainkan persoalan bisnis penambangan pasir besi,” kata Seniman.
Warga tak tinggal diam. Setelah mengetahui surat izin pasir besi keluar, warga Mirit menolak tegas. Warga Mirit mendapatkan dukungan warga desa lain di Urutsewu.
“Kala ada tambang kami khawatir terjadi kerusakan lingkungan lalu ada bencana, mengingat Mirit kawasan rawan tsunami.”
Warga juga khawatir air sumur menjadi asin karena pasir besi yang menjadi penyaring hilang. Warga juga terancam hilang mata pencarian seperti petani maupun nelayan. “Jika lahan dikeruk, petani tidak bisa pakai bertani. Nelayan tidak bisa melaut karena wilayah menjadi pertambangan,” kata Seniman.
Aksi-aksi penolakan warga akhirnya membuahkan hasil. Pada 2012, MNC mengibarkan bendera putih alias menyerah dan tak melanjutkan penambangan pasir besi. Meskipun pemerintah Kebumen belum mencabut izin produksi, tetapi MNC tak akan menambang. Alat-alat berat sudah ditarik dan basecamp dibongkar.
Saya mendatangi bekas basecamp itu. Tampak bangunan papan tua berbentuk huruf L, beratapkan asbes di Pesisir Urutsewu, Desa Wiromartan, tak berpenghuni. Alat operasi pertambangan mangkrak, mulai berkarat. Tak ada aktivitas apapun. Hanya tampak petani,  menyirami lahan dan tanaman mereka. Bersambung
Tanah warga yang berbatasan langsung dengan laut di bagian selatan, ada dalam buku tanah yang keluar tahun 1969. Foto: Tommy Apriando
Tanah warga yang berbatasan langsung dengan laut di bagian selatan, ada dalam buku tanah yang keluar tahun 1969. Foto: Tommy Apriando

http://www.mongabay.co.id/2015/12/01/ada-pasir-besi-di-lokasi-latihan-militer-urutsewu-bagian-2/nah warga yang berbatasan langsung dengan laut di bagian selatan, ada dalam buku tanah yang keluar tahun 1969. Foto: Tommy Apriand

Monday, November 30, 2015

Kala Lahan Tani Urutsewu Terlibas Lokasi Latihan Tentara (Bagian 1)

Lokasi pemagaran akan dilakukan sepanjang 22,5 kilometer dan 500 meter ke laut. Dengan tinggi pagar 2 meter. Foto: Tommy Apriando.

Kening luka. Telapak tangan kiri patah. Pukulan dan injakan mendera tanpa ampun. Itu dialami Widodo Sunu Nugroho, Kepala Desa Wiromartan, Kecamatan Mirit, Kebumen, Jawa Tengah, pada 22 Agustus 2015. Dia tak bisa melupakan hari mencekam ketika para serdadu TNI Angkatan Darat (AD) memukul dan menendang mereka. Puluhan warga lain mengalami hal serupa. Sunu harus menjalani operasi karena kejadian itu.

“Kami hanya menanyakan legalitas tentara memagar di lahan para petani. Cara kekerasan yang mereka lakukan,” katanya.
Mukhlisin, Kepala Desa Kaibon Petangkuran juga masih menyimpan sedikit trauma atas kekerasan aparat TNI Kodim 0709 Kebumen kala itu. Dia dipukul, hingga memar di beberapa bagian tubuh.

Dia prihatin, seharusnya TNI membela dan melindungi warga. Namun, TNI malah menjadi pelaku kekerasan, merusak dan merampas lahan warga. Mukhlisin akan membela hak warga karena yang dilakukan TNI ilegal. “Jika mau menyelesaikan persoalan Urutsewu, mari diselesaikan. Hentikan dulu pemagaran, hingga ada bukti kuat dan sah.”

Suara dentuman meriam terdengar cukup keras dari pesisir Desa Wiromartan, 15 September 2015. Berjarak sekitar 10 kilometer dari lokasi latihan perang para serdadu di Pesisir Urutsewu, Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren.

Di Jalan Daendels, mulai Kecamatan Mirit, Ambal dan Buluspesantren, truk-truk TNI lalu-lalang. Beberapa anggota TNI-AD, berseliweran bersepeda motor. Di beberapa lokasi pemagaran, tentara berjaga-jaga. Bahkan mereka mendirikan tenda di Pantai Lembupurwo, Mirit.

“Dilarang masuk, ada latihan militer.” Begitu bunyi spanduk hijau di Pantai Bocor, Desa Setrojenar. Ia terpasang di pintu masuk pantai.

“Mereka tidak memakai izin pemerintah desa, camat, maupun bupati. Hanya pemberitahuan,” kata Sunu.

Sunu bercerita, awal mula konflik perampasan lahan di Urutsewu oleh TNI-AD. Urutsewu, sebutan untuk daerah yang membentang di pesisir selatan Cilacap hingga Kulonprogo. Di Kebumen, termasuk Urutsewu meliputi Kecamatan Klirong, Petanahan, Puring, Buluspesantren, Ambal dan Mirit.

Widodo Sunu Nugroho, lurah yang membela warganya dari perampasan lahan oleh TNI-AD. Foto: Tommy Apriando
Widodo Sunu Nugroho, lurah yang membela warganya dari perampasan lahan oleh TNI-AD. Foto: Tommy Apriando

Konflik muncul di Urutsewu khusus Buluspesantren, Ambal dan Mirit. Di kecamatan-kecamatan itu TN I-AD memagar lahan sepanjang 22,5 kilometer, lebar 500 meter ke arah laut. 
Alasannya, untuk kedaulatan negara alias lokasi latihan militer.
Pemagaran TNI AD dinilai ilegal. Kala pagar legal, status tanah harus jelas dulu. “Itulah alasan petani dan masyarakat pesisir selatan Kebumen menolak pemagaran, meskipun di beberapa desa, pemagaran telah selesai.”

Nasruddin Turiman, warga Desa Kaibon Petangkuran, Kecamatan Ambal, Kebumen, punya cerita. Dia menjadi saksi sejarah kehadiran serdadu di Urutsewu. Dia lahir dan besar di kampung sejak 1942.

Menurut Nasruddin , pada 1972, petani di Desa Petangkuran diminta kumpul di pendopo kelurahan. Di pertemuan itu, TNI mau membeli tanah dan meminjam lahan di Pesisir Urutsewu untuk latihan tembak. Waktu itu, petani usul dan mempertanyakan, bagaimana lahan petani, apakah masih bisa ditanami.

Kala itu, TNI dihadiri Letnan Sardi dari Prembun. Dia menjawab, lahan petani hanya dipakai selama pelatihan. Lahan latihan hanya lima hari sebelum dikerjakan atau sebelum ditanami. Warga sepakat kala itu. Dulu, katanya, petani dapat kabar akan ada latihan perang, hingga relatif aman.

Mekanismenya, TNI akan izin ke lurah, dan perangkat desa menyampaikan informasi kepada warga. “Saiki ngerti-ngerti latihan. Jika dulu latihan setahun sekali, sekarang tidak tahu. Jika terdengar suara tembakan, artinya mereka lagi latihan.”

Lahan pertanian dia juga dirusak TNI untuk pemagaran. Tak ada ganti rugi. Luas sekitar 1.620 meter persegi. Pajak lahan itu selalu dibayar. Nasruddin biasa menanami jagung, cabai dan ketela.

Terhitung melalui peminjaman sebagai tempat pendirian barak, wahana latihan termasuk uji coba alat berat pada 1982 dan pembangunan Dislitbang TNI AD di Desa Setrojenar. 

Kecurangan TNI bertambah, dengan sebuah kontrak tanah tanpa sosialisasi dan persetujuan warga. Atau meminjam tanpa izin atau kerelaan yang memiliki, disertai pemaksaan dan kekerasan warga pemilik sah.

“Kalau tahu mereka akan merampas dan merusak lahan kami, tentu dulu warga tidak kasih izin tentara latihan militer di Urutsewu. Jahat,” ucap Nasruddin.

Komandan Distrik Militer 0709/Kebumen Letnal Kolenel Inf Putra Widyawinaya menanggapi. Menurut dia, pemagaran lahan negara di Urutsewu tetap dilaksanakan. Tahun ini, memasuki tahap kedua delapan kilometer di lima desa.

Aksi penolakan warga terhadap upaya pemagaran yang dilakukan TNI AD di Pesisir Selatan, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Foto: Facebook Sunu Chavez
Aksi penolakan warga terhadap upaya pemagaran yang dilakukan TNI AD di Pesisir Selatan, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Foto: Facebook Sunu Chavez

Dia mengklaim lahan atau daerah latihanTNI-AD, sepa
njang 23 kilometer, selebar 500 meter. Dia berdalih, tanah itu milik TNI sesuai surat Kementerian Keuangan pada 2011. “Bisa dicek di BPN.” Sertifikasi, katanya, masih bertahap.

“Bukti kepemilikan tanah sudah diakui dan disahkan pemerintah. Saya tanya masyarakat buktinya mana? Sampai detik ini saya belum pernah diperlihatkan dalam bentuk asli,” katanya.

TNI-AD, katanya, terus sosialisasi dan mengimbau masyarakat memahami status tanah ini. “Kami tidak melarang apabila ada aspirasi masyarakat menyampaikan kepada TNI AD ada penyalahgunaan lahan di Urutsewu, selama dilakukan dengan cara persuasif, tidak anarkis dan memiliki dasar. Kami hanya mengamankan semua ini. Ada pasukan bukan menakuti tapi untuk mengamankan.”

Putra mempersilakan masyarakat Urutsewu yang memiliki dasar hukum kuat menggugat TNI tanpa harus demonstrasi. Tujuan pemagaran, katanya, membatasi daerah latihan TNI dengan tanah rakyat. Dengan batas itu, jelas prosedur hukum keamanan masyarakat. “Masyarakat boleh menanam setelah dipagar.”

Dia menegaskan, akan menindak tegas siapapun yang berusaha menghalangi, merusak dan menguasai aset TNI AD seperti pagar, batas patok/tugu, tanah dan lain-lain.

Perusakan tanaman petani yang dilakukan TNI menggunakan eksavator. Foto: Facebook Sunu Chavez
Perusakan tanaman petani yang dilakukan TNI menggunakan eksavator. Foto: Facebook Sunu Chavez
***

Matahari bersinar cerah. Suara burung bersahut-sahutan pagi medio September 2015. Anak-anak bersepeda ke sekolah. Seniman, warga Desa Petangkuran, siap mengantarkan anak-anak ke sekolah.

Usai ke sekolah, dia menghadiri pertemuan di Kantor Bupati Kebumen bersama beberapa kepala desa. Ada Kepada Desa Petangkuran dan Wiromartan. Hadir akademisi, DPRD Kebumen, Kodim 0709, BPN Kebumen dan beberapa pihak terkait.

Beberapa dokumen disiapkan untuk memperlihatkan warga Urutsewu ada bukti sah atas lahan yang digunakan TNI untuk latihan militer dan pemagaran.

“Kita bawa dokumen seadanya, tidak kami berikan semua. Kita lihat dulu, bukti apa yang dimiliki TNI,” kata Seniman.

Dia menuturkan, dari dahulu masyarakat Urutsewu hidup sebagai petani. Wilayah Urutsewu, dulu bagian Kerajaan Mataram-Islam. Dalam dokumen kerajaan Mataram-Surakarta, (buku Peter Carey, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855-Jilid 1 (Jakarta: KPG, 2011), disebutkan, wilayah Bagelen diandalkan sebagai pemasok bahan pangan dan dipuja dengan sebutan ‘siti sewu’ atau tanah seribu. Bagi bupati yang memerintah daerah itu, disebut ‘wedana bumi sewu’ (kepala pemerintahan tanah seribu). Salah satu bagian Bagelen yang paling makmur disebut Urutsewu.

Setelah palihan nagari (1755), Urutsewu termasuk Bagelen masuk kekuasaan Keraton Surakarta. Seiring kehancuran VOC, kekuasaan kerajaan Mataram, termasuk seluruh Kebumen berada di bawah pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Dalam peta yang dibuat setelah Perang Diponegoro, melawan Kerajaan Mataram yang bekerjasama dengan penjajah Belanda (1825-1830), tertera kawasan bernama “Oeroetsewoe” yang mencakup seluruh bagian selatan Karesidenan Bagelen.

Pemagaran dilahan pesisir Urutsewu sepanjang 22,5 kilometer yang merusak lahan pertanian warga. Foto: Tommy Apriando
Pemagaran dilahan pesisir Urutsewu sepanjang 22,5 kilometer yang merusak lahan pertanian warga. Foto: Tommy Apriando

Setelah kemerdekaan Indonesia, Urutsewu berada di seantero selatan Cilacap, Kebumen hingga perbatasan Kulonprogo selaku eks-Karesidenan Bagelen. Terkhusus bagi Urutsewu bagian Kebumen, atau Urutsewu Kebumen, meliputi enam kecamatan yakni Klirong, Petanahan, Puring, Buluspesantren, Ambal, dan Mirit.

Berbicara tanah pesisir, dahulu dikenal sistem kepemilikan model gogolan atau kolektif. Bukan berarti digarap bersama petani, namun dikerjakan perorangan baik dipetak-petak atau bergantian. Hasilnya, untuk perorangan pula.

Di Pesisir Urutsewu, para pengguna tanah gogolan (gogol), mendapat hak kuasa tanah komunal ini. Khusus Urutsewu-Kebumen, dikenal istilah kuli– dari bahasa Sansekerta, berarti petani. Gogolan juga sering untuk penggembalaan ternak dan pembuatan garam.

Secara geografis, Urutsewu di Kebumen, pesisir dibatasi muara-muara sungai dengan pantai-pantai kaya pasir besi. Dari segi pertanian, tanah terbukti sangat produktif bagi perekonomian masyarakat berbasis pertanian. Komoditas tumbuh subur mulai semangka, jagung, pepaya, cabai, melon, sayur mayur, sampai bahan makanan pokok seperti padi dan singkong. Sektor peternakan, ada sapi dan kambing dan perikanan, tambak udang tak kalah menggiurkan.

“Potensi kekayaan di Urutsewu menjadi sumber kekuatan ekonomi warga, juga wahana subsistensi kehidupan keluarga petani khas Urutsewu pesisir Kebumen,” kata Seniman.
Potensi lain, katanya, pariwisata, terutama yang memanfaatkan gumuk pasir dan panorama pantai. Pantai juga menyediakan sumber pekerjaan warga sekitar seperti berjualan makanan dan menyewakan fasilitas wisata. Jadi, tuntutan warga agar pemerintah menerapkan konservasi alam, kata Seniman, sebagai upaya perlindungan keragaman hayati seperti plasma nutfah maupun satwa langka bangau hitam dan elang laut.

“Adanya hutan bakau, bagian perlindungan keragaman hayati di pesisir Pantai Urutsewu. Ia penangkal abrasi dan pengurangan dampak tsunami.” Bersambung

Bukti hak tanah warga. Foto: Tommy Apriando
Bukti hak tanah warga. Foto: Tommy Apriando

http://www.mongabay.co.id/2015/11/30/kala-lahan-tani-urutsewu-terlibas-lokasi-latihan-tentara-bagian-1/

Sunday, October 25, 2015

Hama Sepaton, Medi Sawah dan Buto “ogoh-ogoh” Ijo

Ritual Merti Desa dan Ruwat Bumi Urutsewu [25/10] diwarnai aksi teaterikal menarik [Foto: Suyoto] 

Kemunculan beberapa bentuk identivikasi simbolik, seperti medi sawah, hama sepaton dan buto “ogoh-ogoh” ijo, dalam beberapa tahun terakhir; seakan mewakili kesedaran [baca: kecerdasan lokal] petani Urutsewu dalam perlawanannya terhadap perampasan sistematis atas tanah-tanah pesisirnya.  Ada satu lagi sastra tutur lokal berupa anekdot bertajuk “Asu Kudhung Wlulang Macan” dalam khasanah budaya perlawanan agraris yang ikut menandai fenomena pertarungan ekspansi kepentingan modal yang ditandai pertama-tama dengan perampasan tanah; land-grabbing.   

Lahan pertanian pemajekan yang dalam satu dekade terakhir telah berkembang secara mandiri mengawali tradisi industrialisasi pertanian modern ini; terlanggar pemagaran yang dibangun semena-mena oleh tentara. Tak ada upaya mediasi pemerintah cukup berani untuk kasus land-grabbing ini. Berbarengan dengan itu marak pula penetrasi kapital baru yang tak kalah rakusnya, yang muncul lewat menjamurnya pertambakan udang. Penetrasi kapital lainnya dalam bentuk ekspansi tambang pasirbesi, sementara ini; terkunci oleh kuatnya resistensi massarakyat.

Seperti genderang tengah hari yang membangunkan tidur siang, petani Urutsewu mendapati musuh-musuhnya yang tengah membangun basis kekuatan baru di kawasan holtikultur mereka. Munculnya pertambakan udang seperti setan dan asap kemenyan; marak di sepanjang pesisir selatan. Sejak Tritis, Gunungkidul, Parangkusumo, Kulonprogo, Bagelen, di Urutsewu pun marak. Mirit, Lembupurwo, Ambal, Ayamputih, hingga merambah tlatah kulon kali Tanggulangin, Tegalretno, Petanahan, Puring.

Bahkan hingga pesisir Jetis, Nusawungu, Widarapayung di pesisir selatan Cilacap juga. Catatan ekologis krussial atas munculnya tambak udang ini adalah kehancuran zona sabuk hijau konservasi pantai.

Bakar Buto “ogoh-ogoh” Ijo

...muga-muga grandong-grandong, setan-setan yang selama ini mengganggu Urutsewu, ndang musno, muga-muga kula lan panjenengan terbebas dari semua gangguan, ora ngobong buto neng ngobong wong sing ngganggu urutsewu...”

Seusai “mantra” ini dibaca, maka dimulailah prosesi pembakaran “ogoh-ogoh” itu. Memang, ini sebuah aksi perlawanan simbolik petani Urutsewu yang dihelat mengiringi tradisi merti desa dan ruwat bumi di Pesanggrahan Elus pesisir Desa Wiromartan, Mirit [25/10]. Di zona pesisir dimana pernah terjadi peristiwa “serangan berdarah” tentara terhadap petani [22/08] yang memprotes pemagaran pesisir ini; berkumpul ratusan warga yang mengikuti prosesi itu.

Dalam aksi ini, sosok “buto-ijo” atau lebih tepatnya “ogoh-ogoh loreng” memang representasi dari musuhnya para petani. Yakni perwujudan dari golongan yang secara serakah dengan menggunakan kekuasaannya akan merampas dan menguasai asset sosial kaum tani. Sama seperti ungkapan hama sepaton yang muncul dalam aksi-aksi perlawanan massarakyat Urutsewu sebelumnya. Segala jenis hama dan pengganggu petani memang harus “diberantas” dan dihalau. Meskipun perjuangan menghalau musuh ini mengundang resiko berat.

Bentuk perlawanan lain Petani Urutsewu di Hari Tani Nasional 2012 lalu [Foto:USB]

Hal ini juga mengemuka pada aksi Hari Tani Nasional 2012 lalu. Penampakan medi sawah di tepian jalan Daendels merefleksikan perlawanan dengan idiom kearifan lokal yang ada. Ihwal medi sawah yang biasa dipakai petani mengusir pengganggu tanaman di sawah ladang, diboyong ke tepi jalan untuk mengingatkan semua fihak. Bahwa ada yang harus pergi dari lahan-lahan milik petani...

Dan apakah pemerintah memiliki cukup nyali untuk mewujudkan semua itu?