11 October 2019 | Ahmad
Rizky Mardhatillah Umar
TAHUN 2019, Golfrid Siregar –aktivis Wahana Lingkungan
Hidup (Walhi) di Sumatera Utara— meninggal
dunia secara misterius. Ia diduga dibunuh secara terencana di Medan,
menyisakan kecurigaan tentang siapa yang membunuhnya dan bagaimana ia dibunuh.
Tapi kematian Golfrid mengonfirmasi tren yang dicatat oleh beberapa peneliti
dari University of Queensland tentang ‘rantai pasokan
kekerasan’: dalam 15 tahun terakhir, sekitar 1,738 aktivis lingkungan
meninggal dunia. Dari 638 kematian di antara tahun 2014-2017, lebih dari 230 di
antaranya terkait dengan pertambangan dan agribisnis. Tren yang telah
berlangsung secara global namun meningkat selama dua dekade terakhir
Indonesia bukan pengecualian. Di artikel ini saya tidak
akan bercerita bagaimana Islam merespons masalah kapitalisme sumber daya alam;
dalil-dalilnya terlampau sering disampaikan oleh Ustadz-ustadz kita, namun ‘hampa’
di tangan penguasa. Saya ingin merefleksikan sejarah yang sebenarnya dekat
dengan kita – tentang bagaimana orang-orang Islam melawan kapitalisme
pertambangan di abad ke-19. Perang Banjar merefleksikan hal itu.
***
Dalam sejarahnya, Banjar punya dua raja terakhir:
Tamjidillah dan Hidayatullah. Keduanya adalah keturunan dari Sultan Adam, raja
Banjar yang terkenal dengan Undang-Undangnya yang mengodifikasi Islam dalam
Kesultanan Banjar. Penelitian Ita Syamsatiah Ahyat mencatat: Pangeran Tamjid
bukanlah orang yang ditakdirkan jadi Raja Banjar. Pertama, karena
beliau bukanlah putera permaisuri (yang lazim jadi raja). Kedua, karena
wasiat dari Sultan Adam sama sekali tidak menunjuk dirinya jadi raja; yang
ditunjuk justru adalah cucunya, putera dari Sultan Muda Abdurrahman, yaitu
Sultan Hidayatullah.
Singkat cerita, Sultan Adam meninggal dan, sebagaimana
beberapa kali terjadi, menyisakan perdebatan mengenai siapa yang seharusnya
menjadi raja. Politik semakin memanas di Keraton Kayutangi –ibukota Kesultanan
Banjar masa itu.
Pangeran Tamjid, menurut kabar, dekat dengan Belanda.
Keberadaan Belanda di tanah Banjar memang sudah sejak lama. Mereka berdagang
lada (penghasilan utama Kerajaan Banjar) dan baru-baru ini, membuka
pertambangan batubara pertama di Pengaron, tidak terlalu jauh dari Keraton di
Kayutangi. Ya, Batubara pertama kali adalah komoditas dagang Belanda -lambat
laun beliau kemudian berubah pula jadi komoditas politik oleh Belanda.
Belanda memang sudah menapakkan kaki sejak lama. Mereka
mendudukkan residen di Banjarmasin, salah satu kota dagang utama di Kalimantan
Selatan. Banjarmasin memang kota yang cukup besar sebagai Kota Dagang, namun
tidak terlalu jauh dari ibukota Kesultanan Banjar di Kayutangi.
Banyak versi tentang Pangeran Tamjid. Ada yang mengatakan
beliau dekat dengan Belanda dan menjadi salah satu alat untuk mengusahakan
lobi-lobi Belanda di Kayutangi. Ada pula yang mengatakan itu semata karena
perilakunya yang hedonis, membuat Belanda semakin mudah menguasainya. Tapi
satu hal sudah jelas: setelah Sultan Adam meninggal, Pangeran Tamjid punya
kepentingan yang besar di Keraton.
Kompetitor utama beliau adalah Pangeran Hidayatullah.
Beliau putera Sultan Adam yang disembunyikan, begitulah cerita Ita Syamsatiah
Ahyat yang dikutip dari sejarawan Idwar Saleh. Pangeran Hidayatullah tumbuh dan
besar di kampung dan dekat dengan ulama-ulama di Dalam Pagar. Wajar jika
kemudian Hidayat mendapat dukungan besar dari alim ulama ketika beliau datang
ke Keraton di Kayutangi sebagai putera mahkota. Hal yang jelas memecah dukungan
elite-elite istana.
Intrik terjadi. Pangeran Tamjid didukung oleh Belanda dan
Pangeran Hidayat didukung oleh alim ulama dan sebagian kerabat Keraton. Belanda
campur tangan. Melalui lobi-lobi, muncul kesepakatan: Pangeran Tamjid menjadi Sultan
dan Pangeran Hidayatullah menjadi Mangkubumi. Sedikit masalah kini tertutupi,
tapi tidak terselesaikan.
***
Semakin hari, semakin terlihatlah apa maksud dan tujuan
orang-orang Belanda untuk menguasai Keraton di Kayutangi: tanah, lada, dan
tambang. Tiga hal tersebut adalah faktor produksi yang jadi komoditas
perdagangan penting di era Merkantilis. Secara hukum, Kesultanan-lah yang
menguasai tanah-tanah di seantero Kerajaan Banjar (yang konon terbentang hingga
Kotawaringin di Kalimantan Tengah). Belanda punya kepentingan untuk menguasai
tanah guna memperluas eksplorasi tambangnya.
Belanda sudah membuka untuk kali pertama pertambangan di
Kalimantan Selatan pada masa Sultan Adam. Tambang itu diberi nama Oranje
Nassau, terletak di Pengaron. Kepentingan Belanda adalah mendapatkan
konsesi agar bisa menguasai tanah itu tanpa harus dibayang-bayangi oleh
Keraton. Di sisi lain, Belanda juga berkepentingan dengan perdagangan lada,
yang sudah sejak lama jadi komoditas dagangnya.
Hal ini kemudian terjadi pada tahun 1856 (seabad sebelum
berdirinya Provinsi Kalimantan Selatan). Pangeran Hidayatullah, atas tekanan
Belanda, menandatangani konsesi pertambangan di Pengaron dan daerah lain yang
sedang ditambang. Hal tersebut punya banyak konsekuensi. Membuka tambang batubara
sangat jauh berbeda dengan menanam lada. Jika menanam lada bisa dilakukan
sendiri oleh rakyat (walaupun mereka harus memberikan upeti kepada Kesultanan),
membuka tambang berarti membebaskan tanah-tanah lungguh dan membuka
lapangan kerja bagi rakyat untuk mau diupah di pertambangan.
Dari sana, lahirlah politik upah murah: Belanda
membutuhkan rakyat untuk bekerja di pertambangan dengan upah yang hanya cukup
untuk mereka bertahan hidup.
Di sinilah kita bisa melihat : Bermainnya Belanda di
tengah politik Banjar pada masa itu sangat bertalian dengan konsolidasi
kapitalisme di tanah Banjar. Belanda sadar bahwa penghalang mereka untuk
menanamkan modal di usaha pertambangan adalah dikuasainya tanah oleh pihak
Keraton, dan semakin berkembang pertambangan maka Keraton harus semakin
diminimalisir pengaruhnya.
Hal inilah yang tidak disukai oleh Pangeran Hidayatullah.
Meskipun pada awalnya beliau melarang rakyat yang bekerja di wilayah
pertambangan untuk melawan, lama-lama beliau tidak tahan juga. Beliau mulai
lambat-laun memobilisasi kekuatan. Di lain pihak, Sultan terlalu erat dengan
Belanda. Ia, menurut cerita orang-orang tua dulu, sering sekali datang ke
Banjarmasin dan berdansa dengan orang-orang kulit putih. Kondisi yang semakin
melancarkan jalan bagi orang-orang Belanda untuk mengonsolidasikan modalnya di
tanah Banjar.
Singkat cerita, tahun 1859, pecahlah pemberontakan.
Pangeran Antasari, masih kerabat Keraton, bersama dengan Pembakal Ali Akbar dan
orang-orang kepercayaan Pangeran Hidayatullah menyerang tambang Belanda Oranje
Nassau di Pengaron. Sikap ini jelas memercikkan api perlawanan. Belanda, tanpa
tedeng aling-aling lagi, memakzulkan Sultan Tamjidillah dan membuangnya ke
Pulau Jawa. Berkobarlah Perang Banjar.
Perang tersebut memang tak imbang. Belanda akhirnya bisa
menguasai tanah Banjar di awal abad ke-20. Langkah Belanda bisa diduga: mereka
membuka usaha pertambangan lain (salah satunya di Kotabaru) dan residen
bercokol sebagai penguasa di Banjarmasin.
***
Perang Banjar sudah berlangsung lebih seabad silam.
Belanda juga sudah tak ada lagi. Sultan Tamjidillah dan Sultan Hidayatullah
sudah meninggal dunia. Kita menyaksikan abad yang lebih modern, terutama
setelah kemerdekaan Indonesia dideklarasikan dan orang-orang Banjar kini
menjadi penguasa di tanahnya sendiri.
Tapi pola-pola yang tak jauh berbeda kembali
terulang. Orang-Orang Belanda yang membuka pertambangan kini
digantikan oleh orang-orang yang berkongkalikong dengan aparatus negara, yang
membuka usaha di lapangan yang sama. Tidak hanya di tanah Banjar, tetapi juga
di banyak daerah lain. Eksploitasi sumber daya alam dan manusia kembali
berulang, bahkan kini semakin parah dengan kerusakan alam yang luar biasa.
Kita harus mengakui satu hal: ekonomi Indonesia sangat
tergantung dengan sumber daya alam. Pun dengan beberapa daerah yang punya
kekayaan alam sangat melimpah. Sayangnya, sumber daya alam itu tidak
berkelanjutan. Sumber-sumber tambang bisa jadi habis dan menyisakan pertanyaan
tentang apa yang akan dimakan oleh generasi kita di masa depan dan generasi
sesudah kita. Sementara itu, sejarah juga menyatakan bahwa pengelolaan sumber
daya alam semacam itu juga berkelindan dengan kekerasan, perang, dan politik
adu domba.
Padahal Allah sudah menegaskan banyak hal dalam Al-Qur’an
tentang kewajiban
kita menjaga bumi Allah dari kerusakan lingkungan, dan belajar
dari sejarah masa lalu tentang kerusakan lingkuingan yang ada.
Namun, upaya untuk membangun ekonomi yang lebih
berkelanjutan dan lepas dari ‘kutukan sumber daya alam’ semacam itu hanya hadir
pada solusi-solusi yang ada di atas meja. Ketika Komisi Pemberdayaan Korupsi
ingin mengungkap korupsi di sektor-sektor semacam ini –sektor yang sering
dianggap “basah” karena menghasilkan uang banyak—ia malah dianggap oleh
penguasa “menghambat
investasi” dan dipreteli kewenangannya, hingga memicu gelombang protes
dan demonstrasi.
Pada titik inilah, sejatinya, kita mungkin perlu
berefleksi. Dalam banyak hal, sejarah kolonialisme Belanda adalah sejarah
perampasan lahan untuk kepentingan industri ekstraktif yang tidak banyak “mengalir”
pada rakyat kecil. Pertanyaan kritis perlu kita ajukan di masa kini dan ke
depannya: apakah mau meneruskan warisan kolonial ini, atau mungkin perlu
memikirkan alternatif untuk lepas dari jerat kapitalisme pertambangan di masa
depan.
Wallahu a’lam bish shawwab.
***
0 comments:
Post a Comment