09/20/2019
Oleh:Persma
Poros
Persoalan konflik agraria di Urut Sewu, Kebumen, mestinya
menjadi isu yang diperdebatkan dalam skala nasional. Bagaimana tidak, isu yang
muncul sejak sebelum kemerdekaan Republik Indonesia (RI) sampai saat ini belum
ada penyelesaian. Maka, ketika persoalan di Urut Sewu menjadi isu nasional,
diharapkan dapat diurai dan dibongkar akar masalah dan
penyelesaian. Sekaligus, masyarakat luas mengerti kondisi negara saat ini:
tidak sedang baik-baik saja.
Konflik agraria di Urut Sewu kembali pecah pada Rabu (11/9),
antara warga Urut Sewu, Bercong, pesisir selatan Kebumen dengan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD) dari Kodim 0709/Kebumen dan
Batalyon Infanteri 403/ Wirasada Pratista Yogyakarta. Hal ini dipicu adanya
pengklaiman secara sepihak dan pemagaran oleh TNI AD atas tanah warga seluas
500 meter dari bibir pantai dan panjang 22,5 kilometer.
Kejadian ini terjadi saat warga berusaha menghalangi
proses pemagaran yang dilakukan oleh TNI AD. Bukan hanya itu, beredar di media
sosial, bahwa ada tindakan biadab dan kejam dari Aparat, dalam hal ini TNI AD,
yang memukul, menggebuk, menginjak, dan menembak warga dengan peluru karet.
Perlakuan tersebut jelas bertolak belakang dari tugas TNI AD yang harusnya
melindungi dan mengayomi rakyat, bukannya menindas dan
mempersekusinya. Dalam peristiwa ini ada 16 warga terluka dan sempat
dibawa ke puskesmas untuk dilakukan visum.
Peristiwa ini seperti mengulang kejadian di tahun 2011.
Dikutip dari tirto.id, pada 2011, tujuh
orang ditembak TNI, 13 luka-luka, dan 12 motor rusak. Warga juga ada yang
ditangkap dan dijadikan tersangka pengrusakan gardu milik TNI. Kemudian pada
2015, 17 orang terluka. Bahkan, ketika saya ke Urut Sewu untuk bertemu
dengan kawan-kawan di sana.
Konflik semacam ini muncul karena adanya
perampasan-perampasan lahan dan ruang hidup warga untuk pembangunan,
perkebunan, pertambangan hingga penguasaan oleh lembaga negara.
Dilansir dari inews.id,
Ketua Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS), Seniman Marto Dikromo
mengatakan sejak tahun 2011, FPPKS berjuang agar apa yang menjadi hak warga
dikembalikan. Tanah yang selama ini menjadi sumber penghidupan dan aktivitas
warga di kawasan pesisir selatan Urut Sewu diklaim menjadi milik negara, dalam
hal ini TNI AD.
Menurutnya, berawal dari izin menggunakan tempat untuk
latihan uji coba senjata, sejak tahun 1982, TNI AD perlahan tidak menghormati
petani sebagai pemilik tanah.
Ketika saya di Urut Sewu pada Sabtu (14/09), pemagaran
yang dilakukan TNI AD, dari 22,5 kilometer, hanya tersisa lima kilometer yang
belum dieksekusi. Sebab, bentrok antaran warga dan TNI AD pada Rabu (11/09),
Bupati Kebumen menginstruksikan untuk memberhentikan pemagaran dan menarik alat
berat. Meski demikian, Minggu (15/09) alat berat masih terlihat tidak jauh dari
lokasi bentrok. Artinya, ada kemungkinan pemagaran akan kembali dilakukan oleh
pihak TNI-AD.
Sebenarnya, konflik di Urut Sewu hanyalah satu dari
banyaknya konflik agraria di Indonesia. Didapat dari Mongabay.co.id,
data KPA, dalam periode Jokowi-Jusuf Kalla, terekam 1.769 kasus agraria dengan
menewaskan 41 orang, 51 tertembak, 546 dianiaya, sekitar 940 petani dan aktivis
dikriminalisasi. Hebat bukan rezim saat ini?
Semua yang saya urai di atas bertentangan dengan semangat
reformasi dan Nawa Cita yang di usung Pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla. Poin
yang tidak sejalan paling kentara adalah pada poin satu yang berbunyi:
Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap
bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar
negeri bebas aktif, keamanan nasional yang tepercaya dan pembangunan pertahanan
negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat
jati diri sebagai negara maritim.
Ditambah pula dengan Rancangan Undang-Undang (UU)
Pertanahan yang baru bertolak belakang dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Rancangan UU Pertahanan ini
semakin cetho welo-welo, bahwa
UU ini dibuat untuk kepentingan pemilik modal dan korporasi yang tidak menutup
kemungkinan akan mengeksploitasi dan menindas rakyat.
Didapat dari Koran Kompas Edisi Senin, 16 September 2019,
Rancangan UU Pertanahan antara lain:
1. Mengahapus
hukum adat sebagai dasar pengaturan penguasaan, pemilikan, dan penggunaan
lahan.
2. Mereduksi
makna “wilayah” pada hak ulayat masyarakat hukum adat atas tanahnya menjadi
hanya ruang lingkupnya pada Kawasan non-hutan (pasal 6). Hak atas tanah tidak
dapat diberikan di atas tanah ulayat secara langsung.
3. Di
atas tanah Hak Pengelolaan (HPL) dan Hak Milik (HM) dapat diberikan Hak Guna
Usaha (HGU) (Pasal 23 Ayat 2): menyamakan kedudukan tanah negara, tanah HPL,
dan tanah HM.
4. Memberikan
kemudahan bagi yang kuat posisi tawarnya dan tidak memberikan keadilan yang
seimbang bagi pihak yang lemah posisi tawarnya melalui pengaturan tentang HGU
(Pasal 23-27).
5. Manipulasi
definisi Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) (Pasal 1 Butir 8 RUUP) yang
menyebabkan HMSRS bisa diberikan kepada (Warga Negara Asing (WNA) yang
benar-benar berstatus Hak Guna Bangunan (HGB).
6. Mengakui
tanah bekas milik adat dan didaftar melalui penegasan/pengakuan hak (Pasal 20
Ayat 4). Tetapi RUUP juga mengatur kalau tanah tersebut tidak didaftar dalam
jangka waktu 2 tahun akan didaftarkan berdasarkan pemberian hak-artinya
dianggap sebagai tanah negara (Pasal 101).
7. Mengusulkan
pengadilan pertahanan (Pasal 81), tetapi tidak menganggap penting dibentuknya
Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria yang bersifat independen.
Sekarang, kita mengerti bahwa rasa aman, nyaman dan
kehangatan bernegara tidak lagi dijamin oleh negara. Saat ini, kita sesama
orang-orang kecil yang ditindas, dirampas dan diperlakukan tidak adil oleh
negara harus saling membantu, berupaya mengamankan satu sama lain dan
memberikan pengayoman dan kasih sayang. Sebab, fungsi negara bukan lagi
melindungi dan mengayomi, tapi menakut-nakuti dengan cara yang menakutkan pula.
Warga Urut Sewu, Kendeng, Kulon Progo dan daerah-daerah
yang dimarjinalkan sekaligus dikriminalisasi adalah kawan-kawan kita yang butuh
perlindungan dan bantuan dari kedunguan nasional dan kepongahan korporasi elit
internasional.
Penulis : Adil, Mahasiswa
PBSI
0 comments:
Post a Comment