Penulis: Wida | Editor: Khumairoh
©Rizky
Ramadhika/BAL
Konflik agraria di wilayah Urutsewu menjadi topik kuliah
umum di Departemen Politik Pemerintahan (DPP) . Dalam acara ini menghadirkan
Widodo Sunu Nugroho, S.P selaku kepala desa Wiromartan, Kecamatan Mirit,
Kabupaten Kebumen. Kuliah umum yang berbentuk diskusi ini dimoderatori oleh
Ashari Cahyo Edi, S. Ip., MAP selaku dosen mata kuliah Politik dan Pemerintahan
Desa. Widodo Sunu Nugroho atau yang akrab disapa Sunu ini mempresentasikan
judul “Pemerintah Desa dalam Pusaran Konflik Urutsewu” pada kuliah umum yang
diadakan di ruang BA 205 FISIPOL, Rabu, (22-11).
Sunu
mengatakan bahwa kawasan Urutsewu pernah disebut-sebut memiliki tambang pasir
besi yang potensial. Namun, pada tahun 2008 TNI memberikan surat izin
eksplorasi kepada pihak swasta untuk membangun pabrik pengolahan pasir besi.
Hal tersebut yang menjadikan konflik antara petani dan TNI yang berkepanjangan
hingga meletup kembali pada 22 Agustus 2015.
Konflik
yang disebut sebagai tragedi Wiromartan ini dikemas dalam sebuah film
dokumenter yang menampilkan kekerasan terhadap petani. Sebelumnya pernah
terjadi hal serupa pada tahun 2011 yang mengakibatkan satu petani tewas akibat
tembakan dari TNI.
Konflik yang berlarut-larut
tersebut dikarenakan tidak adanya bukti tertulis berupa sertifikat kepemilikan
tanah oleh TNI.
Selain
itu, pengakuan terhadap kewenangan desa serta perlindungan dari supra desa
kepada masyarakatnya masih lemah.
“Yang terjadi di Urutsewu bukanlah sengketa agraria, melainkan perampasan tanah,” ungkap Sunu.
Apabila
konflik ini merupakan sengketa maka seharusnya kedua pihak memiliki bukti
kepemilikan tanah. Namun pada kenyataannya desa
di Urutsewu memiliki bukti yang kuat berupa Letter C dan sertifikat hak milik
yang sudah dicek kembali ke Badan Pertanahan Nasional.
Sedangkan
pihak TNI tidak memiliki dokumen lengkap kecuali peta yang dibuat secara
sepihak mengenai batas tanah TNI dan warga.
Tidak
hanya pemaparan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh TNI, tetapi diskusi ini
juga mendapat tanggapan dari Devy Dhian, alumni S1 DPP yang menulis
skripsi mengenai konflik ini. Menurutnya, peran warga dalam proses perlawanan ini merupakan hasil
dari adanya kesadaran warga untuk memperjuangkan tanahnya.
Devy menambahkan “TNI sepertinya membutuhkan tanah ini untuk mencari keuntungan materi, sebab tanah tersebut memiliki potensi sebagai lahan bisnis yang menggiurkan. Sehingga tanah ini tidak hanya digunakan untuk kepentingan pertahahan dan keamanan.”
Luthfian Haekal, mahasiswa DPP’15 menguatkan
argumen Devy bahwa TNI akan selalu terlibat dalam konflik agraria,
“Terlebih ada dana desa yang diawasi oleh militer. Menurut saya, konflik Urutsewu itu masalah tambang pasir besi dan klaim sepihak TNI versus masyarakat,” tambahnya.
Berbagai
upaya dilakukan warga untuk mengentaskan konflik sengketa tanah di wilayah
mereka.
“Saat ini warga Urutsewu dan TNI sedang mengalami gencatan senjata dan upaya mediasi masih diusahakan,” tutur Sunu.
Harapan
Sunu adalah akan adanya pihak yang mampu menjahit kepentingan seluruh
warga desa sehingga apabila kepentingan ini dijadikan satu akan menciptakan
perjuangan yang lebih langgeng.
Mengamini harapan Sunu, Ashari menambahkan, “Desa sebagai saringan terakhir keamanan dan pertahanan negara, sehingga usaha menjalankan demokrasi negara seharusnya diikuti oleh seluruh komponen masyarakat.” pungkasnya.Sumber: BalairungPress
0 comments:
Post a Comment