Puluhan tahun perebutan klaim tanah antara warga sipil dan militer terjadi di pesisir selatan Kebumen. Puncaknya perlawanan warga dihadapi militer dengan senjata.
PADA tengah hari Sabtu, 16 April 2011, suara tembakan berdesing dari satu tempat di dekat tangsi militer.
Saat itu Siti Khotijah di rumah bersama putrinya yang berumur setahun. Dentum meriam memang sering terdengar oleh warga Desa Setrojenar tempat tentara-tentara dari Kodam IV/Diponegoro rutin menggelar latihan perang. Tapi suara letusan senapan bukanlah sesuatu yang biasa.
Suara itu membuat Khotijah cemas karena putra sulungnya, masih kelas lima sekolah dasar, tidak di rumah. Ia segera mencari. Yang terlintas dalam benaknya, barangkali si sulung tengah main ke rumah orangtua Khotijah yang terletak di selatan tangsi militer.
Sementara, pada saat bersamaan, Siti Khotijatun, yang kediamannya berselang lima rumah dari Siti Khotijah, tetap melanjutkan pekerjaan rumah setelah letusan senapan itu terdengar. Namun segera sesudahnya, ia mendengar ada keramaian di jalan. Ia keluar. Rasa panik menyergap seiring teringat suaminya, Imam Zuhdi, yang pergi sejak siang. Kepanikannya memudar selepas dhuhur saat melihat suaminya pulang untuk salat di musala di pekarangan rumah.
Adapun Sri Handayani tak mendengar letusan itu karena desanya, Kaibon Petangkuran, terletak 5 kilometer dari Setrojenar. Sore harinya, selepas pulang mengajar anak-anak usia dini di balai desa, barulah ia mendapat kabar dari tetangga: ada huru-hara di Setrojenar.
Khotijah melihat huru-hara itu. Ketika mencari anak sulung di rumah orangtuanya, ia menyaksikan sekelompok tentara menggusah para petani sambil mengokang senjata. Suara tembakan itu datang dari sini. Hatinya makin jeri karena ia tak menemukan si sulung. Saat berlari pulang, rupanya si anak sudah di halaman rumah. Namun ia sama sekali tak terpikir tentang suaminya, Solekhan.
Sekitar pukul 11, sebelum terjadi tembakan, Solekhan pergi bersama Imam Zuhdi. Hari itu sejumlah warga Setrojenar berziarah ke makam desa. Suami Sri Handayani, Seniman Martodikromo, juga ikut dalam rombongan ziarah. Tetapi Sri Handayani tidak tahu tentang itu. Sebelum ia berangkat mengajar, memang ada empat orang intelijen dari Polres Kebumen datang ke rumah menemui Seniman. Sri Handayani merasa biasa saja karena, belakangan ini, rumah mereka sering kedatangan tamu. Sembari membuat teh, ia mendengar pertanyaan tentang ziarah.
Berjam-jam kemudian Khotijah mengkhawatirkan Solekhan. Ia mengirim pesan pendek. Kata suaminya, ia terlibat huru-hara siang itu dan lari ke Desa Ayam Putih. Karena Khotijah menyuruhnya pulang, Solekhan kembali ke Setrojenar sore itu. Namun, selepas magrib, mereka mendengar desas-desus akan ada sweeping oleh tentara. Sekira pukul 7 malam Solekhan mengungsi ke rumah abangnya di Desa Waluyo. Suami-suami lain juga meninggalkan istri mereka. Kaum ibu yang ketakutan lantas berkumpul di musala di depan rumah Khotijatun. Khotijatun turut bergabung. Suaminya pergi lagi sejak sore.
Di rumahnya, lepas magrib, Sri Handayani menerima pesan singkat dari suaminya, “Alhamdulillah, aku aman, Bu.” Sri Handayani membalas, “Maksudnya apa, Pak?” Lewat pesan pendek, Seniman minta Sri Handayani untuk tidak menghubungi lagi. Kendati bingung, ia pun menuruti. Sri Handayani melewati malam itu di rumah bersama tiga anaknya yang masih balita dan ibu mertua yang tengah sakit. Tak terlintas dalam benaknya bahwa hal buruk sedang menimpa suaminya.
Solekhan, Imam Zuhdi, dan Seniman tidak pulang hingga besok pagi. Malam itu tidak terjadi penyisiran.
Tujuh hari sebelumnya, enam buah meriam Howitzer KH-178 kaliber 105 mm terlihat dibawa ke Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI AD, sebuah bangunan hijau besar berhalaman luas, dikelikingi pagar, dengan posko penjaga di pintu masuk. Properti ini bersebelahan dengan lapangan Desa Setrojenar, sekira 500 meter dari pantai. Warga biasa menyebutnya sebagai “tangsi.” Meriam buatan Korea Selatan itu menandakan akan ada latihan senjata dalam waktu dekat. Padahal, selama Januari-Maret 2011, persoalan klaim tanah antara warga dan militer di Urutsewu dalam ketegangan tinggi. Latihan senjata sewaktu-waktu bisa memanaskan suasana.
Pada 11 April, warga Setrojenar berdemonstrasi di halaman tangsi. Demo dikoordinatori Imam Zuhdi, kiai Desa Setrojenar, tokoh perlawanan di desa itu. Pendemo membakar ban, membuat blokade di jalan-jalan menuju tangsi, memasang spanduk protes, dan mengepung tangsi. Warga dari Kecamatan Ambal yang membawa makanan untuk tentara dihadang dan dipukuli. Dari dalam tangsi, tentara siaga dengan senapan di tangan. Kedua pihak siap bentrok.
Namun, pada malam hari, terjadi mediasi antara warga, diwakili organisasi Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan, dan Panglima Kodam IV/Diponegoro Mayjen Langgeng Sulistiyono. Forum Paguyuban Petani adalah organisasi masyarakat yang diketuai Seniman Martodikromo. Pihak penengah adalah asisten sekda Kebumen Adi Pandoyo. Kapolda Jawa Tengah, Inspektur Jenderal Edward Aritonang, juga hadir di sana. Mediasi memutuskan akan ada musyawarah dalam dua minggu ke depan dan, selama itu, tentara dilarang latihan senjata di Urutsewu. Pengepungan bubar. Spanduk dan blokade dibiarkan terpasang oleh warga.
Pada 15 April malam, warga desa mendengar kabar kalau tentara-tentara tetap menggelar latihan dengan enam meriam tersebut. Lokasinya berpindah dari Setrojenar ke Kenoyojayan. Ini melanggar hasil mediasi. Malam itu juga sejumlah warga Setrojenar dan pegiat Forum Paguyuban Petani merapat. Mereka memutuskan untuk aksi esok hari dengan berziarah ke makam lima anak yang tewas pada Maret 1997. Kelimanya meninggal setelah sebuah mortir yang mereka temukan di ladang meledak karena dipukul-pukul. Mortir itu sisa latihan senjata yang luput dibersihkan.
Ziarah dimulai sekira pukul 11 siang. Sekitar 30 orang, termasuk perempuan, turut hadir. Dalam sebuah rekaman yang dibuat Paryanto, anggota Forum Paguyuban Petani dari warga Setrojenar, tampak Imam Zuhdi memimpin doa. Yang lain mengenakan pakaian ladang, duduk atau berjongkok, mengelilingi lima kuburan tanpa nisan bertanda batu.
Solekhan duduk di samping Imam, sebuah caping tersandar di dekat punggungnya. Istrinya, Siti Khotijah, tak ikut karena menjaga si bungsu. Sementara Seniman Martodkiromo duduk di belakang Imam. Empat intel dari Polres Kebumen yang bertandang ke rumah Seniman pada pagi hari turut mengekor ke kuburan. Orang-orang menyadari kehadiran mereka tapi tak mengindahkan. Doa selesai saat seseorang menyampaikan kabar dari pesan pendek bahwa tentara-tentara tangsi baru saja mencopoti spanduk dan membongkar blokade jalan.
Tiga dari enam kecamatan itu punya kesamaan sejarah. Sejak 1937, Ambal, Buluspesantren, dan Mirit adalah tempat latihan perang. Melewati tiga fase: kolonial Belanda, pemerintahan militer Jepang, dan tentara republik. Ada 75 desa di tiga kecamatan itu, tetapi yang bersinggungan langsung dengan latihan perang hanya 15 desa, letaknya berderet di pesisir selatan.
Tentara Angkatan Darat mulai datang ke Urutsewu pada 1960-an untuk latihan senjata. Pada 1982, mereka membangun gedung Dislitbang di Desa Setrojenar. Mereka membeli tanah dari pemerintah desa. Saat menggelar latihan, militer selalu menyampaikan surat izin pemakaian lahan kepada pemerintah desa walau kemudian tak dilakukan lagi.
Latihan senjata mulai jadi bibit perseteruan pada 1997 sewaktu lima anak tewas akibat mortir sisa latihan di ladang warga. Setahun kemudian, seorang prajurit bernama Sersan Mayor Hartono mulai mengukur tanah dan membuat peta area latihan. Hasilnya mengejutkan warga: lahan dalam peta dinamai “Tanah TNI-AD” sepanjang 22,5 kilometer dan lebar 500 meter dari bibir pantai ke daratan. Luasan ini setara 1.125 hektar, memanjang dari Sungai Lok Ulo di barat hingga Sungai Wawar di timur. Klaim “tanah TNI-AD” ini dimiliki pula warga desa sebagai lahan pertanian.
Kehadiran TNI AD di Urutsewu pada 1960-an, yang menikmati kedudukan istimewa selama rezim Soeharto termasuk dengan mengklaim tanah untuk latihan persenjataan di tengah lahan pertanian warga—dalam perkembangannya memuluskan proyek jalan raya pada 2007 dan tambang pasir besi pada 2008. Perselisihan lahan memuncak dengan kekerasan bersenjata pada 2011.
Klaim itu, dalam perkembangannya, memuluskan proyek Jaringan Jalan Lintas Selatan pada 2007. Klaim tanah selebar 500 meter dinaikkan jadi 750-1.000 meter dan ditandai patok dari cor semen bertuliskan “TNI AD”. Patok dipasang sepanjang 22,5 km. Karena proyek jalan itu melewati kawasan antara 500-1.000 meter dari pesisir, Pangdam IV/Diponegoro mengirim surat permintaan ganti rugi atas “Tanah TNI AD” kepada gubernur Jawa Tengah. Ganti rugi itu dikabulkan.
Klaim itu mengabaikan hak milik warga, secara individual maupun masyarakat. Menurut Widodo Sunu Nugroho, Kepala Desa Wiromartan saat ini, pada 2014 otoritas TNI AD bahkan meminta warga yang mengklaim tanah untuk menunjukkan sertifikat. Bila tak dapat membuktikan, tanah itu serta merta jadi milik tentara.
Padahal, “Sertifikat itu tahap akhir untuk menunjukkan hak milik yang dikeluarkan oleh BPN (Badan Pertanahan Negara),” kata Ahmad Nashih Luthfi, dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional di Yogyakarta yang meneliti status tanah Urutsewu.
Selain sertifikat, ada bukti kepemilikan lain seperti Surat Keterangan Tanah, Letter C, maupun keterangan dari kepala desa. “Masyarakat tidak peduli punya surat (sertifikat) atau tidak. Tapi yang paling kuat itu sertifikat oleh BPN. Tapi (tidak memiliki sertifikat) bukan berarti tidak punya bukti,” ujar Luthfi.
Di masa lalu, tidak semua tanah pesisir Urutsewu bersertifikat. Ini karena konsepcommunaal individueel bezit, yakni tanah milik komunal yang dikerjakan individu dan hasilnya dimiliki individu itu, atau dinamakan tanah gogolan. Adapula disebut tanahyasan, dimiliki bukan dari hasil pembelian melainkan dari membuka lahan. Di atas tanah pesisir itu berkembang pertanian hortikultura, pertanian garam, dan peternakan.
Model kepemilikan itu berubah setelah ada pengaturan administrasi di bawah sistem regulasi agraria kolonial. Salah satu yang mencolok, pemerintah kolonial mengatur tanah selebar 150-200 meter dari bibir pantai ke darat menjadi milik negara. Penandanya berupa patok, yang penamaannya berbeda di tiap desa. Warga Desa Setrojenar menyebutnya pal budheg, artinya tonggak yang tak perlu dihiraukan, sebagai bahasa perlawanan yang memandang areal tanah mereka dari daratan hingga batas laut.
Pada 24 September 1960 pemerintah Sukarno mengesahkan Undang-Undang Pokok Agraria. Dari aturan terbaru itu para pemilik tanah di Urutsewu ramai-ramai mengajukan ke Departemen Agraria untuk dibuat sertifikat. UUPA berperan mencabut hak “domein verklaring,” penguasaan negara secara otomatis atas tanah tanpa hak milik, satu aturan dari warisan hukum kolonial. UUPA, pendek kata, menguatkan hak individu atas tanah.
Namun, pergantian kekuasan dari Sukarno ke Soeharto lewat pembantaian massal sejak 1965 mengacaukan sumbangsih terbaik dari UUPA. Belied yang didukung Partai Komunis Indonesia itu secara otomatis distigma buruk seiring rezim baru yang membunuh ratusan ribu orang yang dituduh atau dianggap simpatisan komunis, diikuti pula pemenjaraan puluhan ribu orang. Ini berimbas pula pada warga di Urutsewu. Mereka takut mengakui sertifikat dari hasil UUPA.
Selama pemerintahan Soeharto, militer menikmati keistimewaan, dari jabatan publik hingga kepemilikan bisnis. Di Urutsewu, sejak ada klaim tanah oleh tentara pada 1998, muncul perlawanan kendati masih terpecah. Warga Desa Setrojenar yang paling sengit melawan, selain desa ini menjadi pusat latihan militer juga lokasi tangsi. Pada 2006, beberapa organisasi di Kecamatan Ambal dan Buluspesantren menyatu dalam Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan.
Sementara warga Desa Wiromartan di Kecamatan Mirit, satu dari tiga kecamatan yang terimbas konflik lahan, tak pernah mendengar bunyi dentuman meriam dari Setrojenar. Sentimen perlawanan dari desa ini muncul pada 2008 saat ada rencana tambang pasir besi. Otoritas Kebumen memberikan izin eksplorasi pasir besi kepada PT Mitra Niagatama Cemerlang. Lokasinya di enam desa pesisir di Kecamatan Mirit, termasuk Desa Wiromartan. Menurut Masagus Herunoto dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kebumen, izin tambang ini membutuhkan rekomendasi Pangdam Diponegoro—dengan kata lain, menunjukkan sikap pemerintah yang menilai militer berkuasa atas tanah pesisir Urutsewu.
Izin tambang untuk PT Mitra ditengarai ada faktor koneksi. Komisaris PT Mitra adalah Mayjen (Purn) Rianzi Julidar, alumni Akademi Militer tahun 1973, seangkatan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat persetujuan diteken oleh Kasad Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo dan Pangdam IV/Diponegoro Mayjen Haryadi Soetanto, pada 2008, Rianzi menjabat sebagai koordinator staf ahli Kasad. Izin macam ini tak diketahui secara terbuka. Warga Urutsewu belakangan mengetahui keterlibatan militer dalam proses izin itu dari Devy Dhian Cahyati, mahasiswi Universitas Indonesia yang meneliti kasus itu pada 2011.
Dari sana, warga mengajukan protes dengan melakukan demonstrasi di kantor legistalif daerah. Ia juga melahirkan organisasi perlawanan di Kecamatan Mirit bernama Forum Masyarakat Mirit Selatan. Organisasi ini, bersama Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan, memotori penolakan tambang dengan melakukan demo dan desakan bertemu dengan bupati dan politisi daerah. Sementara advokasi itu terus jalan, di sisi lain, eksplorasi tambang juga terus jalan.
Warga Urutsewu kian terdesak dari sisi regulasi sesudah para politisi dan pemerintah daerah mengatur apa yang disebut “rencana tata ruang dan wilayah”—biasa disingkat RTRW—untuk daerah Kebumen periode 2011-2031. Salah satu poinnya, menetapkan Urutsewu sebagai kawasan pertahanan dan keamanan. Ia juga mencantumkan Kecamatan Ambal, Buluspesantren, dan Mirit sebagai wilayah penambangan pasir besi. Konsep itu bertubrukan dengan aturan serupa di tingkat provinsi Jawa Tengah yang menetapkan kawasan pantai selatan sebagai daerah rawan tsunami. Artinya, gumuk pasir—sumberdaya alam di Urutsewu—merupakan salah satu pengurang risiko tsunami.
Perda yang mengatur tata ruang dan wilayah itu disahkan pada 2012. Sebaliknya, izin eksploitasi sudah diteken pada Januari 2011. Warga menanggapinya dengan amarah. Alat-alat berat tambang yang datang ke Wiromartan dan Lembupurwo disegel. Saat perda disahkan, warga berdemonstrasi ke kantor dewan.
Imam Zuhdi mengatakan “masyarakat terusik dan merasa tanahnya diklaim” sejak ada pemetaan tanah diiringi patok cor oleh militer. Ini menunjukkan perubahan pola relasi antara warga dan tentara yang sebelumnya memandang tanah itu sebagai milik bersama: yang bertani tetap bertani namun, pada waktu tertentu, tentara bisa memakainya untuk latihan.
“Kalau mau latihan cukup pakai bendera merah atau bambu. Ini kenapa dipatok?” kata Imam Zuhdi.
Ditambah lagi, ujar Imam, Pangdam Diponegoro mengancam dengan kalimat yang samar bahwa “TNI akan bertindak bila warga bertindak.”
Pada Juli 2009, Bupati Kebumen Mohammad Nashiruddin Al Mansyur mengatakan, selama urusan kepemilikan tanah belum jelas, jangan ada latihan alutsista.
“Tapi (TNI) tetap latihan,” ujar Imam.
Puncaknya, kedatangan enam meriam ke Setrojenar pada 9 April 2011. Itu ditentang warga lewat aksi penolakan terbuka dua hari kemudian dengan memasang spanduk dan blokade jalan. Tentara merespons dengan mencabut dan membongkarnya pada 16 April. Ini mendidihkan amarah.
Sementara Solekhan terlihat di tengah massa, Imam Zuhdi memerhatikan dan pergi ke warung kopi terdekat. Adapun Seniman Martodikromo hanya melihat sebentar, lantas pergi ke rumah Sarmo, dipisahkan lapangan dari tangsi, dan duduk sebentar bersama kaum pria di teras.
Massa yang menyusun blokade lantas bergerak ke utara untuk melihat blokade dan titik spanduk lain. Solekhan turut dalam rombongan ini. Mereka bergerak hingga ke gapura di dekat kantor Kecamatan Buluspesantren. Gapura itu dibangun tentara-tentara Angkatan Darat. Solekhan, mungkin didorong arus massa, mungkin pula digerakkan amarah yang menumpuk, menyaksikan gapura itu dirobohkan dan ia pun terlibat sebagai eksekutor yang mengayunkan kapak ke tiang besi gapura. Semua ini terjadi begitu saja, tanpa rencana.
“Letusan pertama terdengar. Senapan-senapan lain menyalak. Hujan peluru karet. Orang-orang panik. Berlari. Tentara menyergap. Memukul.”
Beberapa orang merekam peristiwa itu, termasuk Paryanto dari Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan dan para intel dari kepolisian dan Kodim. Setelah gapura roboh, massa bergerak kembali ke selatan, melewati tangsi, menuju gudang mesiu yang terbengkalai. Di sana, massa meruntuhkan atap. Tak lama kemudian warga mendapat kabar: ada rombongan tentara bersenjata datang dari utara menuju posisi mereka.
Solekhan ingat bagian itu. Ada yang bicara untuk tidak takut dengan tentara. “Sekarang sudah ada HAM, tidak mungkin tentara akan menembak warga,” kata orang itu.
Kata-kata itu melenyapkan kegentaran mereka. Massa bergerak ke utara, menyongsong arah kedatangan tentara. Di satu titik tempat blokade, mereka berhenti, terdiam memandang barisan tentara berbanjar empat di kejauhan. Seorang saksimata melihat intel yang mengikuti mereka, dibonceng di atas sepedamotor, melewatinya sambil mengibarkan sapu tangan putih.
Mendadak letusan pertama terdengar. Tembakan itu datang dari arah barat. Itulah yang membuat warga yakin mereka dikepung.
Senapan-senapan lain menyalak. Hujan peluru karet. Orang-orang panik. Berlari. Tentara menyergap. Memukul.
Seorang kakek tergeletak pingsan di sekeliling tentara. Darah menggenang. Seorang saksimata menghampirinya, mengelap darah dari kepala si kakek. Ia berteriak kepada tentara-tentara di sekitar, “Panggil ambulans! Kalau dia sampai mati, kalian melanggar HAM!” Belakangan, kakek itu bukan bagian dari massa, ia kena gebuk sepulang dari menyadap nira yang, pada saat kebetulan, melintasi jalan titik kejadian penembakan.
Solekhan ikut kena gebuk. Ia lari menjauh hingga ke desa tetangga. Sementara Imam Zuhdi dan warga lain, yang duduk di warung dekat tangsi, ikut digeruduk tentara. Mereka semua berhamburan. Imam lari ke rumah dan salat di musala.
Seniman Martodikromo dan orang-orang di teras rumah Sarmo juga tak luput dari amukan tentara. Ia sempat melihat rombongan tentara dari utara menuju selatan, ke arah rumah mesiu, tapi tak menyangka bakal terjadi bentrok fisik. Sebagian dari tentara itu berbalik, termasuk menghampiri rumah Sarmo. Tanpa introduksi, seorang tentara menghantam bahu Seniman dengan popor, lalu memukulnya dengan pentungan. Sarmo juga dipukul dengan pentungan di kepalanya.
Seorang tentara lain mengokang senapan ke atas. Lalu moncongnya diturunkan. Mengarah pada Seniman.
Ia memucat. Rasa gentar menyerbu dirinya. Dengan gemetar, ia mengangkat kedua tangan. Aku akan mati, batinnya.
Senapan itu menyalak. Sebuah peluru melesat. Menembus kopiah hingga terpental. Ia melihat dirinya tak terluka. Tentara itu berlalu.
Seniman lemas setengah mati. Melihat Sarmo tergeletak, bersama empat orang lain, ia mengangkat tubuh itu ke dalam rumah.
Bersama beberapa orang, Seniman bersembunyi di bawah ranjang di dalam rumah Tukir. Kabarnya, tentara-tentara itu mencari Seniman. Di rumah Kiai Dolah, tentara memberondongkan peluru dan mendobrak pintu, lalu berbalik pergi.
Tapi tentara-tentara itu datang lagi. Seniman mendengar tembakan. Di rumah lain, tentara menembaki kasur-kasur. Istri Tukir sigap menyembunyikan Seniman di bawah rak piring, ditutupi tumpukan ikatan padi. Ketika tentara memasuki rumah, istri Tukir menyergah, “Tidak ada orang di sini!”
Peristiwa itu terjadi selepas dhuhur. Sekira pukul 2 siang, sejumlah warga ditangkap dan digelandang ke tangsi. Beberapa warga diangkut dengan truk. Sebagian diinterogasi di tangsi. Letusan senapan masih terdengar hingga magrib.
Kodam Diponegoro mengerahkan kekuatan berlebihan melalui serdadu-serdadu dari Yonif 403/Yogyakarta untuk menghadapi demonstran petani Urutsewu pada 16 April 2011. Setidaknya 13 warga sipil terluka, satu orang tertembus peluru tajam. Tidak ada tindakan hukum terhadap aparat keamanan yang terlibat dan bertanggungjawab dalam kekerasan itu.
Menurut rilis resmi militer, pasukan yang turun siang itu dari satuan setingkat peleton Batalyon Infanteri 403/Wirasada Pratista. Pasukan ini dipimpin komandan Letkol Infanteri Satrijo Pinandojo. Markasnya di Kentungan, Sleman, Yogyakarta. Satu peleton biasanya terdiri 30-50 serdadu. Tapi Imam Zudhi berkata ia melihat dua kompi keluar dari tangsi, atau sekitar 3-4 peleton.
Devy Dhian Cahyati, mahasisiwi yang meneliti kasus konflik lahan dan dalam momen krusial itu di lokasi kejadian, menyebut angka 50-100 serdadu dikerahkan untuk menghadapi demonstrasi warga pada 16 April itu. Devy ikut ditangkap. Ia dibawa ke tangsi bersama warga desa lain, diinterogasi dengan nada keras. Ia sempat dibawa ke rumahsakit Kebumen sebelum dipindahkan ke Kepolisian Resor Kebumen.
Isu penyisiran pada malamnya bikin kaum lelaki di Setrojenar bersembunyi ke tempat lain. Seniman tidur di kuburan tempat mereka ziarah. Imam Zuhdi dibawa ke Polres Kebumen. Di sana ia bertemu Devy.
Solekhan, lari hingga Desa Ayam Putih, kembali ke Setrojenar setelah ditelepon istrinya, Siti Khotijah. Pukul 10 malam, ia mendapat telepon dari abangnya, ada polisi yang minta bertemu di depan kantor Kecamatan Buluspesantren. Abangnya merayu sambil menenangkan, “Paling cuma ditanya-tanya.” Ia menurut. Saat tiba, seorang polisi telah menunggu. Polisi menanyakan banyak nama lalu mengajaknya menuju Polsek Buluspesantren. Saat itu ia tak tahu kalau ditangkap. Sesampai di Polsek, Solekhan langsung dimasukkan di balik tahanan. Keesokan pagi ia dipindahkan ke Polres Kebumen.
Khotijah melewati malam itu dengan tegang dan melelahkan. Ia harus menangani sendiri seekor sapi yang melahirkan dini hari. Sewaktu pagi ia mendengar Solekhan ditahan, tubuhnya mendadak lemas.
Sementara Siti Khotijatun, istri Imam Zuhdi, melihat suaminya pulang ke rumah pada esok hari.
Adapun Sri Handayani, istri Seniman, baru bisa bertemu suaminya di Kebumen tiga hari sesudah peristiwa penembakan. Suaminya mengungsi di rumah kenalan di Kebumen. Selama itu, Sri Handayani mendapat kabar simpang-siur kalau Seniman telah meninggal. Seniman kembali ke rumah pada hari Jumat atau enam hari setelah insiden itu. Ia membawa perasaan cemas menyusul kabar kalau ia jadi buronan tentara.
Pada tahun-tahun selanjutnya, tanggal 16 April terus diperingati. Ini juga menandakan perubahan dramatis antara warga dan tentara atas klaim tanah itu kian sengit dan saling curiga. Atau, dalam bahasa Paryanto, “Sekarang mau lihat wajah (tentara) saja malas.”
Tentara menjadi sosok lain dalam benak anak-anak. Ketika melihat tentara, anak-anak mengadu khawatir kepada ibu mereka, “Mak, ana tentara kuwe...” Anak lelaki Siti Khotijah dan Solekhan bahkan benci tentara.
Usai peristiwa 16 April, Solekhan menghadapi proses persidangan. Pada 8 September 2011, Pengadilan Negeri Kebumen memvonisnya enam bulan penjara karena merusak gapura. Dua warga lain dihukum lima bulan karena menganiaya warga Ambal yang hendak mengirim makanan kepada tentara.
Saat vonis dijatuhkan, Siti Khotijah pingsan. Selama suaminya di balik jeruji, ia tak pernah bisa jenak berpikir. Selama ini ia bersama suami mendapat penghasilan dari berdagang makanan di pantai Setrojenar. Lebaran tahun 2011 berlalu dengan perasaan haru tanpa suami.
Ada 13 orang yang tercatat mengalami luka-luka. Itu jumlah yang dibawa ke rumahsakit. Enam warga terkena peluru karet dan satu warga tertembus peluru tajam. Duabelas sepedamotor rusak dan disita di tangsi. Salah satunya milik Devy Dhian Cahyati. Sampai hari ini motor itu tak pernah dikembalikan. Beberapa ponsel dan perekam dirampas. Rekaman dihapus sebelum alat perekam dikembalikan.
Devy nyaris juga dipidanakan. Namun ia dibela oleh ketua legislatif daerah Kebumen bahwa ia datang sebagai peneliti dan sudah dapat izin dari pemerintah kabupaten. Devy harus menghadapi tuduhan sebagai provokator dari media-media di internet.
Imam Zuhdi, bersama istrinya, terus menjalani kehidupan sebagai petani. Pagi ia bertani di lahan sewa dekat menara intai militer—warga menyebutnya “rumah tingkat”—dekat dari tangsi. Sorenya ia mengajar anak-anak mengaji di rumah. Mereka tetap tinggal di Setrojenar.
Tidak ada tindakan hukum atas penembakan, pemukulan, dan perusakan oleh unit pasukan dari Kodam Diponegoro. Justru yang muncul sesudah kejadian adalah spanduk bernada provokatif. Isinya melabeli perlawanan warga petani terhadap klaim tanah oleh tentara sebagai “bahaya laten komunisme/ PKI”—satu bahasa lazim yang dipakai institusi resmi militer dan paramiliter di Indonesia. Komandan Yonif pasukan yang turun saat itu, dua bulan setelah kejadian, dilantik sebagai komandan Kodim 0732/Sleman.
Klaim tanah 1.000 meter oleh tentara telah diturunkan menjadi 500 meter. Pada 2013, batas 500 meter itu tak lagi ditandai patok tapi pagar kawat setinggi tiga meter. Pagar itu terpasak di Kecamatan Mirit. Ia membelah kebun-kebun semangka dan cabai, termasuk kebun milik Siwun, petani Desa Mirit Petikusan. Malahan, para petani setempat yang mengerjakan pagar itu.
“Mau kita yang ngerjakan atau enggak, pasti (pagar) tetap berdiri. Jadi, daripada orang lain yang dibayar, lebih baik saya yang ngerjakan,” ujar Siwun. Ia dibayar Rp 50 ribu/ hari. Selama membangun pagar, ia tidak bertani.
Di Setrojenar hingga Mirit Petikusan, pada hari-hari tertentu, latihan persenjataan alat berat tentara-tentara Angkatan Darat masih berlangsung sampai sekarang. Saat ada latihan, area pesisir disterilkan dan ada pengumuman lewat masjid sehari sebelumnya. Warga tak melihat senjata-senjata itu, namun dentum meriam menggema hingga radius 1-2 kilometer.
Siti Khotijah berpendapat, pengosongan pantai saat latihan tentara bertujuan mengusir warga-warga setempat yang berjualan di sana. Kini para istri tentara turut berjualan di pantai.
Saya datang ke Setrojenar tepat ketika latihan senjata berlangsung, akhir September 2014. Dari rumah Siti Khotijah, dentuman meriam terdengar beruntun tiap 15 menit sekali. Gemanya membuat pintu dan kaca jendela bergetar, mengingatkan pada film-film perang. Tak terbayangkan hidup dengan suara-suara itu seumur hidup.*
—
http://pindai.org/2014/12/26/bara-di-urutsewu/
0 comments:
Post a Comment