“Kekerasan Negara Terhadap Petani : Studi Kasus Pesisir Selatan Kebumen”
Oleh : M. Afandi - Relawan FMKA
Napak Tilas Negeri Kebumen
Sebelum dikenal secara luas dengan nama Kebumen, daerah ini disebut dengan nama Kabumian. Kata tersebut konon berasal dari sebuah tempat bermukimnya seorang pelarian dari Mataram yang bernama Pangeran Mangkubumi (Kyai Bumi) disaat berkuasanya Sunan Amangkurat I. Secara geografis, Kabupaten Kebumen terletak pada 7”27-7”50 Lintang Selatan dan 109”22-109”50 Bujur Timur. Di sebelah Timur, kabupaten Kebumen berbatasan dengan Kabupaten Purworejo dan Wonosobo. Di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Banyumas dan Cilacap. Di bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara dan di bagian selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia (Wikipedia, 2010).
Secara
administratif, Kabupaten Kebumen terdiri dari 26 kecamatan dengan luas
wilayah 128.110 Ha. Kabupaten yang berpenduduk 1.212.809 jiwa ini
memiliki karakter tofografi daerah pantai di bagian Selatan dan
pegunungan di bagian Utara. Daerah ini sebagian besarnya adalah dataran
rendah. Dari luas keseluruhan wilayah yang ada, 31,04 persennya
dikategorikan sebagai lahan sawah dan pertanian yang tersebar di wilayah
dataran tinggi hingga dataran rendah.[1]
Luas sisa 68.96 persen daerah tersebut dikategorikan sebagai lahan
kering yang diperuntukkan sebagai areal bangunan, tegalan dan hutan
negara (regionalinvestment.bkpm.go.id).
Pertanian Lahan Pantai Selatan Jawa Versus Urbanisasi
Dari
26 kecamatan yang tersebar di seluruh kabupaten Kebumen, 7 diantaranya
terletak di pesisir Selatan, yaitu Mirit, Ambal, Bulus Pesantren,
Klirong, Petanahan, Puring dan Ayah. Hampir dari keseluruhan penduduknya
hidup dari pertanian lahan pantai yang mulai berkembang sejak tahun
1980-an. Sistem pertanian tersebut bermula dari ditemukannya sumber air
tawar yang berlimpah di sepanjang pesisir selatan Jawa yang berasal dari
kandungan mineral berjenis Fe. Menurut Prof. Supriyanto, Guru Besar Fakultas Pertanian UGM (2011), “kandungan
mineral pasir besi (Fe) yang terdapat di sepanjang pesisir Selatan Jawa
mampu mengikat unsur-unsur senyawa dari besi yang kemudian menghasilkan
air tawar sebagai sumber irigasi dan mampu mencegah terjadinya abrasi
sekaligus menjadi penjaga ekosistem dan salah satu faktor penentu
keberlangsungan pertanian pesisir”.
Seiring
dengan kemajuan teknologi, sistem irigasi air tawar “sumur renteng”
lahan pantai yang pada awalnya dikelola dengan teknik sederhana
berkembang menjadi lebih modern sehingga mampu mendongkrak produktifitas
pertanian dalam skala lahan yang lebih luas. Di penghujung tahun 1990,
pola pertanian ini selain berdampak pada peningkatan ekonomi rumah
tangga petani juga mampu menurunkan angka urbanisasi di sekitar wilayah
pesisir Kebumen.
Menurut
Chusni Ansori Dkk (2011), Pantai Selatan Jawa secara umum memiliki
potensi kandungan mineral pasir besi yang melimpah. Dalam penelitiannya,
Chusni menyebutkan bahwa di pantai selatan Yogyakarta, khususnya di
sekitar muara sungai Progo memiliki cadangan 605 juta ton Pasir Besi
(Fe) dengan luas area pantai sepanjang 22 KM dan lebar 1.8 KM.
Selanjutnya, di dalam peta sebaran pasir besi di sebagian wilayah
Kabupaten Purworejo dan Kebumen, ia menyimpulkan pasir besi terdapat
pada areal sepanjang 39,16 km serta lebar variasi 1,8 km di bagian timur
hingga 3,4 km di bagian barat.[2]
Di sebelah Barat Kebumen, tepatnya di kabupaten Cilacap bagian Selatan
juga memiliki kandungan mineral pasir besi yang melimpah, namun
sayangnya mineral tersebut bukan digunakan untuk kemakmuran pertanian,
melainkan untuk kepentingan industri pertambangan. Ini terbukti dengan
aktivitas penambangan pasir besi yang dilakukan oleh PT. Antam Tbk di
wilayah tersebut dengan kemampuan produksi 300.000 ton biji besi per
tahun dari sejak tahun 1971 hingga 2002.
Melimpahnya
kandungan mineral pasir besi di pesisir selatan Jawa secara khusus
telah membentuk suatu pola dan karakter pertanian yang khusus. Mineral
berjenis Fe ini menjadi
sumber utama ketersediaan air untuk kebutuhan irigasi pertanian lahan
pantai. Berbeda dengan pola sistem pertanian “tadah hujan dan ladang”,
dimana sistem irigasinya kerap dihadapkan pada situasi rawan banjir
ataupun kekeringan akibat kerusakan-kerusakan lingkungan yang saat ini
semakin buruk. Berkembangnya sistem dan pola pertanian lahan pantai,
kini tidak hanya mampu memberikan penghidupan petani di 7 kecamatan
pesisir selatan Kebumen, namun juga telah mampu menghidupi lebih dari 2
juta petani lahan pantai di pesisir selatan Jawa.
Krisis
ketersediaan tanah produktif untuk pertanian di Pulau Jawa yang
disebabkan oleh kepadatan populasi penduduk, penguasaan tanah untuk
Properti, Real Estate, kawasan industri, pertambangan, perkebunan dan
hutan negara, kini terimbangi dengan lahirnya bentuk pertanian “baru”
dengan memanfaatkan lahan pesisir pantai menjadi areal pertanian
produktif.
Ancaman Mega Proyek Jaringan Jalan Lintas Selatan Jawa dan Kepentingan Militer
Pasir
besi merupakan salah satu jenis mineral yang tak terbaharui dengan
kegunaan yang cukup penting di dunia industri dan pertambangan. Bahan
mentah pasir besi dapat dimanfaatkan sebagai tambahan dalam industri
semen dan industri pembuatan baja (Chusni Anshori Dkk, 2011). Ribuan
juta ton mineral ini tersebar di seluruh pesisir selatan Jawa, pulau
Sumatera bagian Barat, dan di beberapa wilayah di Indonesia bagian
Timur. Sebagian dari ribuan juta ton tersebut hampir setengahnya berada
di pulau Jawa bagian Selatan. Hal ini dipengaruhi secara geografis oleh
keberadaan gunung-gunung api aktif. Dalam penelitian “Distribusi
Mineralogi Pasir Besi Pada Jalur Pantai Selatan Kebumen-Kutoarjo” yang
dilakukan oleh Chusni Ansori, Sudarsono dan Saefudin (2011), mengatakan
bahwa keberadaan sungai besar yang berhulu pada batuan produk gunung
api, memungkinkan keberadaan endapan residual pasir besi di bagian
hilirnya. Selanjutnya Ia juga juga mengatakan “sumber pasir besi di pantai selatan Yogyakarta dipengaruhi
oleh keberadaan DAS Progo yang berhulu di Merapi, begitu juga
keberadaan potensi pasir besi di muara sungai Bogowonto dan Wawar
diperkirakan berkaitan dengan produk gunung api, dan dengan sifat dan
karakteristik tertentu yang terkandung di dalamnya, kemungkinan akan
berpengaruh terhadap kelimpahan titanium di dalam endapan pasir besi”.
Meningkatnya
kebutuhan industri baja di negara-negara dunia pertama serta lahirnya
kekuatan-kekuatan ekonomi baru seperti China yang juga membutuhkan
mineral pasir besi memaksa petani harus berhadap-dhadapan dengan
korporasi pertambangan. Selama lebih dari 2 dekade, industri
pertambangan pasir besi dipesisir selatan Jawa semakin meluas, baik yang
beroperasi lewat korporasi swasta ataupun milik negara (BUMN). Mulai
dari Banyuwangi, Lumajang, Blitar (Jawa Timur), Kulon Progo, Purworejo,
Kebumen, Cilacap (Jawa Tengah), Tasik Malaya, Ciamis (Jawa Barat) dan
beberapa lokasi lainnya di Propinsi Banten (FKMA, 2011-2013).
Perampasan-perampasan
tanah petani lahan pesisir pantai dilakukan lewat berbagai macam
regulasi dan represifitas aparatus negara (TNI-POLRI, serta
milisi-milisi sipil yang dibackup oleh negara-korporasi dan bahkan
akhir-akhir ini diperkuat oleh organisasi keagamaan. Tidak kurang dari
20 petani selama 2010-2012 telah dikriminalisasi demi kepentingan
pertambangan pasir besi di pesisir selatan Jawa (FKMA, 2013). Di
Kebumen sendiri, jauh sebelum peristiwa menguatnya isu penolakan
tambang pasir besi, sebenarnya telah didahului oleh beberapa rentetan
peristiwa yang menjadi akar konflik. Dari hasil wawancara penulis selama
penelitian lapangan, setidaknya ada beberapa faktor pemicu yang menjadi
akar konflik agraria di pesisir selatan Kebumen.
Pertama, Klaim sejarah sepihak yang dilakukan TNI AD terhadap tanah. TNI AD mengklaim berhak atas tanah di pesisir selatan Kebumen yang merupakan
pemberian KNIL dan selanjutnya pasca kemerdekaan berkembang menjadi
arena latihan dan sarana ujicoba senjata berat dan laboratorium lapangan
Distlibang.
Kedua, meninggalnya 5 orang anak
petani yang terkena bom aktif TNI AD pada tahun 1997, tragedi ini
bermula ketika mereka mencoba menendang sebuah benda yang tidak lain adalah bom yang masih aktif di areal latihan TNI AD.
Ketiga,
Lahirnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintahan Kabupaten
Kebumen untuk periode tahun 2007-2027 yang mengisyaratkan di dalamnya
mensetujui adanya kegiatan pertambangan pasir besi di pesisir selatan
Kebumen. Regulasi tersebut juga mendorong klaim baru dari TNI AD yang
menyatakan TNI AD memiliki hak atas tanah sepanjang 22.5 km dengan lebar
hingga 500 meter dari bibir pantai yang direncanakan untuk pembangunan
Pusat Latihan Tempur TNI AD (Puslatpur TNI AD). Di lain pihak, petani
menyatakan bahwa klaim tersebut sangat tidak berdasar, karena batas
tanah negara (yang diklaim TNI AD) dan tanah rakyat terletak pada 220
meter dari bibir pantai. Itu dibuktikan dengan bukti penarikan pajak dan
pendirian patok yang telah terpasang dari sejak jaman penjajahan
Belanda. Selanjutnya konflik semakin menajam setelah keluarnya SK
Pemkab Kebumen, No. 660.1/28/2010 yang menyetujui PT. Mitra Niagatama
Cemerlang (MNC) untuk menambang pasir besi dengan luas konsesi 984, 79
ha di 6 desa wilayah administrasi kecamatan Mirit. Konflik terus
memuncak, saat petani dari 25 desa yang berasal dari 3 kecamatan (Mirit,
Ambal, Bulus Pesantren)melakukan aksi penolakan
rencana pendirian Puslatpur TNI AD dan pertambangan pasir besi di desa
Setro Jenar pada 16 April 2011. Aksi penolakan tersebut disambut dengan
tindak kekerasan oleh TNI AD, 6 warga terkena luka tembak, 8 orang
lainnya luka-luka akibat penganiayaan TNI AD (Kontras, 2011).
Selain
dihadapkan dengan ancaman korporasi pertambangan, petani pesisir
selatan Kebumen kini kembali berhadapan dengan Rencana pembangunan fisik
Jaringan Jalan Lintas Selatan (JJLS) sepanjang 57 km. Mega proyek ini
memiliki sumber pendanaan dari Asian Development Bank (ADB) melalui Islamic Development Bank (IDB). Menurut Sekretaris Daerah Kabupaten Kebumen, H. Suroso SH, proyek ini akan dilakukan secara bertahap. Tahap
I akan dilaksanakan pada tahun 2011 dengan panjang 21 km yang dimulai
dari Desa Wiromartan, Kecamatan Mirit hingga Desa Ayam Putih, Kecamatan
Bulus Pesantren. Tahap II akan dilaksanakan dari Jembatan Luk Ulo, Desa
Ayam Putih, Kecamatan Bulus Pesantren hingga Desa Tambak Mulyo,
Kecamatan Puring.
JLLS ini akan berhadapan dengan pembebasan lahan penduduk di 30 desa di tujuh kecamatan wilayah
kabupaten Kebumen. Klaim TNI AD yang menyatakan berhak atas tanah 500
meter dari bibir pantai sepanjang 22.5 km dengan sangat jelas diduga
oleh warga merupakan skenario untuk mendapatkan bagian dari dana
pembebasan lahan JLLS yang dianggarkan mencapai ratusan miliyar rupiah
sekaligus mempermudah korporasi pertambangan pasir besi bercokol di atas
tanah tersebut. Struktur pendanaan JLLS yang terbangun lewat Asian
Development Bank (ADB) melalui
Islamic Development Bank (IDB) dapat mengisyaratkan munculnya
kelompok-kelompok atas nama Islam dari luar wilayah pesisir selatan
Kebumen yang berjihad secara mati-matian mendukung rencana pertambangan di pesisir selatan Kebumen.
Relasi Sekamar Korporasi Semen dan Pasir Besi
Telah disebutkan dalam uraian diatas bahwa kandungan mineral Fe
(pasir besi) dalam bentuk bahan mentah (raw material) yang terdapat di
sepanjang pesisir selatan Jawa selain dibutuhkan untuk kepentingan
industri baja juga digunakan sebagai bahan tambahan dalam industri
semen. Senada dengan ini, maka tidak salah jika analisa tersebut
dikaitkan dengan meningkatnya angka pertumbuhan pendirian pabrik semen
di pulau Jawa.
Ketua
Asosiasi Semen Indonesia (ASI), Widodo Santoso dalam keterangannya di
rapat kerja Kementrian Perindustrian, 12 Februari 2013, menyatakan
industri semen akan tumbuh 10 persen pada tahun 2013. Total konsumsi
semen pada tahun 2012 mencapai 55 juta ton, maka dengan kenaikan 10
persen, konsumsi tahun 2013 akan mencapai 60 juta ton (Tempo, 2013).
Peningkatan ini dipengaruhi oleh pembangunan proyek infrastruktur dalam
kerangka Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) dan pembangunan sektor properti swasta. Properti
swasta ditujukan untuk fasilitas kelas menengah yang angkanya terus
meningkat.
Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, ASI menyatakan realisasi pembangunan dalam
industri semen pada tahun 2012-2013 akan didukung oleh unit-unit pabrik
baru dari investasi PT. Semen Padang, PT Semen Bosowa, Anhui, Siam
Cement Group, PT. Semen Gresik dan PT Semen Tonasa dengan kapasitas
produksi mencapai 67 juta ton. Pada tahun 2013 PT Semen Gresik akan
beroperasi di Sorong, Papua Barat. Di Sulawesi Selatan, PT. Semen Tonasa
akan mengoperasikan pabrik barunya di Pangkep dengan
produksi 2,5 juta ton. Dan di Banyuwangi, Jawa Timur, akan hadir PT
Semen Bosowa yang akan menghasilkan produksi semen berkapasitas 1.2 juta
ton pertahun (Tempo, 2013).
Jika
melihat perkembangan 1 dekade terakhir, maraknya isu pendirian pabrik
semen di pulau jawa, khususnya Propinsi Jawa tengah, seperti Pati,
Blora, Rembang, Wonogiri dapat diketahui karena selain didukung oleh
Pemerintah juga dikarenakan beberapa faktor ketersediaan sumber daya
alam yang melimpah. Gugusan gunung dan bukit-bukit karst yang tersebar
di pesisir selatan dan utara Jawa merupakan faktor penting dalam
penyediaan bahan baku industri semen. Maka tidak mengherankan jika
rencana pendirian pabrik semen ini dipusatkan di propinsi Jawa Tengah,
selain kaya akan mineral karts juga kaya akan mineral pasir besi, yang
keduanya saling dibutuhkan dalam industri pabrik semen. Dengan demikian
korporasi pertambangan pasir besi dan semen akan menjadi 2 monster besar
pengancam keberlangsungan kehidupan pertanian pesisir selatan Jawa.
Melihat fenomena ini maka tidak salah apa yang telah diramalkan oleh
sejarawan termasyur E. Hobsbawm. Ia mengatakan “petani adalah kenyataan masa lampau dan sedang dalam proses melenyap”.
Ancaman dan Masa Depan
Setahun setelah tragedi 16 April yang menggegerkan negeri Kabumian,
pemerintahan Kabupaten Kebumen kembali memberi kado yang tidak kalah
menggemparkan kepada seluruh rakyatnya. Sebuah Peraturan Daerah Nomor.
23 Tahun 2012 disahkan. Di dalam Perda tersebut, tepatnya di dalam
paragrap 5, pasal 34 disebutkan “Kawasan Peruntukan Pertambangan”.
Sebuah regulasi yang membuka lebar kepada korporasi pertambangan untuk
menjamah dan mengekspolitasi tanah Kabumian dengan cap legal.
Di
dalam pasal 34 ayat a (mineral logam), disebutkan pertambangan mangan
akan berada di kecamatan Ayah dan Buayan. Pasir besi di sepanjang pantai
dan Pertambangan emas di Kecamatan Ayah, Buayan, Karang gayam, Sadang
dan Karang sambung. Selanjutnya dalam ayat b (mineral bukan logam),
pertambangan phospat dan kalsit akan berlokasi di Kecamatan Ayah dan
Buayan. Di bagian ayat c (batuan) dan d (batu bara) pertambangan jenis
andesit dan batu bara juga berlokasi di Kecamatan Ayah dan Buayan.
Kecamatan Ayah dan Buayan merupakan 2 wilayah yang dominan untuk
peruntukan wilayah pertambangan, terutama jenis emas dan batu bara.
Konsentrasi
pertambangan yang pada mulanya hanya diperkirakan terjadi di bagian
pesisir selatan Kebumen ternyata meluas hingga ke arah utara. Hal ini
patut diwaspadai sebagai ancaman yang nyata bagi keseluruhan penduduk
yang telah mengantungkan hidupnya dari pertanian. Karena tidaklah
mungkin pertambangan dan pertanian dapat berdiri sejajar. Konflik
agraria yang pada abad 20 ditandai dengan ketimpangan struktur
kepemilikan tanah kini pada abad 21 telah meluas hingga isu-isu
kerusakan ekologis dikarenakan meluasnya industri pertambangan.
Masa
depan pertanian pesisir selatan dan utara Kebumen terlihat secara jelas
dalam sebuah wilayah konflik yang pasti. Jalan keluar yang tidak bisa
ditawar lagi adalah sebuah perlawanan sosial. Perlawanan yang tidak lagi
menggantungkan keberhasilan pada sebuah gaya kepemimpinan yang
feodal/messianistik. Lebih dari 2 abad sejarah perlawanan petani
membuktikan perlawanan-perlawanan bergaya kharismatik tersebut mati
seiring dengan ditangkapnya pemimpin-pemimpin gerakannya. Di sisi lain,
memilih perlawanan gaya legal, perlawanan yang bertumpu pada jalur-jalur
legal dengan memanfaatkan negara sebagai instrument untuk mencapai
keadilan juga kerap berbuah pahit. Walapun lembaga-lembaga peradilan
memutuskan secara de Jure memenangkan gugatan petani tetapi secara de Facto petani tetap tidak diperbolehkan menguasai tanah “menang di atas kertas”.
Menurut
pengamatan penulis dari penelitian yang dilakukan di sebuah wilayah
yang bernama “Deli”, Propinsi Sumatera Utara, setengah dari 32 kelompok
tani yang berhasil mendapatkan kembali tanahnya yang dirampas korporasi
perkebunan adalah kelompok-kelompok yang tidak berjuang di jalur legal.
Walaupun tidak bisa disederhanakan secara pasti, namum setengah dari
kelompok-kelompok yang berhasil adalah kelompok yang tidak pernah
berjuang di meja peradilan dan tidak bermitra dengan NGO. Dengan gaya
yang disebut oleh penulis sebagai perlawanan “ektra legal”, petani lebih
memilih melakukan pelumpuhan terhadap komoditas produksi perkebunan,
walaupun cara yang demikian akan dicap illegal oleh hukum positif
(negara).
Di dalam kapitalisme yang matang, untuk menstabilkan modal-modal di negara-negara dunia ketiga, maka dibutuhkan kekuatan penyeimbang.
Kekuatan penyeimbang tersebut adalah NGO, kekuatan untuk membuat
kapitalisme demokratik tetap dapat bekerja. Di arena konflik, NGO kerap
memainkan peran sebagai pengkritik kebijakan pemerintah, namun di sisi
lain juga berperan sebagai agen untuk memberikan penjelasan kepada
masyarakat tentang kebijakan pemerintah ataupun isu-isu masyarakat
sipil, HAM dan demokrasi yang dalam arti luas memainkan peran untuk
mengurangi peran negara namun memperbesar peran pasar. Hal itu untuk
mengurangi ongkos produksi (kapitalisme) yang selama ini banyak
dikorupsi oleh birokrasi negara. Maka tidaklah heran jika jutaan dolar
digelontorkan untuk para penggiat NGO setiap tahunnya demi tetap menstabilkan modal dan mencuci pikiran masyarakat agar tetap dapat terkontrol di ranah yang telah ditentukan.
Tidak
ada salahnya untuk kembali merenungkan bagaimana perlawanan sosial
dibangun secara mandiri tanpa harus bergantung kepada kelompok-kelompok
lain yang sama sekali tidak berhubungan langsung dengan alat produksi.
Catatan pustaka :
- Chusni Ansori Dkk, “Distribusi Mineralogi Pasir Besi Pada Jalur Pantai Selatan Kebumen-Kutoarjo”, Makalah, Buletin Sumber Daya Geologi vol. 6. 2011.
- www.kontras.org/buletin/indo/newsletter.
- Id.wikipedia.org.
- www.regionalinvestment.bkpm.go.id
- Dokumen Sejarah FKMA, 2011-2013.
- www.tempo.co.id.
- Luas wilayah keseluruhan Kebumen adalah 128.111 Ha. Tercatat 39.768 hektar (31,04 %) merupakan lahan sawah dan 88.343 hektar (68.96 %) lahan kering. Lahan kering digunakan untuk bangunan seluas 35.985 hektar, tegalan 28.777 hektar, hutan negara 16.861 hektar dan sisanya digunakan untuk keperluan lainnya.
- Di pesisir selatan Kabupaten Cilacap, penambangan pasir besi dilakukan oleh PT. Antam Tbk dari sejak tahun 1960 dan memproduksi 300.000 ton/tahun. Tujuan ekspor dari penambangan ini adalah Jepang, lihat Chusni Ansori dkk (2011).
0 comments:
Post a Comment