Kepemilikan lahan minimum, biaya produksi tinggi, rendah teknologi, keharusan bertarung dengan banjir produk impor negara maju, implikasi teknologi trans-genetika.. Bla bla bla!
Kini ditambah kewajiban untuk memerangi hegemoni tentara. Kehadiran tentara dengan kepentingannya di sana, lambat laun telah menggeser lahan yang menjanjikan kemakmuran, menjadi pasetran yang menyimpan ancaman.
Keselamatan umum dan kelestarian lingkungan dipertaruhkan.
Ironi termenarik dari desa Setrojenar adalah 'deklarasi' perlawanan semestanya terhadap tentara pada tahap ini, justru dilancarkan saat semua orang berkonsentrasi pada Pemilu. Tetapi tak seorang pun yang tengah berkepentingan memenangkan Pemilu itu, peduli membantu, membela atau berjuang bersamanya.
Sejarah Pertanian Setro
Sejarah tanah 'pasetran' Setrojenar tersimpan dalam ingatan kolektif masyarakat di kawasan 'urut-sèwu' itu.
Kasan Mardji (93 th), penduduk KaibonPetangkuran, Ambal; menuturkan kesaksian historis atas tanah-tanah warisan nenek-moyangnya. Dahulu ia dan petani lain mengolah lahan ujungnya sampai ke 'banyuasin'. Maksudnya, lahan adat yang diwariskan itu sampai ke tepi air. Pada masa lurah Djiman, katanya, lahan-lahan itu 'dipunggel' atau mengalami pengurangan.
Hanya ada penjelasan semua dilakukan dengan alasan mengurangi beban pajak petani. Alasan ini ditengarai amat manìpulatif, meski dilakukan oleh penguasa desa.
Menurut Purwanto, 36 th, warga Setrojenar, hak Dislitbang TNI-AD atas tanah di Setrojenar tak lebih dari 20.000 meter persegi. Yakni tanah 200 m panjang x lebar 100 m yang sejak 1981 dibangun kantor Dislitbangad beserta mess asrama itu. Dia tak habis pikir jika tentara berasumsi memiliki tanah diluar yang 20.000 meter persegi itu. Kapan tentara beli tanah di luar yang dipakai asrama itu? Atau jangan-jangan cuma memanipulasi fakta yang ada.