This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday, April 22, 2009

Selamatan Gapura Setrojenar

Sosok gapura setìnggi 4 meter yang dibangun sejak awal Februari 2009 itu nampak kukuh dan tegar, seakan siap menghadapi gempa dan badai laut selatan.
Siang itu, Rabu 22 April 2009, jam 13.00 wib sekitar 30-an pemuda Desa Setrojenar berkumpul disana untuk melakukan ritual peresmian gapura yang kini menjadi ikon baru wisata pantai Setro.
Ritual dìpimpin seorang tokoh agama, Imam Zuhdi, dengan membuka kunci pintu portal di sisi barat dan timur jalan. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan do'a mohon keselamatan dan diamini bersama.

Arus Pengunjung

Belakangan ini pantai Desa Setrojenar selalu dikunjungi orang dan makin ramai saja pada setiap harinya. Terutama kalangan anak muda. Seperti pada siang itu, meskipun memang bukan hari libur. Jika pada hari Minggu atau hari libur, jumlah pengunjung akan jauh lebih banyak. Menurut para pemuda yang mengelola parkìr kendaraan, kini ada 4 sampai 6 kelompok yang mengelola parkir kendaraan saja.

Ikon Wìsata Rakyat

Di sela peresmian gapura, Imam Zuhdi berpesan kepada semua pemuda untuk menjaga dan memanfaatkan fungsi gapura sebagai pintu masuk untuk menertibkan arus dan parkir kendaraan pengunjung pantai.
"Pemuda lah yang paling pas buat menjaga dari segala gangguan, termasuk dari pihak-pihak yang mengancam", pesannya. Imam ini mendoakan para pihak yang tak setuju supaya sadar.
Ditemui di tempat terpisah, mantan Kades Setrojenar, Mardjo, menyayangkan pihak-pihak yang tak senang atas pembangunan di obyek wisata pantai, termasuk pembangunan gapura.
Alasan yang mendasari pendapatnya adalah bahwa pengembangan potensi wisata pantai Setro telah membuka peluang kerja bagi pemuda dan sektor riil masyarakat kelas bawah. Juga telah memberikan kontribusi yang cukup signifìkan, bukan hanya di sektor ekonomi. Tetapi juga pada sektor sosial budaya serta peringatan hari-hari besar Islam.
Satu hal ditegaskan Mardjo, jika tentara melakukan klaim atas tanah-tanah pesisir, itu suatu kesalahan besar.

Monday, April 20, 2009

Kisah Tentang Pal-Budheg itu Fakta Sejarah !

Inilah wujud Patok-GG (eigendom) dengan kodefikasi Q222, yang dalam idiom lokal disebut dengan Pal-Budheg. Secara filosofis, patok ini budheg atau tuli. Maknanya adalah bahwa ia merupakan saksi bisu yang tak mau dan tak bisa dengar apa-apa. Kecuali bahwa ia adalah jejak kebenaran sejarah masa lalu.
Sebagai sebuah bukti sejarah, ia punya kisah. Sebagaimana dituturkan oleh mBah Karto alias Amad Bambung (88 tahun). Patok ini didirikan sebagai tanda batas tanah, saat ada pemetaan tanah; yang dalam bahasa lokal disebut dengan Klangsiran tanah di kawasan Urut-Sewu; yakni pada tahun 1932 lalu.
Saat itu ia telah menyelesaikan pendidikan rendah di desa yang ditempuhnya dalam rentang dua tahun. Mungkin karena itu pula, ia dipercaya oleh Dipamamad, ayahnya, untuk memegang "setik" atau surat tanah sebagai bukti kepemilikan tanah keluarganya. Mad Karto kecil, tetapi berpendidikan menurut ukuran anak-anak waktu itu; diajak mengiringi tugas seorang Mantri Klangsir, yakni pejabat pemetaan tanah pada masa penjajahan Belanda.
Pejabat Mantri Klangsir ini begitu dihormati, disebut pula sebagai nDoro Klangsir oleh penduduk pesisir selatan yang populer dengan sebutan kawasan "urut-sewu" itu. Sampai-sampai dalam melaksanakan tugasnya, selalu ada penduduk yang memegang payung untuk menahan terik matahari sepanjang pekerjaan pemetaan.
Catatan terpenting yang dihasilkan dari klangsiran tanah ini adalah pengakuan pemerintah kolonial atas tanah-tanah di kawasan itu. Sejauh ini, pernyataan pengakuan pemerintah kolonial memang hanya menghuni ingatan kolektif masyarakat pesisir selatan Kebumen. Tetapi memang ada data-data valid yang konon dipegang oleh seorang eks pejabat kemiliteran bernama Soerjadi.
Tentu saja dokumen itu amat penting artinya. Tetapi penting juga kesaksian para pelaku sejarah atas tanah-tanah di sana. Dan Mad Karto yang kini telah beranjak tua tetapi masih cukup sehat untuk bekerja di lahannya itu memiliki kesaksian sendiri. Menurutnya, batas tanah gg yang ditandai dengan pal-budheg itu adalah bukti. Bahwa di sebelah selatan patok ini diakui sebagai tanah negara atau pada masa itu disebut tanah "Kumpeni". Sedangkan tanah-tanah di sebelah utara dari patok gg ini adalah tanah-tanah rakyat tani. Jarak patok GG ini ke tepi air berkisar antara 220 meter hingga 250 meter.
Di era sebelum ada "Klangsiran" tanah, sebagaimana dituturkan Kasan Mardji alias Kasan Simur (90 tahun), penduduk Kaibon Petangkuran, di Kecamatan Ambal; bahkan para petani sejak dulunya mengolah lahan hingga "banyuasin" alias sampai tepi air.
Pemerintah kolonial saja mengakui bahwa tanah "Kumpeni" itu sebatas jarak 250-an meter dari garis air sepanjang pantai selatan. Di luar itu, ke arah utara, adalah tanah-tanah rakyat!

( to be continued)

Sunday, April 19, 2009

Apa Yang Bisa Dibanggakan dari TNI-AD..

Pertanyaan ini selalu muncul saat ada pernyataan -biasanya dari pejabat pemerintah- bahwa seharusnya masyarakat (Setrojenar dan UrutSewu) bangga dengan adanya TNI-AD (Dislitbangad) di wilayahnya.
Dalam logika formal, mungkin seharusnya begitu. Tetapi dalam realita obyektif, banyak fakta bicara sebaliknya.
Jadi, dalam hal kenyataan yang dilakukan Dislitbangad, khususnya klaim tentara atas tanah rakyat, khususnya di Setrojenar, memang lebih dari pantas dipertentangkan. Kenyataannya malah memanipulasi dan mengingkari sejarah kepemilikan tanah rakyat di sana.
Jadi, apa yang bisa dibanggakan dari TNI-AD dengan Dislitbangad di kawasan pesisir UrutSewu Kebumen Selatan itu?
-to be continued-

Thursday, April 16, 2009

" Kami telah ambil sikap: meLawan Dislitbangad ! "

Pertemuan 7 desa di Setro Rabu, 15 April 2009 menghasilkan peneguhan tekad untuk bersama melawan tentara. Ancaman Kasad TNI-AD soal pematokan ulang disikapi petani tanpa rasa takut sama sekali. Justru jika TNI-AD mau pasang patok lagi akan ada 'titir' lintas desa untuk menghadang dan mencabut kembali patok tentara.
"Memangnya inì tanah siapa?"
"Sejak kapan tentara punya kewenangan untuk patok pertanahan?"
"Seperti sejarah Kumpeni mematok tanah-tanah di Tegalrejo pada picu awal jaman Perang Diponegoro.."
Macam-macam bentuk komentar sebagai reaksi atas rencana pematokan ulang oleh TNI.

Seruan Waspada

Rencana pematokan ulang itu pastilah punya maksud tertentu dan tidak berdiri sendiri.
Ditengarai demìkian, mengingat kini yang turun ke Setro adalah orang nomor satu di jajaran TNI-AD. Jika dilihat sepintas pernyataan Kasad tak pantas untuk konsumsi publik. Tetapi agaknya memang disengaja demikian, sebagai sebuah manuver atau trik dalam manajemen konflik.
Artinya, boleh jadi itu cuma umpan dalam jebakan taktis. Jika semua disikapi reaksioner semata, lalu petani yang jumlahnya tak kurang dari 3000-an cuma 'rebut-patok' dengan tentara di lapangan.
Tetapi di sisi yang luput dari perhatian, lalu dìam-diam Dislitbang TNI-AD mendesak proses legal penguasaan dan pensertifikatan tanah. Celaka.
"Terjadi lakon Rebutan Kikis Tunggorono" seperti dalam wayang.
Tapì massa rakyat kehilangan hak tanah dan legalitas kepemilikannya.
"Jadi, jangan kita lengah"
dalam menghadapi kemelut tanah.
Sejatinya, semua jadi kemelut, justru setelah tentara bercokol di sana.

Wednesday, April 15, 2009

Sejarah Tanah dan Mekanisme PerampasanNya

Tak rumit buat mencermati pola tentara dalam mencaplok tanah-tanah petani desa Setro.
Pertama, petinggi TNI-AD cuma mencopy-paste dan meneruskan sejarah kebijakan para penjajah negeri ini. Dengan kata lain, tentara meneruskan mekanisme penjajahan warisan kolonial Kompeni dan fasisme Jepang.
Kedua, membuat klaim sepihak pemilikan tentara atas tanah-tanah adat milik petani, membangun opinì publik lewat media. Sehingga nampak seolah nyata bahwa TNI-AD memang berhak atas keseluruhan zona di kawasan itu. Dengan kata lain, TNI-AD memanipulasi sejarah untuk pertahankan kepentingannya di sana, tetapi sejarah kepemilikan petani sendiri atas tanah itu sama sekali diabaikan.
Ketiga, secara politis mengeksploìtasi wacana Tata Ruang dan Wilayah kawasan Kebumen Selatan. Padahal siapa pun tahu bahwa sejak tahap riset bagi persiapan Raperda Tata Ruang, pada pertengahan Desember 2008 masyarakat sudah menolak sejak awal. Secara hukum tak ada penetapan Rencana Tata Ruang. Dokumen yang ada cuma Ressume Eksekutif dan jelas-jelas itu diprotes petani pada paparan pleno DPRD 14 Desember 2008; dan bahkan juga ditolak DPRD.
Bagaimana sebuah Executive Ressume yang dihujat rakyat dan ditolak pihak Legislatif ini bisa dipakai dasar klaim "pemìlikan" pihak Dislitbang TNI-AD atas tanah-tanah rakyat di kawasan pesisir?

Membaca Kepentingan Tentara

Teori bahwa kawasan 'urut-sewu' adalah kawasan pertahanan dan keamanan boleh diterima hanya ketika negara dalam kondisi darurat. Misalnya dalam perang atau terancam atau diserang oleh negara lain.
Ada kesalahan besar dalam memaknai teori itu, terlebih dengan pandangan stereotip yang pada gilirannya meniadakan aktivitas produktif dan budaya (pertanian dan ruang publik) sebagaimana tercantum dalam Executive Summary Pemkab Kebumen, tahun 2007. Maka, makin besarlah keresahan rakyat.
Lalu untuk apa TNI-AD menebalkan muka dìsana?

Kesaksian Atas Sejarah Tanah

Ada begitu banyak kesaksian yang bisa jadi referensi dalam menyìngkap selubung kepentingan tentara di sana.
Adalah Amad Bambung, penduduk desa Ayamputih yang dilahirkan pada 5 Maret 1921. Keturunan Dipamamad yang pernah mengabdi pada Sultan Hamengku Buwono IX ini, di tahun 1930 ( usia 9 tahun), masuk sekolah 'ongko loro'. Pada tahun ke dua, meski masa itu masih kecil, ia sudah diserahi 'setik' tanah orangtua yang merupakan waris leluhurnya.
Saksi pelaku sejarah tanah Urut-Sewu ini menuturkan bagaimana pada tahun 1932, saat ia mengikuti apa yang disebut sebagai proses “Klangsiran” tanah di kawasan itu. Klangsiran adalah suatu proses pemetaan tanah dan dilakukan oleh pejabat atau disebut Mantri Klangsir di masa penjajahan kolonial Belanda yang waktu itu dipegang Ratu Wilhelmina dan beralih ke Ratu Yuliana pada era berikutnya. Tanah yang diklangsir itu juga berarti diverifikasi berkaitan dengan kelas atau kategori tanah. Secara umum terjadi perubahan kelas tanah dalam klangsiran itu. Ada tanah yang semula baik menjadi jelek; begitu juga sebaliknya.
Dicontohkan tanah yang jelek berubah baik adalah tanah tinggalan lepen atau tanah bekas sungai. Tanah berkategori baik tetapi berubah jelek adalah tanah yang terlanda sungai atau dilanda bencana alam lainnya. Untuk menandai tanah yang sudah diverifikasi dalam proses klangsiran itu dibuat tanda dengan pal atau patok tanah. Sedangkan tanah yang tidak terkena klangsiran meliputi: lumbung desa atau bandha desa, jalan, sekolahan dan tanah kuburan. Khusus untuk patok yang menandai batas antara desa dibuat lebih besar. Di luar batas ini diakui sebagai tanah Kumpeni, yakni tanah yang berada pada jarak 250 meter dari garis pantai.
Hingga kini, pal atau patok penanda itu masih ada. Masyarakat menyebutnya sebagai pal budheg dan terdapat menyusur sepanjang pesisir. Di sebelah utara dari batas patok yang berjarak 250 meter dari air laut ini, adalah tanah milik kaum tani di masing-masing desa.
Fakta lain berkaitan dengan sejarah tanah pertanian Desa Setrojenar dituturkan oleh Samidja, mantan Kadus Dusun Godi yang telah bekerja sejak tahun 1962 saat Kades dijabat oleh Durohman. Pada saat itu telah ada batas atau pal yang berjarak 16 Km dari Kota Kebumen. Pal itu kini berada di lokasi dekat sungai LukUlo dan sekaligus merupakan batas Desa Ayamputih dengan Desa Tanggulangin. Areal tanah di utara pal ini adalah tanah milik rakyat; atau dalam idiom tradisi disebut tanah pemajekan.
Sejak tahun 1962 sebagai Kadus ia bertugas menarik pajak atas tanah-tanah di kawasan selatan Desa Setrojenar berdasarkan legalitas kepemilikan tanah yang disebut “pethuk” dan bukan dengan Tupi atau SPPT. Pada tahun 1963, di depan rumah ada tanah lapang yang kemudian ditempati oleh tentara.
Pada masa Kades Durohman itu ia menerima penjelasan bahwa kelak jika tanah di bagian selatan itu dipakai latihan tentara dan mengakibatkan kerusakan pada tanaman penduduk maka harus ada ganti kerugiannya. Dan jika tentara mau memanfaatkan untuk latihan harus meminta ijin kepada pihak desa. Pihak desa akan membantu mengumumkan kepada penduduk untuk tidak melewati ruas jalan Diponegoro ketika sedang ada latihan militer. Maka untuk jalan Diponegoro itu disebut pula sebagai Diponegoro Pemantauan.
Setelah masa Kades Durohman ini dan berganti dengan Kades Moh Ghojali, terdapat desas-desus bahwa Sang Kades menjual tanah desa. Kades Moh Ghojali memang menjual tanah desa, yakni seluas 50 meter ke selatan dan 200 meter ke timur pada lokasi dekat perempatan jalan desa itu. Di luar tanah desa ini, Kades Moh Ghojali tidak menjual tanah lainnya. Kemudian pada tanah itu dibangun kantor dan mess Dislitbangad dengan menambah beli tanah penduduk seluas 50 meter kali 200 meter bagian sebelahnya. Total tanah yang dibeli fihak militer seluas 100x200 m = 20.000 meter persegi.
Memang ada kegiatan pengurugan tanah di utara pal GG atas permintaan pengusaha dari Malang. Kebetulan Kadus dan Petengan menjadi mandor pengurugan blumbang.
Mantan Kadus ini juga bertugas pada masa Kades Mardjo selama 8 tahun berikutnya. Pada masa Kades Mardjo inilah muncul kemelut atas tanah pertanian Setrojenar yang diakibatkan oleh oknum tentara dengan memberlakukan sistem sewa dan bagi hasil. Komposisi pembagian atas hasil pertanian penduduk adalah sepertiga bagian hasilnya untuk Desa, sepertiga bagian untuk tentara dan sepertiga sisanya menjadi bagian petani.

Tanah Milik TNI-AD Cuma Asumsi

Momentum kasus ini menyebabkan asumsi atau anggapan bahwa tentara memiliki tanah di areal pertanian itu. Demikian juga yang terjadi ketika Kades Setrojenar berganti Nur Hidayat selama 8 tahun. Sebagai mantan Kadus yang mengetahui sejarah tanah pertanian Setrojenar, ia merasa tidak rela apabila tanah-tanah itu diklaim sebagai milik tentara. Alasan lain yang lebih mendasar dari semua itu adalah kenyataan bahwa semua tanah itu
merupakan tinggalan dari alur waris para orang tua di masa lalu.
Kesaksian juga diberikan oleh Lasidja, bahwa di Brecong dan Setrojenar khususnya dan Buluspesantren pada umumnya, tidak atau belum ada tanah milik ABRI atau TNI-AD. Jika ada asumsi bahwa sejak jaman Belanda tempat itu sudah jadi tempat latihan itu tidak benar. Lebih aneh lagi jika Dislitbang AD mengklaim memiliki tanah di kawasan itu atas dasar apa? Atas dasar tinggalan sejak jaman Belanda?
Pada masa lalu, kepentingan pemerintah kolonial Belanda di kawasan ini, menurut sepengetahuannya, bermaksud membangun kawasan pariwisata. Tetapi pada akhirnya rencana ini gagal karena kekalahan Belanda atas Jepang dalam perang. Rumah-rumah yang dibangun ditinggalkan oleh Belanda dan hingga sekarang sisa-sisanya masih ada.
Dalam hal kemelut tanah di kawasan “urut-sewu” ini, sebagian besar petani penduduk Desa Kaibon Petangkuran di Kecamatan Ambal berada pada posisi yang sama dengan petani Desa Setrojenar. Seorang Sarengat, penduduk Kaibon Petangkuran yang juga memiliki tanah di kawasan ini mengingatkan hasil-hasil pertemuan saat audensi ke DPRD Kabupaten Kebumen, pada 14 Desember 2008 lalu.
Saat itu ada bertemu para pihak yang berkaitan dan berkepentingan dengan tanah pertanian di kawasan :urut-sewu”, seperti Asisten Bupati, BPN, Camat, Wakil dari Kodim 0709 Kebumen, serta pelaksana riset bagi perencanaan Tata Ruang yakni CV. Wisanggeni dari Magelang. Tak kurang pula beberapa lembaga masyarakat, LBH, LSM, aktivis mahasiswa dan perwakilan petani dari desa-desa di kawasan Kebumen Selatan.
Jika kini TNI-AD mengaku memiliki tanah dengan mendasarkan pada aturan Tata Ruang dan Wilayah, itu sama sekali tidak benar. Pasalnya, semua yang dipaparkan waktu itu hanya Ressume sebagai hasil riset CV. Wisanggeni Magelang. Semua perwakilan desa yang hadir memprotes dan DPRD sendiri menolak serta meminta Ressume itu direvisi dahulu. Setelah itu, sampai sekarang, belum pernah ada penetapan rencana Tata Ruang menjadi aturan yang secara hukum memiliki cukup syarat untuk diberlakukan.
Dengan kata lain belum ada aturan mengenai pemanfaatan Tata Ruang di kawasan ini, termasuk pemanfaatan bagi aktivitas pertahanan dan keamanan.
Pernyataan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sendiri terkait dengan status tanah itu menyatakan bahwa untuk tanah-tanah di kawasan pantai itu belum ada yang memiliki. Artinya, tanah-tanah yang ada masih dikuasai oleh masing-masing desa. Sedangkan dalam Buku C desa, jelas bahwa yang berhak atas tanah itu tak lain adalah para petani, penduduk desa yang selama ini memelihara dan membayar pajaknya. Jika ada pihak-pihak lain, termasuk TNI-AD yang mengaku memiliki, maka amat tak berdasar dan telah mengingkari hak-hak masyarakat tani atas tanah.

Tuesday, April 14, 2009

Pernyataan Kasad Cerminkan Watak Penjajah

Pernyataan Kasad, sebagaimana dimuat harian Suara Merdeka, 7 April 2009, Kebumen, hlm.E yang untuk selengkapnya dapat disimak berikut ini:

KASAD MINTA SENGKETA TANAH DISELESAIKAN
- Antara Warga dan Dislitbang TNI-AD

KEBUMEN - Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Agustadi SP angkat bicara mengenai sengketa tanah antara Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI-AD dengan warga Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren.
Orang pertama di jajaran TNI-AD ìtu meminta kepada Pemkab Kebumen segera menyelesaikan persoalan tersebut.
Kasad menegaskan, sejak zaman Belanda, kawasan Pantai Bocor yang kini menjadi pangkalan uji coba Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) Dìslitbang TNI-AD merupakan kawasan pertahanan dan keamanan.
Seharusnya tanah tersebut steril dari kegiatan penduduk, seperti kegiatan pertanian.
"Namun kenyataannya di kawasan latihan ini, penduduk justru melakukan kegiatan pertanian. Kalau tanamannya rusak, TNI yang disalahkan", kata Jenderak TNI Agustadi SP saat menyaksikan uji coba amunisi kaliber 105 buatan empat negara, Sabtu (4/4).
Dia juga mengaku tidak habis pikir terhadap pembangunan gapura yang menjadi pintu masuk menuju obyek wìsata Pantai Setrojenar yang dibangun di kawasan tersebut. Padahal seharusnya pemerintah desa bisa membangun gapura tersebut di dekat pemukiman penduduk.
"Kami juga prihatin atas dirusaknya patok-patok yang dipasang. Namun akan dibuat lagi dan jika dirusak lagi, kami tidak segan-segan bertindak tegas", tandasnya.

Milik Warga

Pemerintah Desa Setrojenar sebelumnya meminta kepada Bupati KH.Nashìrudin Al Mansyur agar tidak melakukan pembongkaran terhadap gapura yang menjadi pintu masuk menuju obyek wisata Pantai Setrojenar.
Surat Nomor 60/III/2009 yang ditandatangani oleh Kepala Desa Setrojenar Surip Supangat menanggapi surat Kodim 0709 perihal permohonan pembongkaran gapura permanen di kawasan Dislitbang TNI-AD. Menurut Surip Supangat, pembangunan gapura dilakukan oleh pemerintah desa Setrojenar berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa No.04 Tahun 2005. Dimana RPJM Des tersebut juga telah dilegalisasi oleh Bupati Kebumen.
Hingga saat ini pihak desa juga masih bersikukuh bahwa kawasan pantai tersebut mìlik warga.
Menurut Supangat, warga juga menolak buku petunjuk penyempurnaan tata ruang Kabupaten Kebumen tentang kawasan pertahanan dan keamanan untuk radius 11 kilometer dari lapangan tembak dari Sungai LukUlo sampai pertemuan yang digelar di pendopo kecamatan Buluspesantren, Kamis (8/11).
Mereka menuntut Dislitbang TNI-AD untuk mencabut patok yang ditanam di tanah mereka. Hal itu dipicu kekhawatiran mereka, jika setelah pemasangan patok itu, pihak TNI-AD akan mengklaim hak tanah itu.
"Pemasangan itu memang tanpa didahului dengan sosialisasi" ujar Ketua BPD desa Setrojenar, Mokh. Syabani yang dibenarkan Ketua BPD Brecong, Mansyur kepada RM Cybernews, Kamis (7/11).
Dalam pertemuan itu hadir Kepala Perwakilan Dislitbang, Kapten Inf. Suseno, perwakilan Kodim 0709 Kebumen, Kapten M. Choliludin serta Muspika Buluspesantren. Kapten Suseno menegaskan pematokan yang dilakukan olei pihak TNI-AD hanya sebagai penanda daerah latihan saja.
"TNI tidak akan mengklaim tanah milik warga", ujarnya.
Hal yang sama disampaikan Kapten M. Choliludin dari Kodim. Namun warga tetap khawatir dan meminta pihak TNI mencabut patok itu. Sampai akhir pertemuan yang digelar kedua kali itu, tidak menghasilkan keputusan yang memuaskan.
Camat Buluspesantren Chumdori BcHk menjelaskan, berdasarkan ketentuan yang sudah dibuat tahun 1982, tanah yang dimiliki TNI-AD berada pada radius 500 m dari bibir pantai.
Untuk memperoleh kepastian kepemilikan tanah yang dipatok, pihaknya akan meminta penjelasan Kantor Pertanahan mengukur tanah yang yang menjadi milik warga dan TNI-AD. Memang, lokasi tersebut selama ini dikenal sebagai daerah yang digunakan untuk uji coba senjata berat milik TNI-AD. Saat digunakan memasang bendera sebagai tanda aman dan daerah terlarang untuk umum.
"Kalau memang untuk keamanan, dengan bendera saja sudah cukup", kata sejumlah warga.
___
-sumber: wap.suaramerdeka.com/isi_berita.php?-d=51830
___________________________________________________

Bagaimana kita membaca pernyataan petinggi TNI-AD yang demikian itu? Bukan saja emosional, tetapi menunjukkan bahwa aspek sejarah yang dijadikan legitimasi keberadaan militer di sana hanyalah pewarisan spirit kolonial belaka. Jika ini yang menjadi dasar keberadaan TNI-AD di sana. Maka mau dibilang apa? Selain bahwa TNI-AD melulu meneruskan watak penjajahan yang mestinya sudah jadi masa lalu saja.
Padahal pemerintah kolonial Belanda (Kumpeni) sejak 1932 pun telah mengakui bahwa batas kepemilikan tanah oleh kolonial itu tak lebih dari sejauh 250 meter dari garis air. Fakta atas ini adalah sebagaimana kesaksian Amad Bambung (88 th) yang mengikuti pemetaan oleh Mantri Klangsiran.
Petani Setrojenar memiliki basis sejarah kepemilikan mereka atas tanah-tanah pertanian di sana. Fakta lain menyangkut kepemilikan warga adalah sebagaimana yang tercatat di Buku C Desa Setrojenar, serta realita pembayaran pajak selama ini.